Sabtu, 26 Desember 2009

Benang tipis antara Hadiah dan Suap



Di setiap perhelatan politik; pilkada, pilbup, pilwalkot, pilgub, pilpres dan pemilu legislatif, ada menu wajib yang terlihat oleh kasat mata. Ia adalah suap politik. Anehnya, karena sudah umum dan belum jelasnya definisi suap dalam ajang politik bagi masyarakat, maka ia akan terus menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia politik. Dan nyatanya, suap politik ini bukan hanya meramaikan perhelatan politik di negara miskin dan berkembang, tapi juga di negara maju.

Dalam ilmu sosiologi agama, ada adagium “bila sebuah kebatilan umum dilakukan warga masyarakat, ia akan berubah menjadi kebenaran, dan bila kebenaran jarang dilakukan warga masyarakat, ia akan berubah menjadi kebatilan”. Pendapat sastrawan dan pemikir Islam, Ibnu Muqaffa’ ini, bila dikontekstualisasikan dalam realitas kehidupan sosial politik di negeri ini, benang merahnya nampak jelas dan terang benderang. Berbagai kalangan dari rakyat jelata hingga orang berpunya, dari orang awam hingga orang berpendidikan mengakrabi suap politik hingga menjadi begitu umum, meruyak dan merajalela.

Bila kerancuan politik (budaya suap) yang begitu ‘ramah’ di dalam wacana perpolitikan kita ini tetap dibiarkan, sistem politik di Indonesia bertahap akan ambruk dan menuju jurang kehancuran. Untuk pemilu tahun ini saja diperkirakan, caleg yang beramplop tebal, walaupun human recources atau SDMnya lemah, dia akan melenggang menang mengalahkan caleg tak beramplop yang integritas, kapabilitas dan kredibilitasnya tinggi.

Masyarakat kita, karena tidak adanya ketegasan dari para penegak hukum dan para ulama, pada umumnya menganggap wajar dan sah terhadap pemberian material tak resmi yang mereka terima. Mereka bahkan menunggu-nunggu setiap orang yang datang dan membawa oleh-oleh politik (suap) tanpa adanya kekhawatiran dan rasa takut. Sementara itu, karena faham bahwa mereka sedang menyuap ‘wong cilik’, tim sukses dan para caleg melancarkan aksinya dengan sembunyi-sembunyi, layaknya pencuri yang sedang melancarkan kejahatannya di malam hari.

Ibarat kentut, suap politik ini sulit dan sangat sulit dibuktikan. Dan memang, dari semua delik korupsi yang terjadi di Indonesia, entah itu delik penyalahgunaan kewenangan, detik penggelapan dan lainnya, hanya detik suaplah yang pembuktiannya sangat sulit sehingga pasal suap dalam undang-undang tindak pidana korupsi sebelum KPK bertaji hanya dianggap ‘pasal tidur’.

MEMAHAMI DEFINISI SUAP
Dalam wacana keislaman, ada dua objek pembahasan krusial yang titik perbedaannya sangat tipis, satu negatif dan dilaknat, satunya lagi positif dan sangat dianjurkan. Dua hal itu adalah suap dan hadiah. Suap atau risywah, menurut Syaikh Ahmad at- Thawil dalam buku al- Hadiyah bainal halal wal haram (benang tipis antara hadiah dan suap, 2006) adalah “memberikan sesuatu kepada seseorang untuk sebuah keinginan dengan adanya tuntutan, syarat atau timbal balik.” Ali al- Jurjani dalam al- Ta’rifatnya mendefinisikan suap dengan “sesuatu yang diberikan untuk membatalkan yang hak dan membenarkan yang bathil”. Berbeda dengan suap, Ahmad ath- Thawil mendefinisikan hadiah dengan “memberikan sesuatu kepada seseorang untuk menjalin tali persahabatan dan mengharapkan pahala tanpa adanya tuntutan, syarat atau timbal balik.”

