Allah menurunkan Al-Quran sebagai petunjuk kepada jalan kebenaran, cahaya yang menerangi kegelapan, pelita yang membimbing di tengah perjalanan menuju akherat, kurikulum kehidupan, nasehat yang penuh manfaat, semakin dikaji semakin bertambah keimanan, semakin mendalam keilmuan, maka semakin memperkuat motivasi untuk beramal. Di dalamnya terdapat makna-makna yang lebih segar dan lebih nikmat dari air dingin bagi orang yang kehausan, lebih lembut dari hembusan angin di taman bunga, lebih terang dari sinar mentari yang menyinari alam.
Begitulah diantara ungkapan para ulama tafsir yang mengkaji ayat-ayat Al-Quran, mereka semua ketemu kepada satu kesimpulan bahwa Al-Quran adalah kitab yang selalu baru ayat-ayatnya walau dibaca berulang-ulang, tidak akan pernah bosan mengkajinya, ia akan selalu menghadirkan suatu yang baru berupa iman, ilmu dan kefahaman, karena ia adalah mu’jizat dari sisi Alllah, kitab yang mengandung keberkahan, kemudian kita diperintahkan untuk mentadaburinya. Allah berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ ص : 29
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shaad: 29)
Imam As-Sa’di dalam tafsirnya Taisir Karimir Rohman beliau menjelaskan, “bahwa makna ‘Mubarokun’ ialah di dalam Al-Quran terdapat keberkahan yang banyak, ilmu yang melimpah, hikmah diturunkan Al-Quran ini adalah untuk mentadaburinya, karena dengan mentadaburi dan mentafakurinya secara berulang-ulang akan mendapatkan keberkahan dan kebaikan yang banyak.”
Imam Qusyairi dalam tafsirnya mengatakan: "Mubarokun adalah Al-Quran, yang berarti besar manfaatnya, selalu kekal dan tidak tergantikan dengan kitab yang lain, kemudian dijelaskan bahwa keberkahan itu ada dalam mentadaburi dan mentafakuri makna-maknanya.”
Lalu yang menjadi pertanyaan kita bersama adalah: mengapa keberkahan, ketenangan, kebahagiaan, keindahan akhlak, kemuliaan, kemenangan, itu belum dapat dirasakan oleh sebagian besar umat islam, padahal Al-Quran ada di tengah-tengah mereka, sedangkan Al-Quran yang ada saat ini seperti halnya juga Al-Quran yang diturunkan kepada Rosulullah ketika itu dan dipelajari oleh para sahabat. Kemudian mereka menjadi teladan dalam keimanan mereka, dalam ibadah mereka, dalam akhlak mereka, dalam kehidupan mereka secara nyata, walaupun saat itu dengan keterbatasan yang ada, zaman yang tidak memiliki kecanggihan seperti saat ini?.
Bukan Al-Qurannya yang salah, namun pengambilan Al-Quran itu yang berbeda, rasa kebutuhan yang kurang terhadap Al-Quran, keingianan untuk menjadikan Al-Quran sebagai satu-satunya pedoman yang membimbing kepada kehidupan yang benar itu masih belum banyak disadari, bahkan sebagian orang menganggap Al-Quran tidak penting dan tidak relevan dengan zaman sekarang bahkan berpaling darinya, lebih suka produk-produk pemikiran yang sangat tidak sejalan dengan Al-Quran.
Ketika Allah mengatakan pada ayat:
لَقَدْ أَنزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ الأنبياء: 10
Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (QS. Al-Anbiya: 10)
Imam Al-Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya Al-Jami’ li ahkamil Quran, “pendapat yang paling kuat dari ayat ini adalah seperti ayat: وَإِنَّهُ لَذِكْرٌ لَكَ وَلِقَوْمِكَ
“Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu.”. (Az-Zukhruf: 44)
“yaitu ia merupakan kemuliaan bagi siapa yang mengamalkannya baik dari orang quraisy ataupun buhkan orang quraisy. “
Tenyata di sinilah kuncinya, kemuliaan itu ada pada pengamalan isi Al-Quran.
Al-Quranul karim mempunyai pengaruh yang agung dalam proses perbaikan diri dan mensucikannya. Rosulullah memiliki perhatian yang besar dalam membina sahabat-sahabatnya. Sahabat Rosulullah, Jundub bin Abdullah ra mengatakan:
قاله جندب بن عبدالله -رضي الله عنه- قال: كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم ونحن فتيان حزاورة فتعلمنا الإيمان قبل أن نتعلم القرآن، ثم تعلمنا القرآن فازددنا به إيماناً
“Kami bersama Rosulullah saat kami masih belia, kami mempelajari keimanan sebelum mempelajari Al-Quran, kemudian kami mepelajari Al-Quran maka bertambahlah keimanan kami."
Begitulah Al-Quran, bahwa ia memang bersumber dari yang Maha Kuasa, berapa banyak kisah-kisah, novel-novel, yang mungkin membuat kita terpesona dengan kisah-kisahnya, bahkan berderai air mata, haru, tersenyum, puas, namun banyak yang tak berminat lagi untuk membacanya ulang dua sampai tiga kali bahkan sampai 10 kali. Adapun Al-Quran, semakin dibaca semakin nikmat, semakin diulangi semakin bertambah kelezatannya, bahkan tak pernah bosan walau dibaca lebih dari 17 kali sehari.
Imam Ibnul Qayyim mengatakan: “Kalau sekiranya orang-orang mengetahui apa-apa yang di dalam Al-Quran mereka akan sibuk dengannya dari pada urusan lainnya. Apabila engkau baca dengan tafakur, kemudian engkau temui ayat yang mengobati hatimu engkau akan ulang-ulangi ayat itu walaupun sampai seratus kali, walaupun sepanjang malam. Membaca ayat dengan tafakur lebih baik dari menghatamkannya tanpa tadabur dan pemahaman, dan lebih memberi manfaat bagi hati, menghantarkan kepada keimanan dan merasakan manisnya Al-Quran.” (Kitab Miftah Darus Sa’dah 1/553-554)
Begitulah para salafusholih dalam mentadaburi Al-Quran. Suatu malam Rosulullah saw sholat dan mengulangi-ulangi ayat yang sama إن تعذبهم فإنهم عبادك و إن تغفرلهم فإنك أنت العزيز الحكيم sampai shubuh menjelang.”
