haruskah kita bertaqlid?hal apa yang mengharuskan dan memperkuat kita bertaqlid,saya belum faham taqlid itu sendiri harus pemahaman mana yang mesti saya jalani dan yakini, apakah kita mesti bertaqlid kepada diantara 4mazhab, yang saya tahu cuma ada di indonesia saja, bukankah para imam yang lain diluar yg'4'ilmunya diakui bahkan pengetahuanya pun melebihi mereka
mohon maaf bila ada kata yang salah dan kurang jelas, saya masih jauh dari faham.
jazakalloh
dzikry
JAWABAN
Waaalikumussalam Wr Wb
Saudara Dzikriy yang dimuliakan Allah swt
Para ulama Ushul telah memberikan berbagai definisi untuk menjelaskan hakekat daripada taqlid, diantaranya perkataan sebagian mereka bahwa taqlid adalah menerima perkataan seseorang sementara dirinya tidak mengetahui darimana asal perkataan itu. Sebagian lainnya berpendapat bahwa taqlid adalah menerima pendapat seseorang tanpa hujjah (dalil). Sedangkan Abul Ma’ali al Juweiniy memilih definisi bahwa taqlid adalah mengikuti (seseorang) yang didalam mengikutinya itu tanpa disertai hujjah dan tidak bersandar kepada ilmu.
Adapun pembagian taqlid serta penjelasan hukum setiap bagian itu adalah sebagai berikut
1. Taqlid orang yang memiliki kemampuan berijtihad kepada seorang ulama setelah jelas baginya kebenaran berdasarkan dalil-dalil yang ada dari Nabi saw, maka dalam hal ini tidak diperbolehkan baginya untuk bertaqlid kepada orang yang bertentangan dengan apa yang telah didapatnya itu (berupa kebenaran) berdasarkan ijma’ ulama.
2. Taqlid orang yang telah memenuhi kemampuan berijtihad kepada seorang mujtahid lain sebelum dirinya mendapatkan hukum syar’i melalui ijtihadnya maka diperbolehkan baginya untuk bertaqlid dengan mujtahd lainnya, sebagaimana dikatakan Syafi’i, Ahmad dan sekelompok ulama dan ini pendapat yang paling tepat dikarenakan dirinya memiliki kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’i maka dirinya dibebankan untuk melakukan ijtihad untuk mengetahui hukum syar’i didalam permasalahan itu berdasarkan firman-Nya :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Artinya : “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At Taghabun : 16)
Serta hadits Rasulullah saw,”Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka lakukanlah sesuai kesanggupan kalian.”
3. Taqlid seorang yang tidak memiliki kemampuan untuk menelaah dalil-dalil dan mengeluarkan hukum-hukum darinya kepada seorang yang alim yang telah memenuhi kemampuan ijtihad terhadap dalil-dalil syar’i maka ini diperbolehkan, berdasarkan firman Allah swt :
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh : 286)
Artinya : “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui.” (QS. Al Anbiya : 7)
Serta dalil-dalil lainnya yang sejenis yang menujukkan bahwa telah diangkat kesulitan serta untuk melindungi seorang mukallaf dari jatuh kedalam hukum-hukum lalu mengatakan sesuatu tentang Allah yang tidak berdasarkan ilmu.
4. Taqlid kepada orang-orang yang menentang syariat islam, seperti nenek moyang, tuan-tuan, pemimpin-pemimpin ashobiyah atau mengikuti hawa nafsu maka taqlid yang seperti ini adalah diaharamkan menurut ijma’ ulama. Kecaman terhadap hal ini banyak terdapat didalam nash-nash Al Qur’an dan Sunnah. Firman Allah swt :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ
Artinya : “Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqoroh : 170)
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
Artinya : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa : 65)
Artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36)
Artinya : “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nuur : 63)
Artinya : “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (QS. Al Imran : 31)
إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا ﴿٦٤﴾
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لَّا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا ﴿٦٥﴾
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا ﴿٦٦﴾
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ﴿٦٧﴾
رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا ﴿٦٨﴾
Artinya : “Sesungguhnya Allah mela'nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka). Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, Andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami Telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar" (QS. Al Ahzab : 64 – 68) – (Al Lajnah ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta’ juz VI hal 475 – 477)
Kemudian apakah diwajibkan bagi seorang yang awam untuk bermadzhab dengan madzhab seorang mujtahid tertentu serta berpegang teguh dengan seluruh azimah dan rukhshahnya dan tidak diperbolekan keluar dari pendapatnya ?
Jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu tidaklah wajib, sebagai contoh : hendaklah dirinya mengamalkan pendapat Abu Hanifah didalam suatu permasalahan dan didalam permasalahan lainnya dia mengamalkan pendapat seorang mujtahid lainnya, hal ini dpertegas bahwa orang-orang yang meminta fatwa di setiap masa dari zaman sahabat hingga setelahnya sesekali mereka meminta fatwa kepada seseorang dan kali lainnya kepada selainnya dan mereka tidak mengharuskan dirinya kepada seseorang mufti saja.