Dalam Islam, memberi, menerima, membalas hadiah dan mendoakan pemberi hadiah sangat dianjurkan. Begitu banyak hadits yang berkenaan dengan kebaikan tahadi (saling memberi hadiah) ini di antaranya, “Saling memberi hadahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai” (HR al- Bukhari). Lain halnya dengan hadiah, suap adalah perbuatan yang mengundang murka Allah. “Laknat Allah kepada pemberi dan penerima suap.” Demikian sabda nabi.

Dalam wacana umum, kata suap (bribe) bermula dari asal kata briberie (istilah Prancis) yang artinya mengemis. Dalam perkembangan selanjutnya, bribe bermakna sedekah (alms) dan kemudian berkembang lagi maknanya menjadi extortion (pemerasan), dalam kaitannya dengan pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara jahat dan korup. Suap pada gilirannya menjadi tindak pidana karena mengisyaratkan adanya maksud untuk mempengaruhi. Orang yang disuap kemudian berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban dan tugas pokoknya.

Dikategorikannya suap ke dalam tindak pidana karena pada prakteknya, ia tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional (biasa), tetapi sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) karena karakter korupsi yang dikandungnya sangat kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan yang lainnya) dan viktimogin (berpotensi merugikan berbagai dimensi kepentingan).

SUAP DALAM TRADISI POLITIK INDONESIA
Dalam konteks politik saat ini, kita tak begitu sulit untuk membedakan suapkah atau hadiahkah kebaikan dan pemberian, apakah dalam bentuk uang, sembako, modal usaha, alat olahraga, seragam sekolah, bedah rumah, dan sejuta bentuk kebaikan lainnya yang dilakukan para caleg menjelang hari ‘H’ perhelatan pemilu. Sistem yang umum berlaku membuat para caleg sulit memisahkan acara sosialisasi dengan ‘sawer’ uang, sembako dan lainnya karena kalau tidak, ia tak akan dipilih atau peluang untuk dipilih kecil.

Seringnya hati nurani berontak manakala menyaksikan dan mengetahui warga miskin menentukan pilihan atau memindahkan pilihan setelah menerima ‘segepok’ uang Rp. 20.000 atau lebih sedikit. Maka tak aneh bila beberapa oknum caleg tertangkap tangan membagikan ‘sesuatu’ di acara pengajian, muludan dan bakti sosial lainnya yang terjepret kamera panwas, lantas diperkarakan dan berakhir di jeruji besi. Selebihnya, kelihaian para caleg dalam bermain ‘petak umpet’ dengan panwas selalu sukses karena luput dari bidikan mata panwas.

Di Indonesia, sejarah suap dapat ditarik akar budayanya dalam perilaku pemberian upeti. Upeti dalam bahasa Sansakerta berarti tanda kesetiaan. Upeti adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk. Sebagai sebuah simbiosis mutualisme, para adipati memberikan persembahan kepada raja penakluk dan sebagai imbalannya, raja penakluk memberkan perlindungan kepada kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh adipati-adipati tersebut.

Keberlangsungan sistem upeti ini berlangsung berabad-abad hingga periode Indonesia modern seperti sekarang ini. alhasil, pola Patron-Client dimana upeti kepada atasan merupakan alat tukar kekuasaan dan dianggap sebagai standar yang wajar dalam membeli jabatan dan kursi kekuasaan. Karena sudah mengakar dan terbiarkan dengan bebas, maka budaya suap kepada atasan lalu sulit dibuktikan dan sulit diberantas.
(BAGIAN PERTAMA)




(BAGIAN KEDUA)
SUAP DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Islam adalah agama yang mengajarkan ajaran suci yang bisa membangun keseimbangan hidup yang berkeadilan. Kerancuan kehidupan sosial, budaya dan politik selalu bisa diatasi dengan doktrin-doktrinnya yang memuaskan semua pihak. Itulah sebabnya, suap atau risywah dalam Islam merupakan pelanggaran yang membawa ketimpangan sosial dan kerancuan hidup bermasyarakat.