Begitulah juga kisah Imam Abu Hanifah yang diceritakan oleh Yazid bin Al-Kimyat, ia berkata: “Abu Hanifah adalah seorang yang sangat takut kepada Allah SWT, suatu malam Ali bin Al-Husain membaca Surat Al-Zilzalah (Idza Dzul zilatil ardhu zil zalaha) ketika sholat isya, dan Abu Hanifah berada di belakangnya. Ketika selesai sholat, orang-orang keluar dari masjid dan aku melihat kepada Abu Hanifah sedang duduk, berdzikir kemudian ia sholat dan mengulangi membaca surat Al-Zilzalah. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkannya sehingga beliau tidak terganggu dengan keberadaanku. Lalu aku keluar dari masjid. Ketika aku keluar, aku tinggalkan sebuah lampu yang minyaknya tinggal sedikit. Ketika aku tiba kembali saat fajar, lalu aku mengumandangkan azan dan menyalakan lampu. Ketika itu aku melihat Abu Hanifah masih berdiri sambil membaca surat Al-Zilzalah berulang-ulang. Ketika melihatku ia bertanya, “Apakah engkau akan mengambil lampu?” lalu ku jawab: “Aku telah mengumandangkan azan shubuh.” Kemudian ia berkata: “Sembunyikan apa yang engkau lihat dariku”. Lalu ia sholat dua rakaat, kemudian duduk menunggu iqomat, dan sholat shubuh bersama kami masih dengan wudhu tatkala ia sholat isya malam sebelumnya.
Maka ‘tidak mengkaji dan mentadaburi Al-Quran’ merupakan salah satu tanda bahwa ada pintu yang terkunci rapat sehingga menutupi hati ini. Tutup itu harus dibuka, dan kuncinya adalah mentadaburi Al-Quran, agar cahaya iman masuk ke dalamnya. Allah berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا 24
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)
Syeikh Muhammad Sayyid Thotowi dalam tafsir Al-Wasith mengomentari ayat ini dengan mengatakan: “ayat ini adalah pengingkaran kepada orang-orang munafik yang mereka berpaling dari Al-Quran, bahkah mereka tidak mau mentadaburinya, walaupun di dalamnya penuh dengan pelajaran, perintah dan larangan, karena di hati mereka ada tutup yang menghalangi antara mereka dan tadabur. ‘Al-Aqfalun’ bentuk jama’ dari Quflun, yaitu berupa alat untuk mengunci pintu atau sejenisnya, maksud ayat ini adalah penjelasan bahwa hati mereka tertutup dan terkunci rapat, tidak masuk keimanan ke dalamnya dan tidak keluar darinya kemunafikan dan kekufuran.”
Begitu juga penjelasan ayat diatas dalam tafsir Al-Kasyaf, “bahwa maksud hati di sini ada dua, pertama hati yang keras, dan kedua hati sebagian orang munafik, adapun kunci di sini adalah kekufuran yang mengunci rapat hati mereka.”
Imam Sayyid Thontowi melanjutkan, “bahwa para ulama mengatakan ayat di atas menunjukkan wajib hukumnya mentadaburi dan mentafakuri ayat-ayat Al-Quran, kemudian mengamalkan apa yang di dalamnya, dari petunjuk, perintah dan larangan, adab dan hukum-hukumnya, karena tidak mentadaburinya akan menyebabkan kepada kekerasan hati serta kesesatan jiwa, sebagimana keadaan orang-orang munafik.”
Hal senada diungkapkan oleh Ustadz Sayyid Qutb dalam tafsirnya, ketika mengomentari ayat ini beliau mengatakan: “Tadabur Al-Quran menghilangkan penutup hati, membuka jendelanya, memperoleh cahaya, menggerakan perasaan (indera), menguatkan hati, mengikhlaskan nurani (batin), menumbuhkan kehidupan di dalam jiwa, berkilau dengannya, kemudian terbit dan menyinari.”
Bahkan Syeikh Syinqithi dalam tafsir beliau Adhwa’ul Bayan, ketika menjelas ayat di atas beliau dengan agak keras mengatakan bahwa, “Allah mencela orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Allah sebagaimana dijelaskan dalam firmannya:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهَا وَنَسِيَ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ إِنَّا جَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِنْ تَدْعُهُمْ إِلَى الْهُدَى فَلَنْ يَهْتَدُوا إِذًا أَبَدًا الكهف : 57
“Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya lalu dia berpaling dari padanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.” (Al-Kahfi: 57)
Maka kata beliau melanjutkan, “ayat di atas menunjukkan bahwa mentadaburi Al-Quran, memahaminya dan mempelajarinya adalah suatu keharusan bagi kaum muslimin. Siapa saja yang tidak disibukkan dengan mentadaburi ayat-ayat Allah, atau memahaminya, mempelajari makna-maknanya kemudian mengamalkannya, maka ia termasuk ‘mu’ridh’ atau orang yang berpaling, dan termasuk orang yang dicela dalam ayat di atas jika Allah telah memberinya kefahaman untuk dapat mentadaburinya.”
