Minggu, 27 Desember 2009

Saya ingin bertaubat tetapi....?


Kata taubat mengandung makna yang dalam, yang membawa implikasi yang besar. Ini bukanlah – sebagaimana yang dipikirkan banyak orang – hanya sekedar lip service (maksudnya sekedar diucapkan di lidah – pent.), setelah diucapkan seseorang kemudian melanjutkan (perbuatan) dosa-dosanya. Jika engkau memikirkan arti dari ayat berikut:وَأَنِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ “Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya.” (QS Hud [11] : 30), maka engkau akan melihat bahwa taubat adalah sesuatu yang mengikuti permohonan ampun. Sesuatu yang sangat besar dan penting seperti itu tentunya memiliki syarat-syarat yang menyertainya. Para ulama telah menjelaskan syarat-syarat taubat, berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Syarat-syarat itu meliputi: * Segera menghentikan dosa * Menyesali apa yang telah lalu * Berketetapan hati untuk tidak kembali kepada dosa-dosa * Mengembalikan hak-hak korban (yang dizalimi –pent.) atau meminta maaf kepada mereka. Sebagian ulama juga menyebutkan lebih rinci sebagai syarat dari tuabat nasuha, yang dikutip berikut ini dengan beberapa contoh: 1. Bahwa dosa-dosa harus dihentikan semata-mata karena Allah, bukan untuk alasan lainnya, seperti tidak dapat melakukannya, atau takut terhadap perkataan orang lain. Seseorang yang menghentikan perbuatan dosanya karena dampak negatifnya terhadap reputasi dan kedudukannya di hadapan orang lain, atau pada pekerjaannya, tidak dapat digambarkan sebagai seseorang yang bertaubat. Seseorang yang menghentikan perbuatan dosanya karena alasan kesehatan dan kekuatan, seperti orang yang menghentikan pelacuran dan tuna susila karena takut terkena penyakit yang mematikan, atau karena melemahkan tubuh dan ingatannya, tidak dapat digambarkan sebagai orang yang bertaubat. Seseorang yang menolak menerima suap karena takut orang yang menawarkannya tersebut dari lembaga penegak hukum yang sedang menyamar, tidak dapat disebut sebagai orang yang bertaubat. Orang yang tidak minum anggur atau memakai narkoba hanya karena dia tidak memiliki uang untuk membeli barang-barang tersebut tidak dapat digambarkan sebagai orang yang bertaubat. Orang yang tidak melakukan dosa karena alasan yang diluar kuasanya, tidak dapat digambarkan sebagai orang yang bertaubat. Maka seorang pembohong yang kehilangan kekuatan pidatonya, pezina yang menjadi impoten, pencuri yang kehilangan anggota badannya dalam kecelakaan… semuanya harus merasa menyesal atas apa yang telah mereka lakukan dan menghentikan setiap keinginan untuk melakukannya lagi. Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata: الندم توبة “Penyesalan adalah taubat.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah; Shahih al-Jami’, 6802). Dihadapan Allah, orang yang tidak dapat melakukan suatu amal perbuatan namun mempunyai keinginan untuk melakukannya sama dengan orang yang melakukannya. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Hanya ada empat jenis manusia di dunia ini. Seorang hamba yang Allah anugerahi dengan kekayaan dan ilmu, dan dia takut kepada Allah karenanya, dan mempergunakannya untuk mempererat tali silaturahmi, dan mengakui hak-hak Allah atas keduanya. Dia memiliki kedudukan yang paling tinggi. Seorang hamba yang kepadanya Allah hanya berikan ilmu dan tidak kekayaan. Niatnya ikhlas dan dia berkata, “Jika aku memiliki kekayaan aku akan melakukan (amal saleh) seperti si fulan dan si fulan (hamba yang pertama).” Dia akan diberi pahala sesuai dengan apa yang dia niatkan, sehingga pahala mereka sama. Seorang hamba yang kepadanya Allah berikan kekayaan dan tidak ilmu. Dia menghabiskan hartanya dengan sia-sia, tidak takut kepada Allah mengenainya dan tidak menggunakannya untuk memperkuat tali silaturahmi dan tidak mengakui hak Allah atasnya. Dia memiliki status yang paling rendah. Seorang hamba yang kepadanya Allah tidak memberikan baik ilmu maupun kekayaan. Dia berkata, “Jika aku mempunyai kekayaan, aku akan melakukan seperti si fulan dan si fulan (hamba yang ketiga). Dia akan dihukum sesuai dengan niatnya, sehingga dosa keduanya adalah sama.