Nabi Muhammad SAW, dalam statusnya sebagai kepala negara sering menerima hadiah, dan ini menjadi kekhususan bagi beliau. Maka di zaman Umar bin Abdul Aziz (682 M-719 M), khalifah tersukses dari khilafah Bani Umayah ia mengharamkan segala jenis pemberian. Ketika ia menolak suatu hadiah, dan dikatakan kepadanya bahwa nabi SAW menerima hadiah, maka beliau berkata, “Dahulu, pemberian untuk nabi adalah hadiah, sedangkan untuk kita adalah suap. Nabi didekati karena kenabiannya, bukan karena kekuasaannya, sementara kita didekati karena kekuasaan kita”.

Kekuasaan, jabatan dan posisi strategis lainnya seperti hakim dan jaksa adalah status sosial yang erat kaitannya dengan suap menyuap. Gaji yang dipandang kurang biasanya menjadi alasan untuk mencari masukan tambahan dan salah satunya adalah dari hadiah, grativikasi, dan persentasi dari proyek-proyek yang ditangani. Islam memandang penghasilan di luar gaji sebagai ghulul (korupsi) atau penghianatan. Nabi SAW bersabda, “Barang siapa aku tempatkan dalam suatu jabatan, aku beri dia gaji, maka apapun yang dia terima selain dari gaji itu (dengan memanfaatkan jabatan yang diembannya) adalah ghulul atau korupsi” (HR. Bukhari Muslim).

Hadiah bagi para pemimpin, entah dari rekanan, pemborong, pengusaha, bawahan dan orang-orang yang berkepentingan lainnya di zaman sekarang ini, sangat kental dengan nuansa suap. Asy-Syaukani dalam Nailul Autharnya menyatakan bahwa secara zhahir, hadiah yang diberikan kepada orang yang berkedudukan merupakan bentuk suap. Untuk membuktikan suap atau tidaknya hadiah bagi penguasa, nabi pernah bersabda, “Mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya (maksudnya tanpa kedudukan dan status), kemudian dia menunggu (tanpa kedudukannya itu) apakah dia mendapat hadiah atau tidak?” (HR. Bukhari). Alquran, dalam QS Ali Imran 161 mengancam siapapun yang mencari kekayaan dari hasil usaha memperkaya diri dari jabatan yang diembannya dengan firmannya, “Barangsiapa yang berkhianat, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu,”. Nabi pun bersabda, “hadiah bagi para pemimpin itu adalah penghianatan” (HR. Thabrani).

Dalam buku al-Halal wa al- Haram fi al- Islam, Syaikh Yusuf Qardhawi, menjelaskan marahnya nabi SAW terhadap pejabatnya yang menginginkan hadiah dari jabatan yang diembannya. Marahnya nabi ini, oleh Imam Ghazali dalam Ihya Uluumiddiinnya menjadi dalil tentang besarnya dosa dan kesalahan seorang pejabat yang terbiasa menerima hadiah. Maka nabi selalu memerintahkan untuk mengembalikan harta haram tersebut ke baitul mal. Ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah, ia pun memaksa Abu Hurairah, gubernur Bahrain, untuk mengembalikan hadiah yang ia terima ke kas negara. Umar sendiri, beberapa kali mengembalikan hadiah yang diterima isterinya, Ummi Kultsum ke kas negara.

Selain khulafa rasyidin dan Umar bin Abdul Aziz, Islam juga telah mencatat prestasi tokoh-tokoh pejabat yang anti terhadap hadiah dari jabatan yang diembannya pada zaman keemasan Islam, di antaranya Abul Abbas al- Hanafi, Ibrahim bin Khuzaimah al- Zuhri, Abu Isa al- Maqburi al- Kurki, Majdudin al- Bilbisi dan berpuluh dan beratus pejabat lainnya.