Rosulullah pernah mengadu kepada Allah bahwa kaumnya telah meninggalkan Al-Quran, sebagaimana firman-Nya:
وَقَالَ الرسول يارب إِنَّ قَوْمِي اتخذوا هذا القرآن مَهْجُوراً
Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan." (QS. Al-Furqan : 30)
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan ayat ini dalam kitab Al-Fawaid: “Tidak mengacuhkan Al-Quran memiliki beberapa macam pengertian: Pertama, tidak mendengarkan dan mengimaninya. Kedua, tidak mengamalkannya, tidak peduli dengan halal dan haramnya, walaupun ia membaca dan mengimaninya. Ketiga, meninggalkannya ialah tidak menjalankan hukum-hukumnya. Keempat, meninggalkannya dengan tidak mentadaburi, memahaminya dan mengetahui maksud dari apa yang disampaikan Allah dalam ayat-ayat-Nya. Kelima, meninggalkan al-Quran dalam arti tidak menjadikan Al-Quran sebagai obat dari penyakit-penyakit hati.”
Apa buah dari mentadaburi Al-Quran? Diantara hasil yang didapat dari mentadaburi Al-Quran antara lain:
Pertama, menghasilkan keyakinan yang semakin mantap di dalam hati, rasa takut dan harap serta merasakan keagungan Allah.
Al-Quran adalah laksana air yang hati sebagai mana air hujan menyirami tumbuhan. Pohon tidak dapat hidup, bahkan ia akan kering dan mati jika tidak disirami oleh air. Begitu juga hati akan mati dan dan keras jika jika tidak pernah disirami Al-Quran, hilang rasa sensitifnya, halal dan haram sama saja, bahkan menjadi remang, dosa atau tidak dosa sudah tidak dapat lagi dibedakan, bahkan memandang kemaksiatan adalah satu hal yang biasa. Hati yang selalu disirami Al-Quran akan selalu hidup, mempunyai pengaruh, sehingga bergetarlah jiwanya ketika mendengar ayat-ayat Allah. Begitulah ungkapan tadabur yang indah di dalam ayat 21-23 surat Az-Zumar, sebagaimana artinya:
Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang yang dapat memberi petunjuk.” (QS. Az-Zumar 21-23).
Kedua, bertambahnya keimanan dan merasakan kelapangan hati.
وإِذَا مَا أُنزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَاناً فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُواْ فَزَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ سورة التوبة 9/124
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.” (QS. At-Taubah: 124)
Orang-orang yang beriman selalu merasa gembira dan lapang hatinya ketika ayat-ayat Allah disampaikan.
Ketiga, kemenangan umat muslimin dengan Al-Quran.
Sebagaimana telah dibuktikan oleh kemenangan umat islam pada masa-masa keemasannya, yang menjadikan Al-Quran sebagai satu-satunya sumber inspirasi yang mereka mempelajarinya tidak lebih dari 10 ayat dan tidak pindah kepada ayat selanjutnya sebelum mereka mengamalkannya.
Seorang pemimpin Prancis mengatakan dalam peringatan 100 tahun penjajahan Al-Jazair: “Sesungguhnya kita tidak akan menang terhadap orang-orang Al-Jazair, selagi mereka membaca Al-Quran dan berbahasa arab, maka wajib bagi kita untuk menghilangkan Al-Quran yang berbahasa arab dari keberadaannya dan mencabut ucapan bahasa arab dari lisan mereka.”
Hal itupun telah mereka perbuat terhadap Turki dan Negara islam lainnya.
Bagaimana mentadaburi Al-Quran? Diantara cara mentadaburi Al-Quran sebagai berikut:
Pertama, menghadirkan hati dan fikiran. Kemudian bacalah Al-Quran dengan tartil, dengan bacaan terbaik yang kita mampu, karena kekhusyu’an dalam membaca Al-Quran sangat membantu dalam mentadaburi dan memahaminya.
Kedua, merasakan keagungan Allah seakan-akan Allah sedang berbicara dengan kita melalui Al-Quran. Imam Ali berkata; “Jika aku ingin Allah berkata-kata denganku maka aku membaca Al-Quran, jika aku ingin berbicara dengan Allah maka aku lakukan sholat.”
Ketiga, berusaha memahami arti dan maksudnya, sambil menggunakan kitab tafsir dan Al-Quran terjemah, kitab tafsir yang dapat membantu seperti Tafsir Ibnu Katsir, tafsir Fi Zhilalil Quran, dan tafsir Syeikh Sa’di.
Keempat, menghubungkan Al-Quran dengan realitas kehidupan yang sedang kita rasakan, kemudian berusaha untuk mengamalkan apa yang dapat difahami dari ayat-ayat tersebut. Sebagaimana para sahabat yang mempelajari Al-Quran dengan satu tujuan, yaitu untuk mengamalkan isinya, bukan untuk menambah wawasan ataupun sekedar menikmati cerita, kisah dan bacaannya. Mereka mempelajari sepuluh ayat, setelah mereka mengamalkannya mereka melanjutkanya pada ayat-ayat selanjutnya.
Wallahu a’lam bishowab.
Baca selengkapnya ..
Sabtu, 03 April 2010
Membongkar kesesatan Hermeneutika
Hermeneutika, suatu istilah baru yang bersifat akademik, untuk menafsirkan maksud, pengertian dan tujuan suatu teks-teks kuno. Metode tafsir Hermeneutika yang akhir-akhir ini marak digunakan di perguruan tinggi Islam mengandung bahaya yang sangat besar kepada Al-Quran khususnya dan pemahaman umat Islam pada umumnya. Mengapa demikian? Berikut ini pembahasan lebih dalam tentang asal muasal tujuan diterapkan hermeneutika sampai akhirnya dipaksa diterapkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Dari segi bahasa hermeneutika yang meminjam perkataan Inggris hermeneutics berasal dari perkataan Greek (Yunani) hermeneutikos. Aristotle ahli filsafat Greek dahulu pernah menulis tajuk yaitu Peri Hermenias yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin sebagai De interpretatione yang lantas dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai On the Interpretation.