Dengan demikian, seandainya seseorang berpegang teguh dengan suatu madzhab tertentu, seperti Abu Hanifah atau Syafi’i maka hal itu janganlah menjadikannya taqlid dengannya didalam setiap permasalahan, demikianlah pendapat al Amidi, Ibnul Hajib, al Kamal didalam penjelasannya dan ar Rofi’i serta yang lainnya karena berpegang teguh dengan suatu madzhab bukan suatu keharusan. Karena tidak ada kewajiban kecuali terhadap apa-apa yang telah diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya tidaklah mewajibkan seseorang untuk bermadzhab kepada madzhab imam tertentu dan bertaqlid dengannya didalam agamanya, mengambil setiap yang berasal darinya dan meninggalkan yang bukan darinya. .. (Fatawa al Azhar juz VII hal 173)
Imam Syaukani mengatakan bahwa para ulama yang membolehkan taqlid pun berbeda pendapat tentang apakah diwajibkan bagi seorang awam untuk berpegang teguh dengan madzhab tertentu. Sekelompok ulama mengatakan bahwa hal itu diharuskan baginya, demikian dikatakan Ilkiya al Harrosiy.
Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hal itu bukanlah suatu keharusan, ini pendapat yang diambil oleh Ibnu Burhan dan Nawawi dan ini juga pendapat para ulama Hambali. Mereka berdalil bahwa para sahabat tidaklah mengingkari orang-orang awam yang bertaqlid kepada sebagian mereka (para sahabat) didalam sebagian permasalahan sementara disebagian masalah lainnya mereka bertaqlid dengan sebagian sahabat lainnya. Para ulama salaf dahulu bertaqlid dengan para ulama yang mereka kehendaki sebelum munculnya madzhab-madzhab.
Orang-orang yang mengatakan bahwa diwajibkan taqlid bagi seorang awam berpegang teguh dengan madzhab tertentu maka baginya mengambil azhimah maupun rukhshahnya kecuali apabila telah jelas baginya bahwa pendapat lainnya lebih utama untuk dijadikan sebagai pegangan.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa apabila telah jelas baginya hukum Allah dan Rasul-Nya didalam suatu permasalahan maka tidaklah diperbolehkan baginya untuk berpaling darinya dan tidak pula mengikuti seseorang didalam menentang hukum Allah dan Rasul-Nya… (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 4682)
Wallahu A’lam
pak ustad yang dirahmati allah
haruskah kita bertaqlid?hal apa yang mengharuskan dan memperkuat kita bertaqlid,saya belum faham taqlid itu sendiri harus pemahaman mana yang mesti saya jalani dan yakini, apakah kita mesti bertaqlid kepada diantara 4mazhab, yang saya tahu cuma ada di indonesia saja, bukankah para imam yang lain diluar yg'4'ilmunya diakui bahkan pengetahuanya pun melebihi mereka
mohon maaf bila ada kata yang salah dan kurang jelas, saya masih jauh dari faham.
jazakalloh
dzikry
JAWABAN
Waaalikumussalam Wr Wb
Saudara Dzikriy yang dimuliakan Allah swt
Para ulama Ushul telah memberikan berbagai definisi untuk menjelaskan hakekat daripada taqlid, diantaranya perkataan sebagian mereka bahwa taqlid adalah menerima perkataan seseorang sementara dirinya tidak mengetahui darimana asal perkataan itu. Sebagian lainnya berpendapat bahwa taqlid adalah menerima pendapat seseorang tanpa hujjah (dalil). Sedangkan Abul Ma’ali al Juweiniy memilih definisi bahwa taqlid adalah mengikuti (seseorang) yang didalam mengikutinya itu tanpa disertai hujjah dan tidak bersandar kepada ilmu.
Adapun pembagian taqlid serta penjelasan hukum setiap bagian itu adalah sebagai berikut
1. Taqlid orang yang memiliki kemampuan berijtihad kepada seorang ulama setelah jelas baginya kebenaran berdasarkan dalil-dalil yang ada dari Nabi saw, maka dalam hal ini tidak diperbolehkan baginya untuk bertaqlid kepada orang yang bertentangan dengan apa yang telah didapatnya itu (berupa kebenaran) berdasarkan ijma’ ulama.
2. Taqlid orang yang telah memenuhi kemampuan berijtihad kepada seorang mujtahid lain sebelum dirinya mendapatkan hukum syar’i melalui ijtihadnya maka diperbolehkan baginya untuk bertaqlid dengan mujtahd lainnya, sebagaimana dikatakan Syafi’i, Ahmad dan sekelompok ulama dan ini pendapat yang paling tepat dikarenakan dirinya memiliki kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’i maka dirinya dibebankan untuk melakukan ijtihad untuk mengetahui hukum syar’i didalam permasalahan itu berdasarkan firman-Nya :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Artinya : “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At Taghabun : 16)
Serta hadits Rasulullah saw,”Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka lakukanlah sesuai kesanggupan kalian.”