STOP MENGIDENTIKKAN POLITIK DENGAN UANG
Pastinya hingga hari ini, masyarakat bawah masih kuat mengidentikkan musim politik dengan hadiah-hadiah yang mereka terima selain kaus, tukar bensin kampanye dan lain-lain. Ada ungkapan yang akrab di telinga kita, “mun teu dibensinan mah cadu, moal rek milu kampanye” . Maka kita pun sering menyaksikan acara TV yang mengulas ‘biro’ kampanye, di mana orang yang mampu mengerahkan masa dibayar untuk menurunkan ratusan massa untuk meramaikan kampanye partai tertentu. Begitu kuatnya masyarakat di bawah memegang prinsip yang mereka yakini benar ini karena belum adanya upaya sistematis untuk mengubah paradigma itu menuju kondisi masyarakat yang lebih bermartabat.

Parahnya, para pemimpin dan tokoh-tokoh kita masih saja menyuarakan adagium, “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya”. Sepintas, adagium ini benar dan tidak ada yang perlu dipertanyakan. Tapi coba kita hayati lebih ke dalam, adagium ini justru mengajarkan berbagai kesalahan. Rakyat kita yang masih polos diajarkan untuk menerima suap politik, lalu mereka pun pada saat yang sama diajarkan untuk tidak fair, menerima dari ‘yang ini’ dan memilih ‘yang itu’.

Track politik kita hari ini, memang disinyalir menuju ke jalur yang lebih demokratis. Namun demikian, kerancuan politik masih saja kasat mata, terutama setelah MK mengeluarkan definisi pemenang pemilu menjadi peraih suara terbanyak. Maka semua caleg kita dari tingkat kabupaten/kota sampai nasional terdorong untuk berebut jatah kursi.

Karena tahun 2009 ini tahun pertama politik kita menganut sistim suara terbanyak, maka para caleg terdorong untuk mengikuti latah politik. Ujung-ujungnya modal politik membengkak dan semua caleg tak ada yang diam. Gerakan penghamburan uang pun terjadi, dan kita menyaksikan mobilitas para caleg luar biasa kuatnya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, RSU pun lalu menyiapkan ruangan khusus bagi caleg yang kalah bertanding dan rugi dengan modal besar yang ‘kadung’ dikeluarkan. Diprediksi, stressnya caleg yang kalah adalah karena akumulasi problem yang dialami; faktor utang finansial ke sana dan ke sini, faktor janji yang terlontar di acara kampanye dan terutama karena faktor kekalahan yang dialami.

Bila wacana perpolitikan kita masih terus diidentikan dengan pengeluaran modal besar-besaran —yang bila mengacu pada wacana ke-Islaman sudah jelas salah karena Islam tidak menghendaki jabatan diraih dengan membeli/mengeluarkan modal— dan memperjuangkan kemenangan dengan berbagai cara, maka kita pesimis para pelaku politik (politikus) kita akan membawa rakyatnya ke jalan yang benar. Islam mengajarkan bahwa jabatan adalah amanah dan masuliyah, tanggungjawab yang bukan hanya dipertanyakan di dunia ini saja, tapi di kampung tetangga (akhirat) sana.

Bila keinginan berbagai kalangan untuk memperbaiki sistim politik kita di tingkat bawah, kita tak akan butuh waktu terlalu lama dan terlambat untuk sampai di tempat tujuan. Para ulama tentunya dituntut untuk berandil lebih banyak lagi dalam menyampaikan hak itu hak dan bathil itu bathil. Merubah paradigma politik rakyat memang sulit dan butuh waktu lama, tapi membiarkan kondisi politik identik dengan uang dan modal, resikonya pasti lebih besar dan ujung-ujungnya, rakyat jugalah yang jadi korban.
Wallahu A'lam



Di setiap perhelatan politik; pilkada, pilbup, pilwalkot, pilgub, pilpres dan pemilu legislatif, ada menu wajib yang terlihat oleh kasat mata. Ia adalah suap politik. Anehnya, karena sudah umum dan belum jelasnya definisi suap dalam ajang politik bagi masyarakat, maka ia akan terus menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia politik. Dan nyatanya, suap politik ini bukan hanya meramaikan perhelatan politik di negara miskin dan berkembang, tapi juga di negara maju.