Namun, jauh sebelum terjemahan dalam bahasa latin, al-Farabi (w.339/950), seorang ahli filsafat Muslim terkemuka, telah menerjemahkan dan memberi komentar karya Aristotle itu terlebih dahulu ke dalam bahasa Arab dengan judul Fi al-‘Ibarah. Jadi dari segi bahasa sebenarnya hermeneutics itu artinya adalah pemahaman (to understand), yaitu bagaimana kita memahami sesuatu, khususnya pemahaman tentang teks tertentu.
Kemudian hermeneutika ini dikembangkan menjadi suatu metodologi yang khusus untuk menafsirkan bible yaitu kitab suci orang-orang kristen. Nah, kenapa mereka membangun metodologi demikian? Karena didalam bible mereka menghadapi masalah dengan teks-teks bible itu sendiri.
Mereka tahu bahwa bible ini bukan ditulis oleh Nabi ‘Isa ‘alaihissalam (yang dipercaya orang-orang nasrani sebagai Yesus) dan bukan pula ditulis oleh murid-murid Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, tetapi ditulis oleh orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi ‘Isa. Jadi kalau kita lihat bible new testament atau perjanjian baru, disana ada Injil Johanes, Injil Markus, Injil Mathius, Injil Lukas dan sebagainya. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, tetapi mereka menulis tentang bible dan menceritakan tentang kisah hidup Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.
Dalam ilmu hadits, kalau seseorang meriwayatkan hadits tapi dia tidak pernah bertemu dengan Rasulullah maka hadits itu dikatakan mursal. Seharusnya yang bisa menceritakan kisah hidup Rasulullah itu hanya sahabat. Jika ada tabi’in mengatakan sami’tu Rasulullah (saya mendengar Rasulullah) maka haditsnya mursal, dan mursal itu dhoif, yaitu tidak bisa diterima dari segi periwayatan.
Kalau kita menilai bible dengan menggunakan ilmu hadits maka seluruh isi bible itu mursal semua, semua riwayatnya tertolak. Jangankan membandingkan bible dengan Al-Qur’an, bahkan membandingkan bible dengan hadits saja tidak seimbang.
Al-Qur’an memiliki riwayat yang mutawatir, seluruh Al-Qur’an memiliki jalur periwayatan yang amat banyak. Sedangkan bible, selain riwayatnya ahad (tunggal, dibawa oleh seorang saja – Johanes, Markus, Lukas dan Mathius hanya meriwayatkan seorang diri) juga riwayatnya mursal, sanad atau mata rantai periwayatannya terputus, karena mereka tidak pernah bertemu dengan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam. Demikian fakta pertama tentang bibel.
Fakta kedua adalah, bahwasanya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam itu berbicara dalam bahasa Aramaic sedangkan bible ditulis berdasarkan kepada manuskrip yang berbahasa Yunani atau bahasa Greek. Padahal Nabi ‘Isa ‘alaihissalam tidak berbicara dengan bahasa Greek.
Kemudian bible-bible yang berkembang sekarang ini bukanlah lagi menggunakan bahasa Greek. Ada bahasa Inggris, bahasa Jeman, bahasa Perancis. Sedangkan bible yang berbahasa Indonesia diambil dari bahasa Inggris. Mereka mengatakan semuanya itu adalah bible. Sedangkan bagi Al-Qur’an, terjemahan Al-Qur’an itu bukanlah Al-Qur’an itu sendiri. Itu hanya terjemahan saja, sedangkan Al-Qur’an yang asli itu dalam bahasa Arab.
Karena orang-orang kristen menghadapi masalah yang seperti ini, mereka menganggap di dalam bible ada gap, ada suatu jarak antara bible dan Nabi ‘Isa yang menerima wahyu. Oleh karena itu mereka mencurigai atau tidak meyakini bahwasanya bible yang sekarang ini mewakili wahyu yang diterima oleh Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.
Maka pada gilirannya, mereka membangun satu metodologi yang disebut hermeneutics, tujuannya untuk menjembatani antara wahyu yang diterima Nabi ‘Isa dengan empat orang periwayat bible tadi, disebabkan ada jarak atau rentang waktu yang cukup jauh bahkan sampai seratusan tahun. Jadi mereka ingin mencari suatu pendekatan supaya ketika mereka membaca bible, mereka bisa mendapat wahyu yang diperoleh oleh Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.
Tegasnya, hermeneutika yang dibawa oleh kaum nasrani itu bermula dari kecurigaan mereka akan keraguan tentang keaslian teks-teks di dalam bible (Injil Johanes, Injil Lukas, Injil Markus dan Injil Mathius) karena penulisan teks-teks dalam bible tersebut dilakukan setelah seratusan tahun lebih dari semenjak Nabi ‘Isa ‘alahissalam. Artinya penulis bible itu tidak pernah hidup sejaman dengan Nabi ‘Isa ‘alaihisaalam. Maka metodologi hermeneutika itu digunakan untuk menjembatani “rentang yang hilang” sehingga diharapkan akan mendekatkan mereka dengan wahyu sebenarnya yang diterima oleh Nabi ‘Isa ‘alahissalam. Demikianlah asal dari hermeneutka bible itu.
Metoda “MENAMBAL” rentang yang hilang pada bible (hermeneutika) itu dianggap sebagai metode ilmiah yang sahih, dan sekarang di-coba-paksa-terap-kan dalam kitab suci orang Islam, Al-Qur’an. Sementara itu hasil “uji coba” hermeneutika pada bible sampai sekarang tidak menghasilkan rekonstruksi bible baru yang kemudian mereka sahihkan sebagai wahyu Allah yang dahulu diturunkan kepada Nabi ‘Isa ‘alaihissalam (dan saya yakin hal itu mustahil akan berhasil)
Anehnya, saat ini orang-orang muslim banyak yang terpesona, - (astaghfirullah al’adziim, kembali kita menyaksikan kebodohan karena terpesona dengan metodologi non muslim – Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)? [Al-Munafiqun 63:4]). Sekarang apabila seseorang ingin menerapkan hal ini kepada Al-Qur’an, asumsi yang harus ia buat pertama kali adalah kita memiliki masalah terhadap teks-teks Al-Qur’anul Karim. Orang seperti ini akan mengatakan bahwa teks Al-Qur’an ini bermasalah. Sebab jika seorang menggunakan hermeneutika berarti ia menganggap Al-Qur’an ini ada yang menulis atau mengarangnya.
