Manusia akan hidup dalam kebaikan selama rasa malu masih terpelihara, sebagaimana dahan akan tetap segar selama masih terbungkus kulitnya. Khususnya kaum wanita, dimana wanita sangat beruntung dianugerahi fitrah penciptaannya dengan rasa malu yang lebih dominan dibandingkan dengan pria. Namun ironisnya, di zaman ini, banyak wanita yang justru merasa malu mempunyai sifat malu dan berusaha mencampakkan jauh-jauh sifat mulia yang terpuji ini. Sehingga, terlalu banyak kita jumpai kaum wanita yang lebih tidak tahu malu dari pada laki-laki. Mempunyai sifat malu bukan berarti menjadikan kita rendah diri, minder, atau tidak pede. Apalagi gara-gara ketidakpedean itu kita jadi urung melakukan kebaikan, amal shalih, dan menuntut ilmu. Jika hal itu terjadi pada diri kita, cobalah kita berintrospeksi, apakah sebenarnya malu yang kita rasakan itu karena Allah Subhnana Wata’ala atau karena manusia? Misalnya saja kita malu memakai jilbab yang syar’i, malu menunjukkan jati diri sebagai seorang pria Muslim atau malu pergi ke majelis taklim. Apakah malu yang demikian ini karena Allah Subhnana Wata’ala atau hanya rasa malu, ketakutan dan kecemasan kita kepada selain-Nya? Padahal, malu kepada Allahlah yang seharusnya kita utamakan. Bukankah Allahlah yang paling berhak untuk kita malu kepada-Nya? Al-Qurthubi—rahimahullah—berkata, “Al-Musthafa (Nabi Muhammad) Shallallahu Alaihi Wasallam adalah orang yang pemalu. Beliau menyuruh (umatnya) agar mempunyai sifat malu.” Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa malu tidak dapat merintangi kebenaran yang beliau katakan atau menghalangi urusan agama yang beliau jadikan pegangan. Seperti firman Allah Subhnana Wata’ala, yang artinya, “Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.” (QS: Al-Ahzab: 53). Sifat malu memang adakalanya harus disingkirkan, yaitu saat kita menuntut ilmu. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib Rhadiallahu anhu pernah berkata, “Orang yang tidak tahu tidak selayaknya malu bertanya, dan orang yang ditanya tidak perlu malu bila tidak mengetahuinya untuk mengatakan, “Saya tidak tahu”.” Tabi’in yang mulia Mujahid—rahimahullah—berkata, “Orang yang pemalu dan sombong tidak akan bisa mempelajari ilmu.” Karena itu, peliharalah rasa malu, karena rasa malu merupakan akhlak yang sangat terpuji, dan tanpa rasa malu akan mengakibatkan kehancuran pada diri sendiri, atau orang lain, bahkan bangsa kita ini, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Jika Allah hendak menghancurkan suatu kaum (negeri), maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna, selain bentuk fisik yang bagus, ia pun dianugerahi Allah Subhnana Wata’ala kemampuan berpikir melalui akal. Dengan modal akal ini, manusia dapat mempertahankan predikat kemuliaan dan kesucian fitrahnya. Tanpa memanfaatkan akal yang sehat, manusia akan terjerembab ke jurang kehinaan. Malu adalah satu akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan keanggunan yang ada padanya. Inilah akhlak terpuji yang ada pada diri seorang lelaki dan fitrah yang mengarakter pada diri setiap wanita. Sehingga, sangat tidak masuk akal jika ada wanita yang tidak ada rasa malu sedikit pun dalam dirinya. Karena itu, beruntunglah orang yang punya rasa malu. Kata Ali bin Abi Thalib Radiallahu Anhu, “Orang yang menjadikan sifat malu sebagai pakaiannya, niscaya orang-orang tidak akan melihat aib dan cela pada dirinya.” Perlu diingat, kata malu, bukan rendah diri. Rendah diri (khajal) adalah penyakit jiwa dan lemah kepribadian akibat rasa malu yang tidak pada tempatnya. Sebab, sifat malu tidaklah menghalangi seorang untuk tampil menyuarakan kebenaran. Sifat malu juga tidak menghambat seorang Muslimah untuk belajar dan mencari ilmu. Contohlah Ummu Sulaim Al-Anshariyah. Dari Ummu Salamah Ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha—berkata, “Suatu ketika Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, seraya berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran. Apakah seorang wanita harus mandi bila bermimpi?” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab, “Ya, bila ia melihat air (mani yang keluar karena mimpi).” (HR. Bukhari). Rasa malu tak lain merupakan refleksi keimanan, laksana perisai yang dapat mencegah seseorang dari melakukan kemungkaran dan kemaksiatan. Bahkan mulia atau hinanya akhlak seseorang dapat diukur dari rasa malu yang ia miliki. Karena itulah, malu tak dapat dipisahkan dari keimanan. Keduanya selalu hadir bersama-sama. Makin kuat iman seseorang, makin tebal pula rasa malunya. Begitu juga sebaliknya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Iman itu memiliki 60 sampai 70 cabang, yang paling utama ialah pernyataan ‘Laa ilaaha illallah’, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang dari iman.” (Muttafaq ‘alaih). Tanpa rasa malu, seseorang akan leluasa melakukan apa pun yang ia inginkan, meski hal itu bertentangan dengan hati nuraninya. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Jika engkau tidak lagi memiliki rasa malu, maka berbuatlah sekehendak hatimu.” (HR. Bukhari). Benar, ketika budaya malu tak lagi tegak dalam suatu masyarakat maka itulah saat awal kehancuran dan kebinasaannya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menggambarkan betapa rasa malu harus dibudidayakan demi keselamatan sebuah bangsa. Pembagian Sifat Malu 1. Malu kepada Allah Subhnana Wata’ala. Celaan Allah itu di atas seluruh celaan, dan pujian Allah Subhnana Wata’ala itu juga di atas segala pujian. Orang yang tercela adalah orang yang dicela oleh Allah. Orang-orang yang terpuji adalah orang-orang yang dipuji oleh Allah. Maka haruslah lebih malu kepada Allah dari pada yang lain. Malu kepada Allah adalah jalan untuk menegakkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Karena jika seorang hamba takut dicela Allah, tentunya ia tidak akan menolak ketaatan dan tidak pula mendekati kemaksiatan. Karenanya, malu merupakan sebagian dari iman. 2. Malu pada diri sendiri Malunya seseorang terhadap dirinya. Inilah salah satu bentuk malu yang di rasakan oleh jiwa yang terhormat, tinggi dan mulia, sehingga ia tidak puas dengan kekurangan, kerendahan dan kehinaan. Karena itu Anda akan menjumpai seseorang yang merasa malu kepada dirinya sendiri, seolah-olah di dalam raganya terdapat dua jiwa, yang satu merasa malu kepada yang lain. Malu inilah yang paling sempurna karena jika pada dirinya sendiri saja sudah demikian malu, apalagi terhadap orang lain. 3. Malu pada orang lain Malunya sebagian manusia kepada sebagian yang lain. Sebagaimana malunya seorang anak kepada orangtuanya, isteri kepada suaminya, orang bodoh kepada orang pandai, serta malunya seorang gadis untuk terang-terangan menyatakan ingin menikah. Ketiga rasa malu di atas seyogyanya ditumbuhkembangkan dan dipelihara terus menerus oleh setiap Muslim. Apalagi malu pada Allah Subhnana Wata’ala. Sebab, malu kepada-Nya inilah yang menjadi sumber lahirnya dua jenis malu lainnya. Bisa dibayangkan jika rasa malu itu hilang pada diri seseorang, maka segala perilakunya tidak akan terkontrol. Mempertontonkan aurat dianggap tren bahkan menjadi tontonan sehari-hari keluarga kita. Begitu hebatnya bencana yang muncul akibat hilangnya rasa malu. Oleh karenanya, memupuk rasa malu agar tetap terpatri erat dalam hati adalah kewajiban kita. Waspadailah fenomena hilangnya rasa malu, agar tidak menjadi pribadi yang hancur berantakan. Keutamaan Rasa Malu 1. Rasa malu adalah penghalang manusia dari perbuatan dosa Rasa malu adalah pangkal semua kebaikan dalam kehidupan ini, sehingga kedudukannya dalam seluruh sifat keutamaan adalah bagaikan kepala dengan badan. Maksudnya, tanpa rasa malu maka sifat keutamaan lain akan mati. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Rasa malu tidak mendatangkan selain kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim) 2. Rasa malu merupakan salah satu cabang dari iman dan indikator nilai keimanan seseorang Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melewati seorang Anshar yang sedang menasihati saudaranya tentang rasa malu, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Biarkanlah ia memiliki rasa malu karena malu itu termasuk dalam keimanan.”(HR. Bukhari dan Muslim). 3. Rasa malu adalah inti akhlak islami Anas Radiallahu Anhu meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda, “Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah rasa malu.” (HR.Ibnu Majah) 4. Rasa malu merupakan akhlak yang sejalan dengan fitrah manusia Rasa malu sebagai hiasan semua perbuatan. Dalam hadits yang diriwayatkan Anas t bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda, “Tidaklah ada suatu kekejian pada sesuatu perbuatan kecuali akan menjadikannya tercela, dan tidaklah ada suatu rasa malu pada sesuatu perbuatan kecuali akan menghiasinya.” (HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah). Karena itulah, malu tak dapat dipisahkan dari keimanan. Keduanya selalu hadir bersama-sama. Makin kuat iman seseorang, makin tebal pula rasa malunya. Wallahu Waliyyut Taufiq Rusmin Nuryadin
Manusia akan hidup dalam kebaikan selama rasa malu masih terpelihara, sebagaimana dahan akan tetap segar selama masih terbungkus kulitnya. Khususnya kaum wanita, dimana wanita sangat beruntung dianugerahi fitrah penciptaannya dengan rasa malu yang lebih dominan dibandingkan dengan pria. Namun ironisnya, di zaman ini, banyak wanita yang justru merasa malu mempunyai sifat malu dan berusaha mencampakkan jauh-jauh sifat mulia yang terpuji ini. Sehingga, terlalu banyak kita jumpai kaum wanita yang lebih tidak tahu malu dari pada laki-laki. Mempunyai sifat malu bukan berarti menjadikan kita rendah diri, minder, atau tidak pede. Apalagi gara-gara ketidakpedean itu kita jadi urung melakukan kebaikan, amal shalih, dan menuntut ilmu. Jika hal itu terjadi pada diri kita, cobalah kita berintrospeksi, apakah sebenarnya malu yang kita rasakan itu karena Allah Subhnana Wata’ala atau karena manusia? Misalnya saja kita malu memakai jilbab yang syar’i, malu menunjukkan jati diri sebagai seorang pria Muslim atau malu pergi ke majelis taklim. Apakah malu yang demikian ini karena Allah Subhnana Wata’ala atau hanya rasa malu, ketakutan dan kecemasan kita kepada selain-Nya? Padahal, malu kepada Allahlah yang seharusnya kita utamakan. Bukankah Allahlah yang paling berhak untuk kita malu kepada-Nya? Al-Qurthubi—rahimahullah—berkata, “Al-Musthafa (Nabi Muhammad) Shallallahu Alaihi Wasallam adalah orang yang pemalu. Beliau menyuruh (umatnya) agar mempunyai sifat malu.” Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa malu tidak dapat merintangi kebenaran yang beliau katakan atau menghalangi urusan agama yang beliau jadikan pegangan. Seperti firman Allah Subhnana Wata’ala, yang artinya, “Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.” (QS: Al-Ahzab: 53). Sifat malu memang adakalanya harus disingkirkan, yaitu saat kita menuntut ilmu. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib Rhadiallahu anhu pernah berkata, “Orang yang tidak tahu tidak selayaknya malu bertanya, dan orang yang ditanya tidak perlu malu bila tidak mengetahuinya untuk mengatakan, “Saya tidak tahu”.” Tabi’in yang mulia Mujahid—rahimahullah—berkata, “Orang yang pemalu dan sombong tidak akan bisa mempelajari ilmu.” Karena itu, peliharalah rasa malu, karena rasa malu merupakan akhlak yang sangat terpuji, dan tanpa rasa malu akan mengakibatkan kehancuran pada diri sendiri, atau orang lain, bahkan bangsa kita ini, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Jika Allah hendak menghancurkan suatu kaum (negeri), maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna, selain bentuk fisik yang bagus, ia pun dianugerahi Allah Subhnana Wata’ala kemampuan berpikir melalui akal. Dengan modal akal ini, manusia dapat mempertahankan predikat kemuliaan dan kesucian fitrahnya. Tanpa memanfaatkan akal yang sehat, manusia akan terjerembab ke jurang kehinaan. Malu adalah satu akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan keanggunan yang ada padanya. Inilah akhlak terpuji yang ada pada diri seorang lelaki dan fitrah yang mengarakter pada diri setiap wanita. Sehingga, sangat tidak masuk akal jika ada wanita yang tidak ada rasa malu sedikit pun dalam dirinya. Karena itu, beruntunglah orang yang punya rasa malu. Kata Ali bin Abi Thalib Radiallahu Anhu, “Orang yang menjadikan sifat malu sebagai pakaiannya, niscaya orang-orang tidak akan melihat aib dan cela pada dirinya.” Perlu diingat, kata malu, bukan rendah diri. Rendah diri (khajal) adalah penyakit jiwa dan lemah kepribadian akibat rasa malu yang tidak pada tempatnya. Sebab, sifat malu tidaklah menghalangi seorang untuk tampil menyuarakan kebenaran. Sifat malu juga tidak menghambat seorang Muslimah untuk belajar dan mencari ilmu. Contohlah Ummu Sulaim Al-Anshariyah. Dari Ummu Salamah Ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha—berkata, “Suatu ketika Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, seraya berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran. Apakah seorang wanita harus mandi bila bermimpi?” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab, “Ya, bila ia melihat air (mani yang keluar karena mimpi).” (HR. Bukhari). Rasa malu tak lain merupakan refleksi keimanan, laksana perisai yang dapat mencegah seseorang dari melakukan kemungkaran dan kemaksiatan. Bahkan mulia atau hinanya akhlak seseorang dapat diukur dari rasa malu yang ia miliki. Karena itulah, malu tak dapat dipisahkan dari keimanan. Keduanya selalu hadir bersama-sama. Makin kuat iman seseorang, makin tebal pula rasa malunya. Begitu juga sebaliknya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Iman itu memiliki 60 sampai 70 cabang, yang paling utama ialah pernyataan ‘Laa ilaaha illallah’, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang dari iman.” (Muttafaq ‘alaih). Tanpa rasa malu, seseorang akan leluasa melakukan apa pun yang ia inginkan, meski hal itu bertentangan dengan hati nuraninya. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Jika engkau tidak lagi memiliki rasa malu, maka berbuatlah sekehendak hatimu.” (HR. Bukhari). Benar, ketika budaya malu tak lagi tegak dalam suatu masyarakat maka itulah saat awal kehancuran dan kebinasaannya. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menggambarkan betapa rasa malu harus dibudidayakan demi keselamatan sebuah bangsa. Pembagian Sifat Malu 1. Malu kepada Allah Subhnana Wata’ala. Celaan Allah itu di atas seluruh celaan, dan pujian Allah Subhnana Wata’ala itu juga di atas segala pujian. Orang yang tercela adalah orang yang dicela oleh Allah. Orang-orang yang terpuji adalah orang-orang yang dipuji oleh Allah. Maka haruslah lebih malu kepada Allah dari pada yang lain. Malu kepada Allah adalah jalan untuk menegakkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Karena jika seorang hamba takut dicela Allah, tentunya ia tidak akan menolak ketaatan dan tidak pula mendekati kemaksiatan. Karenanya, malu merupakan sebagian dari iman. 2. Malu pada diri sendiri Malunya seseorang terhadap dirinya. Inilah salah satu bentuk malu yang di rasakan oleh jiwa yang terhormat, tinggi dan mulia, sehingga ia tidak puas dengan kekurangan, kerendahan dan kehinaan. Karena itu Anda akan menjumpai seseorang yang merasa malu kepada dirinya sendiri, seolah-olah di dalam raganya terdapat dua jiwa, yang satu merasa malu kepada yang lain. Malu inilah yang paling sempurna karena jika pada dirinya sendiri saja sudah demikian malu, apalagi terhadap orang lain. 3. Malu pada orang lain Malunya sebagian manusia kepada sebagian yang lain. Sebagaimana malunya seorang anak kepada orangtuanya, isteri kepada suaminya, orang bodoh kepada orang pandai, serta malunya seorang gadis untuk terang-terangan menyatakan ingin menikah. Ketiga rasa malu di atas seyogyanya ditumbuhkembangkan dan dipelihara terus menerus oleh setiap Muslim. Apalagi malu pada Allah Subhnana Wata’ala. Sebab, malu kepada-Nya inilah yang menjadi sumber lahirnya dua jenis malu lainnya. Bisa dibayangkan jika rasa malu itu hilang pada diri seseorang, maka segala perilakunya tidak akan terkontrol. Mempertontonkan aurat dianggap tren bahkan menjadi tontonan sehari-hari keluarga kita. Begitu hebatnya bencana yang muncul akibat hilangnya rasa malu. Oleh karenanya, memupuk rasa malu agar tetap terpatri erat dalam hati adalah kewajiban kita. Waspadailah fenomena hilangnya rasa malu, agar tidak menjadi pribadi yang hancur berantakan. Keutamaan Rasa Malu 1. Rasa malu adalah penghalang manusia dari perbuatan dosa Rasa malu adalah pangkal semua kebaikan dalam kehidupan ini, sehingga kedudukannya dalam seluruh sifat keutamaan adalah bagaikan kepala dengan badan. Maksudnya, tanpa rasa malu maka sifat keutamaan lain akan mati. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Rasa malu tidak mendatangkan selain kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim) 2. Rasa malu merupakan salah satu cabang dari iman dan indikator nilai keimanan seseorang Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melewati seorang Anshar yang sedang menasihati saudaranya tentang rasa malu, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Biarkanlah ia memiliki rasa malu karena malu itu termasuk dalam keimanan.”(HR. Bukhari dan Muslim). 3. Rasa malu adalah inti akhlak islami Anas Radiallahu Anhu meriwayatkan hadits bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda, “Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah rasa malu.” (HR.Ibnu Majah) 4. Rasa malu merupakan akhlak yang sejalan dengan fitrah manusia Rasa malu sebagai hiasan semua perbuatan. Dalam hadits yang diriwayatkan Anas t bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda, “Tidaklah ada suatu kekejian pada sesuatu perbuatan kecuali akan menjadikannya tercela, dan tidaklah ada suatu rasa malu pada sesuatu perbuatan kecuali akan menghiasinya.” (HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah). Karena itulah, malu tak dapat dipisahkan dari keimanan. Keduanya selalu hadir bersama-sama. Makin kuat iman seseorang, makin tebal pula rasa malunya. Wallahu Waliyyut Taufiq Rusmin Nuryadin
0 komentar:
Posting Komentar