3. Taqlid seorang yang tidak memiliki kemampuan untuk menelaah dalil-dalil dan mengeluarkan hukum-hukum darinya kepada seorang yang alim yang telah memenuhi kemampuan ijtihad terhadap dalil-dalil syar’i maka ini diperbolehkan, berdasarkan firman Allah swt :
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh : 286)
Artinya : “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui.” (QS. Al Anbiya : 7)
Serta dalil-dalil lainnya yang sejenis yang menujukkan bahwa telah diangkat kesulitan serta untuk melindungi seorang mukallaf dari jatuh kedalam hukum-hukum lalu mengatakan sesuatu tentang Allah yang tidak berdasarkan ilmu.
4. Taqlid kepada orang-orang yang menentang syariat islam, seperti nenek moyang, tuan-tuan, pemimpin-pemimpin ashobiyah atau mengikuti hawa nafsu maka taqlid yang seperti ini adalah diaharamkan menurut ijma’ ulama. Kecaman terhadap hal ini banyak terdapat didalam nash-nash Al Qur’an dan Sunnah. Firman Allah swt :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ
Artinya : “Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqoroh : 170)
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
Artinya : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa : 65)
Artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36)
Artinya : “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nuur : 63)
Artinya : “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (QS. Al Imran : 31)
إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا ﴿٦٤﴾
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لَّا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا ﴿٦٥﴾
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا ﴿٦٦﴾
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ﴿٦٧﴾
رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا ﴿٦٨﴾
Artinya : “Sesungguhnya Allah mela'nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka). Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, Andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami Telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar" (QS. Al Ahzab : 64 – 68) – (Al Lajnah ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta’ juz VI hal 475 – 477)
Kemudian apakah diwajibkan bagi seorang yang awam untuk bermadzhab dengan madzhab seorang mujtahid tertentu serta berpegang teguh dengan seluruh azimah dan rukhshahnya dan tidak diperbolekan keluar dari pendapatnya ?
Jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu tidaklah wajib, sebagai contoh : hendaklah dirinya mengamalkan pendapat Abu Hanifah didalam suatu permasalahan dan didalam permasalahan lainnya dia mengamalkan pendapat seorang mujtahid lainnya, hal ini dpertegas bahwa orang-orang yang meminta fatwa di setiap masa dari zaman sahabat hingga setelahnya sesekali mereka meminta fatwa kepada seseorang dan kali lainnya kepada selainnya dan mereka tidak mengharuskan dirinya kepada seseorang mufti saja.
Dengan demikian, seandainya seseorang berpegang teguh dengan suatu madzhab tertentu, seperti Abu Hanifah atau Syafi’i maka hal itu janganlah menjadikannya taqlid dengannya didalam setiap permasalahan, demikianlah pendapat al Amidi, Ibnul Hajib, al Kamal didalam penjelasannya dan ar Rofi’i serta yang lainnya karena berpegang teguh dengan suatu madzhab bukan suatu keharusan. Karena tidak ada kewajiban kecuali terhadap apa-apa yang telah diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya tidaklah mewajibkan seseorang untuk bermadzhab kepada madzhab imam tertentu dan bertaqlid dengannya didalam agamanya, mengambil setiap yang berasal darinya dan meninggalkan yang bukan darinya. .. (Fatawa al Azhar juz VII hal 173)
Imam Syaukani mengatakan bahwa para ulama yang membolehkan taqlid pun berbeda pendapat tentang apakah diwajibkan bagi seorang awam untuk berpegang teguh dengan madzhab tertentu. Sekelompok ulama mengatakan bahwa hal itu diharuskan baginya, demikian dikatakan Ilkiya al Harrosiy.
Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hal itu bukanlah suatu keharusan, ini pendapat yang diambil oleh Ibnu Burhan dan Nawawi dan ini juga pendapat para ulama Hambali. Mereka berdalil bahwa para sahabat tidaklah mengingkari orang-orang awam yang bertaqlid kepada sebagian mereka (para sahabat) didalam sebagian permasalahan sementara disebagian masalah lainnya mereka bertaqlid dengan sebagian sahabat lainnya. Para ulama salaf dahulu bertaqlid dengan para ulama yang mereka kehendaki sebelum munculnya madzhab-madzhab.
Orang-orang yang mengatakan bahwa diwajibkan taqlid bagi seorang awam berpegang teguh dengan madzhab tertentu maka baginya mengambil azhimah maupun rukhshahnya kecuali apabila telah jelas baginya bahwa pendapat lainnya lebih utama untuk dijadikan sebagai pegangan.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa apabila telah jelas baginya hukum Allah dan Rasul-Nya didalam suatu permasalahan maka tidaklah diperbolehkan baginya untuk berpaling darinya dan tidak pula mengikuti seseorang didalam menentang hukum Allah dan Rasul-Nya… (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 4682)
Wallahu A’lam
0 komentar:
Posting Komentar