Menurut hermeneutikawan, didalam setiap buku kuno maupun buku baru disana ada 3 unsur : yang pertama adalah teks. Buku itu terdiri dari huruf, kata-kata, kalimat, paragraf dan seterusnya. Kemudian yang kedua, sebuah buku tidak mungkin jadi begitu saja. Mesti ada yang mengarangnya. Yang ketiga, ada pembacanya.
Ketiga hal tersebut sangat tepat diterapkan kepada bible karena ada teks, ada penulis/pengarangnya dan ada pembacanya. Karena bible tidak mewakili seluruh wahyu Tuhan yang diterima oleh Nabi ’Isa ’alaihissalam, maka pembacanya tidal dapat menyerap seluruh wahyu tersebut. Dengan alasan inilah dibangun suatu metode hermeneutika, sehingga salah satu tujuan hermeneutika bible adalah supaya kita bisa membaca teks sebaik atau lebih baik dari pengarangnya.
Hal ini sah-sah saja karena tujuan orang kristen untuk membaca bible dengan metode hermeneutika adalah supaya mereka mampu membaca bible sebaik Johanes, Lukas, Markus dan Mathius. Atau bahkan agar bisa lebih baik dari mereka karena ada jarak tadi. Maka wajar bila metode ini diterapkan dalam studi bible.
Tetapi apabila hal ini diterapkan kepada Al-Qur’an maka apakah terpikir di dalam benak umat Islam bahwa kita akan membaca Al-Qur’an sebaik atau lebih baik daripada yang menurunkannya yaitu Allah SWT. Mustahil hal ini terjadi, tidak terpikir sama sekali oleh umat Islam karena ketika kita membaca Al-Qur’an itu kita berada di belakang Al-Qur’an. Kita tidak bisa macam-macam dengan Al-Qur’an.
Kalau kita membaca buku biasa, sebenarnya kita melakukan reproductive reading, membaca kembali apa yang telah ditulis pengarang. Jadi kita berada di belakang pengarang, kita ikut alur pengarang.
Dalam metode hermeneutika, kita tidak lagi melakukan reproductive reading tapi kita memproduksi makna baru dari teks itu sendiri. Maka ia disebut sebagai productive reading, yaitu membaca secara produktif. Jadi karena pengarangnya sudah mati, maka kita bisa membaca dan bisa memahaminya semampu dan semau kita dengan makna baru yang kita produksi sendiri. Mau diapakan saja teks itu terserah kepada pembaca. Dalam hal ini pembaca berada dalam posisi sangat bebas untuk mengartikan dan memahami teks. Inilah yang disebut dengan productive reading yang dalam bahasa Arab disebut dengan qiro’ah muntijah. Hal ini tentu tidak bisa diterapkan untuk Al-Qur’an Al-Karim, khususnya tentang apa-apa yang sudah qoth’i atau pasti. Kita harus selalu di belakang Al-Qur’an, kita di belakang Allah subhanahu wata’ala.
Hermeneutika dalam bible ini kemudian dikembangkan dalam dunia filsafat, sehingga dia menjadi metodologi umum dalam memahami teks apa saja. Perkembangan pemakaian metode hermeneutika ini dibawa oleh seorang protestan bernama Friedrich Schleiermacber. Dialah yang sebenarnya bertanggungjawab dalam membawa hermeneutika ini dari ruang lingkup biblical studies ke dalam lingkungan filsafat. Sehingga setiap karya yang berupa teks dapat menjadi objek dari hermeneutika.
Sebuah thesis Ph.D milik Dr. Arief Nayed (ISTAC) mengenai hermeneutika juga menyatakan hal demikian. Originally, the term ’Hermeneutics’ was employed in reference to the field of study concerned with developing rules and methods that can guide biblical exegesis. During the early years of the nineteenth century, ‘Hermeneutics’ became ‘General Hermeneutics’ at the hands of philosopher and protecstant theologian Friedrich Schleiermacber. Schleiermacber transformed Hermeneutics into a philosophical field af study by elevating it from the confines of narrow specialization as a theological field to the higher ground of general philosophical concerns about language and its understanding.
Dekonstruksi Al-Quran
Hermeneutika yang kini telah menjadi metodologi umum, apakah mungkin hermeneutika ini diterapkan kepada Al-Quran. Mereka berkata bahwa “Al-Quran adalah buku, adalah teks, adalah kitab kuno atau kitab klasik. Jadi ada jarak antara kita dengan Rasulullah”.
Tentang keaslian teks-teks Al-Quran itu pun mereka pertanyakan, mereka keluarkan riwayat-riwayat maka timbullah kajian tentang dekonstruksi (baca : pembongkaran kembali) Al-Qur’an. Al-Qur’an ingin mereka konstruksi ulang, mereka edit sampai-sampai ingin mengeluarkan Al-Qur’an edisi kritis. Maksud mereka ingin merubah kembali Qiro’ah Al-Qur’an, wallahu musta’an. Kita lihat bagaimana mereka dengan lancang mengutak-atik firman Allah. Hal ini tidak lain dikarenakan oleh metodologi kufur hermeneutika itu sendiri.
Hermeneutika memiliki banyak aliran, ada hermeneutika Emilio Betti, hermeneutika Friedrich Schleiermacber, hermeneutika Paul Ricouer. Yang paling gencar dikembangkan akhir-akhir ini adalah hermeneutika Paul Ricoeur.