Dalam ilmu sosiologi agama, ada adagium “bila sebuah kebatilan umum dilakukan warga masyarakat, ia akan berubah menjadi kebenaran, dan bila kebenaran jarang dilakukan warga masyarakat, ia akan berubah menjadi kebatilan”. Pendapat sastrawan dan pemikir Islam, Ibnu Muqaffa’ ini, bila dikontekstualisasikan dalam realitas kehidupan sosial politik di negeri ini, benang merahnya nampak jelas dan terang benderang. Berbagai kalangan dari rakyat jelata hingga orang berpunya, dari orang awam hingga orang berpendidikan mengakrabi suap politik hingga menjadi begitu umum, meruyak dan merajalela.

Bila kerancuan politik (budaya suap) yang begitu ‘ramah’ di dalam wacana perpolitikan kita ini tetap dibiarkan, sistem politik di Indonesia bertahap akan ambruk dan menuju jurang kehancuran. Untuk pemilu tahun ini saja diperkirakan, caleg yang beramplop tebal, walaupun human recources atau SDMnya lemah, dia akan melenggang menang mengalahkan caleg tak beramplop yang integritas, kapabilitas dan kredibilitasnya tinggi.

Masyarakat kita, karena tidak adanya ketegasan dari para penegak hukum dan para ulama, pada umumnya menganggap wajar dan sah terhadap pemberian material tak resmi yang mereka terima. Mereka bahkan menunggu-nunggu setiap orang yang datang dan membawa oleh-oleh politik (suap) tanpa adanya kekhawatiran dan rasa takut. Sementara itu, karena faham bahwa mereka sedang menyuap ‘wong cilik’, tim sukses dan para caleg melancarkan aksinya dengan sembunyi-sembunyi, layaknya pencuri yang sedang melancarkan kejahatannya di malam hari.

Ibarat kentut, suap politik ini sulit dan sangat sulit dibuktikan. Dan memang, dari semua delik korupsi yang terjadi di Indonesia, entah itu delik penyalahgunaan kewenangan, detik penggelapan dan lainnya, hanya detik suaplah yang pembuktiannya sangat sulit sehingga pasal suap dalam undang-undang tindak pidana korupsi sebelum KPK bertaji hanya dianggap ‘pasal tidur’.

MEMAHAMI DEFINISI SUAP
Dalam wacana keislaman, ada dua objek pembahasan krusial yang titik perbedaannya sangat tipis, satu negatif dan dilaknat, satunya lagi positif dan sangat dianjurkan. Dua hal itu adalah suap dan hadiah. Suap atau risywah, menurut Syaikh Ahmad at- Thawil dalam buku al- Hadiyah bainal halal wal haram (benang tipis antara hadiah dan suap, 2006) adalah “memberikan sesuatu kepada seseorang untuk sebuah keinginan dengan adanya tuntutan, syarat atau timbal balik.” Ali al- Jurjani dalam al- Ta’rifatnya mendefinisikan suap dengan “sesuatu yang diberikan untuk membatalkan yang hak dan membenarkan yang bathil”. Berbeda dengan suap, Ahmad ath- Thawil mendefinisikan hadiah dengan “memberikan sesuatu kepada seseorang untuk menjalin tali persahabatan dan mengharapkan pahala tanpa adanya tuntutan, syarat atau timbal balik.”