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi, dan dishahihkan di dalam At-Targhib wat-Tarhib, 1/9) 2. Orang yang berbuat dosa harus merasa bahwa dosanya tersebut menjijikkan dan berbahaya. Hal ini berarti bahwa, jika seseorang melakukan taubat nasuha, tidak ada sedikitpun rasa suka atau senang ketika dia mengingat dosa-dosanya di masa lalu, atau keinginan untuk mengulanginya di masa depan. Di dalam kitabnya Ad-Da’u wa Ad-Dawa dan Al-Fawa’id, Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan berbagai pengaruh buruk dari dosa-dosa, termasuk yang berikut ini: Hilangnya ilmu – merasa asing di dalam hati – menemui kesulitan dalam urusan-urusan seseorang – lemah fisik – hilangnya keinginan untuk taat kepada Allah – hilangnya nikmat– kurang beruntung karena tiada pertolongan Allah (taufik) – sesaknya dada, yakni tidak bahagia – bertambahnya amal buruk – terbiasa dengan dosa – hina dalam pandangan Allah – hina dalam pandangan manusia – dikutuk oleh binatang – pakaian dari hal-hal yang memalukan – tertutupnya hari dan termasuk dalam orang-orang yang dikutuk Allah – do’a tidak terkabulkan – kerusakan di darat dan di laut – kurangnya harga diri atau kehormatan – hilangnya rasa malu – hilangnya nikmat – jatuh ke dalam perangkap syaithan – su’ul khatimah – azab di hari kiamat. Penjelasan dari konsekuensi berbahaya dari dosa-dosa ini akan membuat orang menjauh dari dosa seluruhnya, namun sebagian orang berhenti dari satu jenis dosa tapi jatuh pada perangkap dosa yang lain, karena berbagai alasan, termasuk yang berikut: Mereka menganggap bahwa dosa yang baru tersebut lebih ringan Mereka lebih condong kepadanya, dan nafsunya terhadapnya lebih kuat Karena keadaannya lebih memungkinkan bagi dosa-dosa itu daripada dosa yang lainnya, yang membutuhkan lebih banyak usaha, bahwa sarana untuk melakukannya telah siap tersedia dan tersebar luas Teman-temannya semuanya melakukan dosa itu, dan sangat sukar baginya untuk melepaskan diri dari mereka Karena dosa itu merupakan sarana untuk memperoleh kedudukan diantara sahabat-sahabatnya, dan dia tidak ingin melepaskan kedudukannya, maka ia meneruskan perbuatan dosa itu. Inilah yang terjadi pada sebagian dari orang-orang yang berada dalam posisi yang dapat digambarkan sebagai sekumpulan pemimpin. Hal yang demikian terdapat dalam syair memalukan dari Abu Nawas ketika seorang penyair lain Abul Atahiyah mencoba menasihatinya mengenai beberapa dosanya. Abu Nawas menjawab: “Apakah engkau mengira, Wahai Atahi, aku akan menghentikan kesenangan ini, Apakah engkau mengira aku akan melepaskan kedudukanku diantara kaumku untuk kehidupan yang shalih?” Seorang hamba hendaknya bersegera menuju taubat, karena menunda taubat itu sendiri adalah dosa yang karenanya taubat dibutuhkan. Dia hendaknya memiliki rasa takut bahwa taubatnya tidak sempurna karena sesuatu hal dan dia tidak boleh beranggapan bahwa taubatnya telah diterima, sehingga dia tidak merasa puas dan aman dari rencana Allah. Dia harus melaksanakan kewajiban yang telah dilalaikannya pada masa lalu, seperti membayar zakat yang ditahannya di masa lalu – karena Allah dan karena hak-hak orang miskin, dan seterusnya. Dia harus menghindari tempat-tempat dimana dosa-dosa dilakukan jika kehadirannya di tempat itu dapat mendorongnya untuk melakukan lagi. Dia harus menghindari orang-orang yang menolongnya berbuat dosa. (Uraian di atas diambil dari Fawa’id hadits qaatil al-mi’ah – faedah dari hadits mengenai orang yang telah membunuh seratus orang – yang akan dinukilkan selanjutnya). Allah berfirman: الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf [43] : 67) Teman-teman yang buruk akan mengutuk satu sama lain pada Hari Pengadilan, itulah sebabnya mengapa pada saat engkau bertaubat, engkau harus menjauh dari mereka, menghindari mereka dan memperingatkan orang lain terhadap mereka jika mereka tidak mengindahkan dakwah atau nasihatmu. Jangan biarkan syaithan menggodamu untuk kembali kepada