Paul Ricoeur mempunyai gagasan yang disebut the hermeneutics of suspicion, yaitu teori kecurigaan. Ia berkata kalau ingin memahami suatu teks maka harus mencurigai teks itu sendiri, memeriksa motif dan maksud penulis, mengetahui latar belakang penulis, maka barulah dapat dipahami maksud sebenarnya dari teks tersebut. Jadi, ”ketika kita tidak tahu apa motif dan maksud dari penulis maka saat itu kita telah ’ditipu’ oleh teks tersebut”, demikian katanya.
Dapat kita bayangkan bagaimana bila metode hermeneutic of suspicion ini bila diterapkan untuk Al-Qur’an Al-Karim. Sebelum membaca Al-Qur’an kita mesti curiga terlebih dahulu. Padahal sebelum membacanya kita diajar membaca ta’awudz :’Audzubillahi minasysyaithoonirrojiim”, mohon perlindungan dari setan yang akan menyeret kepada kekeliruan ketika membaca dan memahami Al-Qur’an. Metode hermeneutika ini mengajar kita untuk menjadi setan sebelum membaca Al-Qur’an, karena belum apa-apa hati, pikiran, logika dikondisikan untuk curiga akan kebenaran teks, kebenaran makna dan kebenaran ke-wahyu-an Al-Quran. Betapa dahsyatnya kesesatan tafsir Hermeneutika ini.
Dalam metodologi tafsir tidak pernah ada yang mempermasalahkan teks, karena Rasulullah SAW sendiri yang menafsirkan Al-Qur’an. Jalur periwayatannya sudah jelas, mutawatir, para huffadz (penghafal Al-Qur’an) juga para Quro’ (ahli baca Al-Qur’an) pun selalu menjaganya dalam sanubari mereka.
Sepanjang sejarah manusia, tidak ada peradaban di dunia ini yang memiliki buku maupun kitab suci yang begitu hebat, yang dihafal dalam dada-dada jutaan pengikutnya. Sepakar-pakarnya atau seprofesor-profesornya ahli ekonomi tidak akan pernah menghafal bukunya Adam Smith ”The Wealth of Nation”, dan tidak akan tertarik menghafalkannya. Seahli-ahlinya seseorang dalam ilmu sosiologi ia tidak pernah berminat menghafal bukunya Max Weber. Semarxis-marxisnya seseorang dia tidak ingin menghafal bukunya Karl Marx. Bahkan orang kristen sendiri tidak ada yang menghafal kitab suci mereka, walau betapa dia adalah pendeta tertinggi.
Lihatlah umat Islam. Walau dia bukan orang Arab, selalu berupaya menjaga apa yang terkandung di antara dua lembar sampul kitab sucinya. Walau dia mungkin tidak mengerti setiap kosa kata Arab, tapi tahu dimana letak panjang pendeknya, tahu dimana harus berhenti, tahu dimana harus jelas dimana harus samar, tahu urutan-urutan ayat2nya tanpa tertukar. Bahkan kita lihat, orang yang buta bisa lebih hafal dibanding orang yang bisa melihat. Buku/kitab mana lagi di dunia ini yang bisa mendekati kemukjizatannya dalam hal ketertarikan pengikutnya untuk menghafal?
Al-Qur’an sudah dihafal secara massal dari sejak ayat demi ayatnya diturunkan. Jadi tidak mungkin terjadi kekeliruan dan penyimpangan. Keotentikan akan selalu terjaga. Bahkan satu huruf saja yang menyimpang dari Al-Qur’an itu akan ketahuan, karena ilmu tentang huruf-huruf Al-Qur’an pun ada dalam Islam.
Kita mengenal ilmu makhoorijul huruf yang membahas tentang cara pengucapan huruf, sifat-sifatnya, hukum pertemuan diantara dua huruf. Ini semua dalam khazanah keilmuan Islam yang begitu lengkap. Tidak ada peradaban yang sehebat ini sampai-sampai memperhatikan satu per satu hurufnya sekalipun. Ini dari segi pengucapan.
Kemudian dari segi tulisannya juga begitu. Huruf-huruf Al-Qur’an ditulis dengan sangat hati-hati, semua ada standarnya sehingga ada yang kita kenal sebagai Ahli Khot. Dengan demikian jelaslah bagi kita, tidak ada peradaban yang seperti itu dalam memperhatikan keotentikan kitab suci mereka.
Bukankah kita seharusnya bangga memiliki kitab suci yang demikian itu? Tapi karena kita tidak kenal Al-Qur’an, maka kita hanya menganggap Al-Qur’an sebagai barang keramat. Kita bungkus rapi bak keris pusaka kemudian kita letakkan di bagian lemari paling atas hingga berdebu tanpa mau mempelajari, enggan mengkaji dan tentunya tidak mengamalkan.
Ketika kita tidak mengenal Al-Qur’an sebagai jantung Islam maka musuh pun akan dengan sangat mudah masuk ke dalam umat Islam melalui jantung kita sendiri. Hermeneutika hanya akan memotong Islam dari akarnya, karena ketika Al-Qur’an sudah diobrak-abrik maka segala sesuatu dalam Islam pun akan habis terkikis. Inilah dampak dari penerapan hermeneutika.
Tidak perlu hermeneutika.
Kajian Al-Qur’an, terutamanya mengenai penafsirannya, tidak memerlukan hermeneutika. Kita khawatir, akhir-akhir ini kita begitu bergairah mengimpor istilah hermeneutika untuk kajian Al-Qur’an tanpa menyelidiki dahulu latar belakang istilah itu sendiri, yang mempunyai muatan pandangan hidup yang berlainan dengan pandangan hidup Islam.
Sebenarnya jika akan digunakan bahasa asing juga, maka istilah exegesis atau pun commentary atau penafsiran yang selama ini digunakan, itu sudah cukup memadai untuk Al-Qur’an. Kenapa kini exegesis atau commentary mesti ditukar dengan hermeneutics?