Dalam Islam, memberi, menerima, membalas hadiah dan mendoakan pemberi hadiah sangat dianjurkan. Begitu banyak hadits yang berkenaan dengan kebaikan tahadi (saling memberi hadiah) ini di antaranya, “Saling memberi hadahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai” (HR al- Bukhari). Lain halnya dengan hadiah, suap adalah perbuatan yang mengundang murka Allah. “Laknat Allah kepada pemberi dan penerima suap.” Demikian sabda nabi.

Dalam wacana umum, kata suap (bribe) bermula dari asal kata briberie (istilah Prancis) yang artinya mengemis. Dalam perkembangan selanjutnya, bribe bermakna sedekah (alms) dan kemudian berkembang lagi maknanya menjadi extortion (pemerasan), dalam kaitannya dengan pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara jahat dan korup. Suap pada gilirannya menjadi tindak pidana karena mengisyaratkan adanya maksud untuk mempengaruhi. Orang yang disuap kemudian berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban dan tugas pokoknya.

Dikategorikannya suap ke dalam tindak pidana karena pada prakteknya, ia tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional (biasa), tetapi sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) karena karakter korupsi yang dikandungnya sangat kriminogin (dapat menjadi sumber kejahatan yang lainnya) dan viktimogin (berpotensi merugikan berbagai dimensi kepentingan).

SUAP DALAM TRADISI POLITIK INDONESIA
Dalam konteks politik saat ini, kita tak begitu sulit untuk membedakan suapkah atau hadiahkah kebaikan dan pemberian, apakah dalam bentuk uang, sembako, modal usaha, alat olahraga, seragam sekolah, bedah rumah, dan sejuta bentuk kebaikan lainnya yang dilakukan para caleg menjelang hari ‘H’ perhelatan pemilu. Sistem yang umum berlaku membuat para caleg sulit memisahkan acara sosialisasi dengan ‘sawer’ uang, sembako dan lainnya karena kalau tidak, ia tak akan dipilih atau peluang untuk dipilih kecil.

Seringnya hati nurani berontak manakala menyaksikan dan mengetahui warga miskin menentukan pilihan atau memindahkan pilihan setelah menerima ‘segepok’ uang Rp. 20.000 atau lebih sedikit. Maka tak aneh bila beberapa oknum caleg tertangkap tangan membagikan ‘sesuatu’ di acara pengajian, muludan dan bakti sosial lainnya yang terjepret kamera panwas, lantas diperkarakan dan berakhir di jeruji besi. Selebihnya, kelihaian para caleg dalam bermain ‘petak umpet’ dengan panwas selalu sukses karena luput dari bidikan mata panwas.

Di Indonesia, sejarah suap dapat ditarik akar budayanya dalam perilaku pemberian upeti. Upeti dalam bahasa Sansakerta berarti tanda kesetiaan. Upeti adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk. Sebagai sebuah simbiosis mutualisme, para adipati memberikan persembahan kepada raja penakluk dan sebagai imbalannya, raja penakluk memberkan perlindungan kepada kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh adipati-adipati tersebut.

Keberlangsungan sistem upeti ini berlangsung berabad-abad hingga periode Indonesia modern seperti sekarang ini. alhasil, pola Patron-Client dimana upeti kepada atasan merupakan alat tukar kekuasaan dan dianggap sebagai standar yang wajar dalam membeli jabatan dan kursi kekuasaan. Karena sudah mengakar dan terbiarkan dengan bebas, maka budaya suap kepada atasan lalu sulit dibuktikan dan sulit diberantas.
(BAGIAN PERTAMA)




(BAGIAN KEDUA)
SUAP DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Islam adalah agama yang mengajarkan ajaran suci yang bisa membangun keseimbangan hidup yang berkeadilan. Kerancuan kehidupan sosial, budaya dan politik selalu bisa diatasi dengan doktrin-doktrinnya yang memuaskan semua pihak. Itulah sebabnya, suap atau risywah dalam Islam merupakan pelanggaran yang membawa ketimpangan sosial dan kerancuan hidup bermasyarakat.