mereka dengan alasan untuk menasihati mereka, terlebih jika engkau mengetahui bahwa dirimu lemah dan tidak dapat menahan godaan. Ada banyak kejadian orang-orang kembali jatuh ke dalam dosa karena mereka kembali kepada perkumpulan teman-teman yang buruk. Dia harus menghancurkan barang-barang haram miliknya, seperti minuman alkohol, alat-alat musik (seperti ‘ood – yakni alat musik yang menggunakan senar, dan mizmar – yakni alat musik yang ditiup), gambar-gambar dan film yang haram, buku-buku yang tidak berguna dan patung-patung. Barang-barang itu harus dipatahkan, dihancurkan dan dibakar. Membuang semua perangkap jahiliyah pada titik memulai lembar baru adalah sangat penting. Betapa sering dengan menyimpan barang-barang semacam itu menjadi penyebab pemiliknya mengingkari taubatnya dan menjadi sesat setelah mendapat petunjuk! Semoga Allah menolong kita untuk istiqamah. Dia harus memilih teman-teman yang saleh yang akan menolongnya, bukannya teman-teman yang buruk. Dia harus berusaha keras menghadiri majelis dimana (nama) Allah senantiasa disebut dan dimana dia dapat memperoleh ilmu. Dia harus mengisi waktunya dengan mengejar hal-hal yang berharga sehingga syaithan tidak akan menemukan cara untuk mengingatkannya akan masa lalu. Dia harus membangun kembali tubuhnya yang telah hidup dengan hal-hal yang haram, dengan mentaati Allah dan berusaha keras untuk memeliharanya dengan hal-hal yang halal saja, sehingga tubuhnya akan menjadi kuat. Dia harus bertaubat sebelum maut sampai di tenggorokannya (yakni sebelum ajal datang), dan sebelum matahari terbit dari sebelah Barat (salah satu tanda besar datangnya hari kiamat) sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertaubat sebelum sakaratul maut berada di tenggorokannya, Allah akan mengampuninya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi, Shahih Al-Jami’, 6132), dan “Barangsiapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari sebelah Barat, Allah akan menerima taubatnya.” (HR Muslim).


Kata taubat mengandung makna yang dalam, yang membawa implikasi yang besar. Ini bukanlah – sebagaimana yang dipikirkan banyak orang – hanya sekedar lip service (maksudnya sekedar diucapkan di lidah – pent.), setelah diucapkan seseorang kemudian melanjutkan (perbuatan) dosa-dosanya. Jika engkau memikirkan arti dari ayat berikut:وَأَنِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ “Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya.” (QS Hud [11] : 30), maka engkau akan melihat bahwa taubat adalah sesuatu yang mengikuti permohonan ampun. Sesuatu yang sangat besar dan penting seperti itu tentunya memiliki syarat-syarat yang menyertainya. Para ulama telah menjelaskan syarat-syarat taubat, berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Syarat-syarat itu meliputi: * Segera menghentikan dosa * Menyesali apa yang telah lalu * Berketetapan hati untuk tidak kembali kepada dosa-dosa * Mengembalikan hak-hak korban (yang dizalimi –pent.) atau meminta maaf kepada mereka. Sebagian ulama juga menyebutkan lebih rinci sebagai syarat dari tuabat nasuha, yang dikutip berikut ini dengan beberapa contoh: 1. Bahwa dosa-dosa harus dihentikan semata-mata karena Allah, bukan untuk alasan lainnya, seperti tidak dapat melakukannya, atau takut terhadap perkataan orang lain. Seseorang yang menghentikan perbuatan dosanya karena dampak negatifnya terhadap reputasi dan kedudukannya di hadapan orang lain, atau pada pekerjaannya, tidak dapat digambarkan sebagai seseorang yang bertaubat. Seseorang yang menghentikan perbuatan dosanya karena alasan kesehatan dan kekuatan, seperti orang yang menghentikan pelacuran dan tuna susila karena takut terkena penyakit yang mematikan, atau karena melemahkan tubuh dan ingatannya, tidak dapat digambarkan sebagai orang yang bertaubat. Seseorang yang menolak menerima suap karena takut orang yang menawarkannya tersebut dari lembaga penegak hukum yang sedang menyamar, tidak dapat disebut sebagai orang yang bertaubat. Orang yang tidak minum anggur atau memakai narkoba hanya karena dia tidak memiliki uang untuk membeli barang-barang tersebut tidak dapat digambarkan sebagai orang yang bertaubat. Orang yang tidak melakukan dosa karena alasan yang diluar kuasanya, tidak dapat digambarkan sebagai orang yang bertaubat. Maka seorang pembohong yang kehilangan kekuatan pidatonya, pezina yang menjadi impoten, pencuri yang kehilangan anggota badannya dalam kecelakaan… semuanya harus merasa menyesal atas apa yang telah mereka lakukan dan menghentikan setiap keinginan untuk melakukannya lagi. Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata: الندم توبة “Penyesalan adalah taubat.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah; Shahih al-Jami’, 6802). Dihadapan Allah, orang yang tidak dapat melakukan suatu amal perbuatan namun mempunyai keinginan untuk melakukannya sama dengan orang yang melakukannya. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Hanya ada empat jenis manusia di dunia ini. Seorang hamba yang Allah anugerahi dengan kekayaan dan ilmu, dan dia takut kepada Allah karenanya, dan mempergunakannya untuk mempererat tali silaturahmi, dan mengakui hak-hak Allah atas keduanya. Dia memiliki kedudukan yang paling tinggi. Seorang hamba yang kepadanya Allah hanya berikan ilmu dan tidak kekayaan. Niatnya ikhlas dan dia berkata, “Jika aku memiliki kekayaan aku akan melakukan (amal saleh) seperti si fulan dan si fulan (hamba yang pertama).” Dia akan diberi pahala sesuai dengan apa yang dia niatkan, sehingga pahala mereka sama. Seorang hamba yang kepadanya Allah berikan kekayaan dan tidak ilmu. Dia menghabiskan hartanya dengan sia-sia, tidak takut kepada Allah mengenainya dan tidak menggunakannya untuk memperkuat tali silaturahmi dan tidak mengakui hak Allah atasnya. Dia memiliki status yang paling rendah. Seorang hamba yang kepadanya Allah tidak memberikan baik ilmu maupun kekayaan. Dia berkata, “Jika aku mempunyai kekayaan, aku akan melakukan seperti si fulan dan si fulan (hamba yang ketiga). Dia akan dihukum sesuai dengan niatnya, sehingga dosa keduanya adalah sama.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi, dan dishahihkan di dalam At-Targhib wat-Tarhib, 1/9) 2. Orang yang berbuat dosa harus merasa bahwa dosanya tersebut menjijikkan dan berbahaya. Hal ini berarti bahwa, jika seseorang melakukan taubat nasuha, tidak ada sedikitpun rasa suka atau senang ketika dia mengingat dosa-dosanya di masa lalu, atau keinginan untuk mengulanginya di masa depan. Di dalam kitabnya Ad-Da’u wa Ad-Dawa dan Al-Fawa’id, Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan berbagai pengaruh buruk dari dosa-dosa, termasuk yang berikut ini: Hilangnya ilmu – merasa asing di dalam hati – menemui kesulitan dalam urusan-urusan seseorang – lemah fisik – hilangnya keinginan untuk taat kepada Allah – hilangnya nikmat– kurang beruntung karena tiada pertolongan Allah (taufik) – sesaknya dada, yakni tidak bahagia – bertambahnya amal buruk – terbiasa dengan dosa – hina dalam pandangan Allah – hina dalam pandangan manusia – dikutuk oleh binatang – pakaian dari hal-hal yang memalukan – tertutupnya hari dan termasuk dalam orang-orang yang dikutuk Allah – do’a tidak terkabulkan – kerusakan di darat dan di laut – kurangnya harga diri atau kehormatan – hilangnya rasa malu – hilangnya nikmat – jatuh ke dalam perangkap syaithan – su’ul khatimah – azab di hari kiamat. Penjelasan dari konsekuensi berbahaya dari dosa-dosa ini akan membuat orang menjauh dari dosa seluruhnya, namun sebagian orang berhenti dari satu jenis dosa tapi jatuh pada perangkap dosa yang lain, karena berbagai alasan, termasuk yang berikut: Mereka menganggap bahwa dosa yang baru tersebut lebih ringan Mereka lebih condong kepadanya, dan nafsunya terhadapnya lebih kuat Karena keadaannya lebih memungkinkan bagi dosa-dosa itu daripada dosa yang lainnya, yang membutuhkan lebih banyak usaha, bahwa sarana untuk melakukannya telah siap tersedia dan tersebar luas Teman-temannya semuanya melakukan dosa itu, dan sangat sukar baginya untuk melepaskan diri dari mereka Karena dosa itu merupakan sarana untuk memperoleh