Kita akan menggarisbawahi pembahasan ini dengan satu peringatan dari Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi : ”Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kamu akan mengikutinya juga”. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam ditanya: ”Apakah mereka yang diikuti itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab ”Siapa lagi kalau bukan mereka” [HR Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad]
Baca selengkapnya ..
Dari segi bahasa hermeneutika yang meminjam perkataan Inggris hermeneutics berasal dari perkataan Greek (Yunani) hermeneutikos. Aristotle ahli filsafat Greek dahulu pernah menulis tajuk yaitu Peri Hermenias yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin sebagai De interpretatione yang lantas dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai On the Interpretation.
Namun, jauh sebelum terjemahan dalam bahasa latin, al-Farabi (w.339/950), seorang ahli filsafat Muslim terkemuka, telah menerjemahkan dan memberi komentar karya Aristotle itu terlebih dahulu ke dalam bahasa Arab dengan judul Fi al-‘Ibarah. Jadi dari segi bahasa sebenarnya hermeneutics itu artinya adalah pemahaman (to understand), yaitu bagaimana kita memahami sesuatu, khususnya pemahaman tentang teks tertentu.
Kemudian hermeneutika ini dikembangkan menjadi suatu metodologi yang khusus untuk menafsirkan bible yaitu kitab suci orang-orang kristen. Nah, kenapa mereka membangun metodologi demikian? Karena didalam bible mereka menghadapi masalah dengan teks-teks bible itu sendiri.
Mereka tahu bahwa bible ini bukan ditulis oleh Nabi ‘Isa ‘alaihissalam (yang dipercaya orang-orang nasrani sebagai Yesus) dan bukan pula ditulis oleh murid-murid Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, tetapi ditulis oleh orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi ‘Isa. Jadi kalau kita lihat bible new testament atau perjanjian baru, disana ada Injil Johanes, Injil Markus, Injil Mathius, Injil Lukas dan sebagainya. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, tetapi mereka menulis tentang bible dan menceritakan tentang kisah hidup Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.
Dalam ilmu hadits, kalau seseorang meriwayatkan hadits tapi dia tidak pernah bertemu dengan Rasulullah maka hadits itu dikatakan mursal. Seharusnya yang bisa menceritakan kisah hidup Rasulullah itu hanya sahabat. Jika ada tabi’in mengatakan sami’tu Rasulullah (saya mendengar Rasulullah) maka haditsnya mursal, dan mursal itu dhoif, yaitu tidak bisa diterima dari segi periwayatan.
Kalau kita menilai bible dengan menggunakan ilmu hadits maka seluruh isi bible itu mursal semua, semua riwayatnya tertolak. Jangankan membandingkan bible dengan Al-Qur’an, bahkan membandingkan bible dengan hadits saja tidak seimbang.
Al-Qur’an memiliki riwayat yang mutawatir, seluruh Al-Qur’an memiliki jalur periwayatan yang amat banyak. Sedangkan bible, selain riwayatnya ahad (tunggal, dibawa oleh seorang saja – Johanes, Markus, Lukas dan Mathius hanya meriwayatkan seorang diri) juga riwayatnya mursal, sanad atau mata rantai periwayatannya terputus, karena mereka tidak pernah bertemu dengan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam. Demikian fakta pertama tentang bibel.
Fakta kedua adalah, bahwasanya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam itu berbicara dalam bahasa Aramaic sedangkan bible ditulis berdasarkan kepada manuskrip yang berbahasa Yunani atau bahasa Greek. Padahal Nabi ‘Isa ‘alaihissalam tidak berbicara dengan bahasa Greek.
Kemudian bible-bible yang berkembang sekarang ini bukanlah lagi menggunakan bahasa Greek. Ada bahasa Inggris, bahasa Jeman, bahasa Perancis. Sedangkan bible yang berbahasa Indonesia diambil dari bahasa Inggris. Mereka mengatakan semuanya itu adalah bible. Sedangkan bagi Al-Qur’an, terjemahan Al-Qur’an itu bukanlah Al-Qur’an itu sendiri. Itu hanya terjemahan saja, sedangkan Al-Qur’an yang asli itu dalam bahasa Arab.
Karena orang-orang kristen menghadapi masalah yang seperti ini, mereka menganggap di dalam bible ada gap, ada suatu jarak antara bible dan Nabi ‘Isa yang menerima wahyu. Oleh karena itu mereka mencurigai atau tidak meyakini bahwasanya bible yang sekarang ini mewakili wahyu yang diterima oleh Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.
Maka pada gilirannya, mereka membangun satu metodologi yang disebut hermeneutics, tujuannya untuk menjembatani antara wahyu yang diterima Nabi ‘Isa dengan empat orang periwayat bible tadi, disebabkan ada jarak atau rentang waktu yang cukup jauh bahkan sampai seratusan tahun. Jadi mereka ingin mencari suatu pendekatan supaya ketika mereka membaca bible, mereka bisa mendapat wahyu yang diperoleh oleh Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.
Tegasnya, hermeneutika yang dibawa oleh kaum nasrani itu bermula dari kecurigaan mereka akan keraguan tentang keaslian teks-teks di dalam bible (Injil Johanes, Injil Lukas, Injil Markus dan Injil Mathius) karena penulisan teks-teks dalam bible tersebut dilakukan setelah seratusan tahun lebih dari semenjak Nabi ‘Isa ‘alahissalam. Artinya penulis bible itu tidak pernah hidup sejaman dengan Nabi ‘Isa ‘alaihisaalam. Maka metodologi hermeneutika itu digunakan untuk menjembatani “rentang yang hilang” sehingga diharapkan akan mendekatkan mereka dengan wahyu sebenarnya yang diterima oleh Nabi ‘Isa ‘alahissalam. Demikianlah asal dari hermeneutka bible itu.