Nabi Muhammad SAW, dalam statusnya sebagai kepala negara sering menerima hadiah, dan ini menjadi kekhususan bagi beliau. Maka di zaman Umar bin Abdul Aziz (682 M-719 M), khalifah tersukses dari khilafah Bani Umayah ia mengharamkan segala jenis pemberian. Ketika ia menolak suatu hadiah, dan dikatakan kepadanya bahwa nabi SAW menerima hadiah, maka beliau berkata, “Dahulu, pemberian untuk nabi adalah hadiah, sedangkan untuk kita adalah suap. Nabi didekati karena kenabiannya, bukan karena kekuasaannya, sementara kita didekati karena kekuasaan kita”.

Kekuasaan, jabatan dan posisi strategis lainnya seperti hakim dan jaksa adalah status sosial yang erat kaitannya dengan suap menyuap. Gaji yang dipandang kurang biasanya menjadi alasan untuk mencari masukan tambahan dan salah satunya adalah dari hadiah, grativikasi, dan persentasi dari proyek-proyek yang ditangani. Islam memandang penghasilan di luar gaji sebagai ghulul (korupsi) atau penghianatan. Nabi SAW bersabda, “Barang siapa aku tempatkan dalam suatu jabatan, aku beri dia gaji, maka apapun yang dia terima selain dari gaji itu (dengan memanfaatkan jabatan yang diembannya) adalah ghulul atau korupsi” (HR. Bukhari Muslim).

Hadiah bagi para pemimpin, entah dari rekanan, pemborong, pengusaha, bawahan dan orang-orang yang berkepentingan lainnya di zaman sekarang ini, sangat kental dengan nuansa suap. Asy-Syaukani dalam Nailul Autharnya menyatakan bahwa secara zhahir, hadiah yang diberikan kepada orang yang berkedudukan merupakan bentuk suap. Untuk membuktikan suap atau tidaknya hadiah bagi penguasa, nabi pernah bersabda, “Mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya (maksudnya tanpa kedudukan dan status), kemudian dia menunggu (tanpa kedudukannya itu) apakah dia mendapat hadiah atau tidak?” (HR. Bukhari). Alquran, dalam QS Ali Imran 161 mengancam siapapun yang mencari kekayaan dari hasil usaha memperkaya diri dari jabatan yang diembannya dengan firmannya, “Barangsiapa yang berkhianat, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu,”. Nabi pun bersabda, “hadiah bagi para pemimpin itu adalah penghianatan” (HR. Thabrani).

Dalam buku al-Halal wa al- Haram fi al- Islam, Syaikh Yusuf Qardhawi, menjelaskan marahnya nabi SAW terhadap pejabatnya yang menginginkan hadiah dari jabatan yang diembannya. Marahnya nabi ini, oleh Imam Ghazali dalam Ihya Uluumiddiinnya menjadi dalil tentang besarnya dosa dan kesalahan seorang pejabat yang terbiasa menerima hadiah. Maka nabi selalu memerintahkan untuk mengembalikan harta haram tersebut ke baitul mal. Ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah, ia pun memaksa Abu Hurairah, gubernur Bahrain, untuk mengembalikan hadiah yang ia terima ke kas negara. Umar sendiri, beberapa kali mengembalikan hadiah yang diterima isterinya, Ummi Kultsum ke kas negara.

Selain khulafa rasyidin dan Umar bin Abdul Aziz, Islam juga telah mencatat prestasi tokoh-tokoh pejabat yang anti terhadap hadiah dari jabatan yang diembannya pada zaman keemasan Islam, di antaranya Abul Abbas al- Hanafi, Ibrahim bin Khuzaimah al- Zuhri, Abu Isa al- Maqburi al- Kurki, Majdudin al- Bilbisi dan berpuluh dan beratus pejabat lainnya.