kedudukan diantara sahabat-sahabatnya, dan dia tidak ingin melepaskan kedudukannya, maka ia meneruskan perbuatan dosa itu. Inilah yang terjadi pada sebagian dari orang-orang yang berada dalam posisi yang dapat digambarkan sebagai sekumpulan pemimpin. Hal yang demikian terdapat dalam syair memalukan dari Abu Nawas ketika seorang penyair lain Abul Atahiyah mencoba menasihatinya mengenai beberapa dosanya. Abu Nawas menjawab: “Apakah engkau mengira, Wahai Atahi, aku akan menghentikan kesenangan ini, Apakah engkau mengira aku akan melepaskan kedudukanku diantara kaumku untuk kehidupan yang shalih?” Seorang hamba hendaknya bersegera menuju taubat, karena menunda taubat itu sendiri adalah dosa yang karenanya taubat dibutuhkan. Dia hendaknya memiliki rasa takut bahwa taubatnya tidak sempurna karena sesuatu hal dan dia tidak boleh beranggapan bahwa taubatnya telah diterima, sehingga dia tidak merasa puas dan aman dari rencana Allah. Dia harus melaksanakan kewajiban yang telah dilalaikannya pada masa lalu, seperti membayar zakat yang ditahannya di masa lalu – karena Allah dan karena hak-hak orang miskin, dan seterusnya. Dia harus menghindari tempat-tempat dimana dosa-dosa dilakukan jika kehadirannya di tempat itu dapat mendorongnya untuk melakukan lagi. Dia harus menghindari orang-orang yang menolongnya berbuat dosa. (Uraian di atas diambil dari Fawa’id hadits qaatil al-mi’ah – faedah dari hadits mengenai orang yang telah membunuh seratus orang – yang akan dinukilkan selanjutnya). Allah berfirman: الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf [43] : 67) Teman-teman yang buruk akan mengutuk satu sama lain pada Hari Pengadilan, itulah sebabnya mengapa pada saat engkau bertaubat, engkau harus menjauh dari mereka, menghindari mereka dan memperingatkan orang lain terhadap mereka jika mereka tidak mengindahkan dakwah atau nasihatmu. Jangan biarkan syaithan menggodamu untuk kembali kepada mereka dengan alasan untuk menasihati mereka, terlebih jika engkau mengetahui bahwa dirimu lemah dan tidak dapat menahan godaan. Ada banyak kejadian orang-orang kembali jatuh ke dalam dosa karena mereka kembali kepada perkumpulan teman-teman yang buruk. Dia harus menghancurkan barang-barang haram miliknya, seperti minuman alkohol, alat-alat musik (seperti ‘ood – yakni alat musik yang menggunakan senar, dan mizmar – yakni alat musik yang ditiup), gambar-gambar dan film yang haram, buku-buku yang tidak berguna dan patung-patung. Barang-barang itu harus dipatahkan, dihancurkan dan dibakar. Membuang semua perangkap jahiliyah pada titik memulai lembar baru adalah sangat penting. Betapa sering dengan menyimpan barang-barang semacam itu menjadi penyebab pemiliknya mengingkari taubatnya dan menjadi sesat setelah mendapat petunjuk! Semoga Allah menolong kita untuk istiqamah. Dia harus memilih teman-teman yang saleh yang akan menolongnya, bukannya teman-teman yang buruk. Dia harus berusaha keras menghadiri majelis dimana (nama) Allah senantiasa disebut dan dimana dia dapat memperoleh ilmu. Dia harus mengisi waktunya dengan mengejar hal-hal yang berharga sehingga syaithan tidak akan menemukan cara untuk mengingatkannya akan masa lalu. Dia harus membangun kembali tubuhnya yang telah hidup dengan hal-hal yang haram, dengan mentaati Allah dan berusaha keras untuk memeliharanya dengan hal-hal yang halal saja, sehingga tubuhnya akan menjadi kuat. Dia harus bertaubat sebelum maut sampai di tenggorokannya (yakni sebelum ajal datang), dan sebelum matahari terbit dari sebelah Barat (salah satu tanda besar datangnya hari kiamat) sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertaubat sebelum sakaratul maut berada di tenggorokannya, Allah akan mengampuninya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi, Shahih Al-Jami’, 6132), dan “Barangsiapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari sebelah Barat, Allah akan menerima taubatnya.” (HR Muslim).

0 komentar:

Posting Komentar

© 2009 - Khair syuhada' & friska syahidah | Free Blogger Template designed by Choen

Home | Top