STOP MENGIDENTIKKAN POLITIK DENGAN UANG
Pastinya hingga hari ini, masyarakat bawah masih kuat mengidentikkan musim politik dengan hadiah-hadiah yang mereka terima selain kaus, tukar bensin kampanye dan lain-lain. Ada ungkapan yang akrab di telinga kita, “mun teu dibensinan mah cadu, moal rek milu kampanye” . Maka kita pun sering menyaksikan acara TV yang mengulas ‘biro’ kampanye, di mana orang yang mampu mengerahkan masa dibayar untuk menurunkan ratusan massa untuk meramaikan kampanye partai tertentu. Begitu kuatnya masyarakat di bawah memegang prinsip yang mereka yakini benar ini karena belum adanya upaya sistematis untuk mengubah paradigma itu menuju kondisi masyarakat yang lebih bermartabat.

Parahnya, para pemimpin dan tokoh-tokoh kita masih saja menyuarakan adagium, “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya”. Sepintas, adagium ini benar dan tidak ada yang perlu dipertanyakan. Tapi coba kita hayati lebih ke dalam, adagium ini justru mengajarkan berbagai kesalahan. Rakyat kita yang masih polos diajarkan untuk menerima suap politik, lalu mereka pun pada saat yang sama diajarkan untuk tidak fair, menerima dari ‘yang ini’ dan memilih ‘yang itu’.

Track politik kita hari ini, memang disinyalir menuju ke jalur yang lebih demokratis. Namun demikian, kerancuan politik masih saja kasat mata, terutama setelah MK mengeluarkan definisi pemenang pemilu menjadi peraih suara terbanyak. Maka semua caleg kita dari tingkat kabupaten/kota sampai nasional terdorong untuk berebut jatah kursi.

Karena tahun 2009 ini tahun pertama politik kita menganut sistim suara terbanyak, maka para caleg terdorong untuk mengikuti latah politik. Ujung-ujungnya modal politik membengkak dan semua caleg tak ada yang diam. Gerakan penghamburan uang pun terjadi, dan kita menyaksikan mobilitas para caleg luar biasa kuatnya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, RSU pun lalu menyiapkan ruangan khusus bagi caleg yang kalah bertanding dan rugi dengan modal besar yang ‘kadung’ dikeluarkan. Diprediksi, stressnya caleg yang kalah adalah karena akumulasi problem yang dialami; faktor utang finansial ke sana dan ke sini, faktor janji yang terlontar di acara kampanye dan terutama karena faktor kekalahan yang dialami.

Bila wacana perpolitikan kita masih terus diidentikan dengan pengeluaran modal besar-besaran —yang bila mengacu pada wacana ke-Islaman sudah jelas salah karena Islam tidak menghendaki jabatan diraih dengan membeli/mengeluarkan modal— dan memperjuangkan kemenangan dengan berbagai cara, maka kita pesimis para pelaku politik (politikus) kita akan membawa rakyatnya ke jalan yang benar. Islam mengajarkan bahwa jabatan adalah amanah dan masuliyah, tanggungjawab yang bukan hanya dipertanyakan di dunia ini saja, tapi di kampung tetangga (akhirat) sana.

Bila keinginan berbagai kalangan untuk memperbaiki sistim politik kita di tingkat bawah, kita tak akan butuh waktu terlalu lama dan terlambat untuk sampai di tempat tujuan. Para ulama tentunya dituntut untuk berandil lebih banyak lagi dalam menyampaikan hak itu hak dan bathil itu bathil. Merubah paradigma politik rakyat memang sulit dan butuh waktu lama, tapi membiarkan kondisi politik identik dengan uang dan modal, resikonya pasti lebih besar dan ujung-ujungnya, rakyat jugalah yang jadi korban.
Wallahu A'lam

0 komentar:

Posting Komentar

© 2009 - Khair syuhada' & friska syahidah | Free Blogger Template designed by Choen

Home | Top