Metoda “MENAMBAL” rentang yang hilang pada bible (hermeneutika) itu dianggap sebagai metode ilmiah yang sahih, dan sekarang di-coba-paksa-terap-kan dalam kitab suci orang Islam, Al-Qur’an. Sementara itu hasil “uji coba” hermeneutika pada bible sampai sekarang tidak menghasilkan rekonstruksi bible baru yang kemudian mereka sahihkan sebagai wahyu Allah yang dahulu diturunkan kepada Nabi ‘Isa ‘alaihissalam (dan saya yakin hal itu mustahil akan berhasil)
Anehnya, saat ini orang-orang muslim banyak yang terpesona, - (astaghfirullah al’adziim, kembali kita menyaksikan kebodohan karena terpesona dengan metodologi non muslim – Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)? [Al-Munafiqun 63:4]). Sekarang apabila seseorang ingin menerapkan hal ini kepada Al-Qur’an, asumsi yang harus ia buat pertama kali adalah kita memiliki masalah terhadap teks-teks Al-Qur’anul Karim. Orang seperti ini akan mengatakan bahwa teks Al-Qur’an ini bermasalah. Sebab jika seorang menggunakan hermeneutika berarti ia menganggap Al-Qur’an ini ada yang menulis atau mengarangnya.
Menurut hermeneutikawan, didalam setiap buku kuno maupun buku baru disana ada 3 unsur : yang pertama adalah teks. Buku itu terdiri dari huruf, kata-kata, kalimat, paragraf dan seterusnya. Kemudian yang kedua, sebuah buku tidak mungkin jadi begitu saja. Mesti ada yang mengarangnya. Yang ketiga, ada pembacanya.
Ketiga hal tersebut sangat tepat diterapkan kepada bible karena ada teks, ada penulis/pengarangnya dan ada pembacanya. Karena bible tidak mewakili seluruh wahyu Tuhan yang diterima oleh Nabi ’Isa ’alaihissalam, maka pembacanya tidal dapat menyerap seluruh wahyu tersebut. Dengan alasan inilah dibangun suatu metode hermeneutika, sehingga salah satu tujuan hermeneutika bible adalah supaya kita bisa membaca teks sebaik atau lebih baik dari pengarangnya.
Hal ini sah-sah saja karena tujuan orang kristen untuk membaca bible dengan metode hermeneutika adalah supaya mereka mampu membaca bible sebaik Johanes, Lukas, Markus dan Mathius. Atau bahkan agar bisa lebih baik dari mereka karena ada jarak tadi. Maka wajar bila metode ini diterapkan dalam studi bible.
Tetapi apabila hal ini diterapkan kepada Al-Qur’an maka apakah terpikir di dalam benak umat Islam bahwa kita akan membaca Al-Qur’an sebaik atau lebih baik daripada yang menurunkannya yaitu Allah SWT. Mustahil hal ini terjadi, tidak terpikir sama sekali oleh umat Islam karena ketika kita membaca Al-Qur’an itu kita berada di belakang Al-Qur’an. Kita tidak bisa macam-macam dengan Al-Qur’an.
Kalau kita membaca buku biasa, sebenarnya kita melakukan reproductive reading, membaca kembali apa yang telah ditulis pengarang. Jadi kita berada di belakang pengarang, kita ikut alur pengarang.
Dalam metode hermeneutika, kita tidak lagi melakukan reproductive reading tapi kita memproduksi makna baru dari teks itu sendiri. Maka ia disebut sebagai productive reading, yaitu membaca secara produktif. Jadi karena pengarangnya sudah mati, maka kita bisa membaca dan bisa memahaminya semampu dan semau kita dengan makna baru yang kita produksi sendiri. Mau diapakan saja teks itu terserah kepada pembaca. Dalam hal ini pembaca berada dalam posisi sangat bebas untuk mengartikan dan memahami teks. Inilah yang disebut dengan productive reading yang dalam bahasa Arab disebut dengan qiro’ah muntijah. Hal ini tentu tidak bisa diterapkan untuk Al-Qur’an Al-Karim, khususnya tentang apa-apa yang sudah qoth’i atau pasti. Kita harus selalu di belakang Al-Qur’an, kita di belakang Allah subhanahu wata’ala.
Hermeneutika dalam bible ini kemudian dikembangkan dalam dunia filsafat, sehingga dia menjadi metodologi umum dalam memahami teks apa saja. Perkembangan pemakaian metode hermeneutika ini dibawa oleh seorang protestan bernama Friedrich Schleiermacber. Dialah yang sebenarnya bertanggungjawab dalam membawa hermeneutika ini dari ruang lingkup biblical studies ke dalam lingkungan filsafat. Sehingga setiap karya yang berupa teks dapat menjadi objek dari hermeneutika.
Sebuah thesis Ph.D milik Dr. Arief Nayed (ISTAC) mengenai hermeneutika juga menyatakan hal demikian. Originally, the term ’Hermeneutics’ was employed in reference to the field of study concerned with developing rules and methods that can guide biblical exegesis. During the early years of the nineteenth century, ‘Hermeneutics’ became ‘General Hermeneutics’ at the hands of philosopher and protecstant theologian Friedrich Schleiermacber. Schleiermacber transformed Hermeneutics into a philosophical field af study by elevating it from the confines of narrow specialization as a theological field to the higher ground of general philosophical concerns about language and its understanding.
Dekonstruksi Al-Quran
Hermeneutika yang kini telah menjadi metodologi umum, apakah mungkin hermeneutika ini diterapkan kepada Al-Quran. Mereka berkata bahwa “Al-Quran adalah buku, adalah teks, adalah kitab kuno atau kitab klasik. Jadi ada jarak antara kita dengan Rasulullah”.
Tentang keaslian teks-teks Al-Quran itu pun mereka pertanyakan, mereka keluarkan riwayat-riwayat maka timbullah kajian tentang dekonstruksi (baca : pembongkaran kembali) Al-Qur’an. Al-Qur’an ingin mereka konstruksi ulang, mereka edit sampai-sampai ingin mengeluarkan Al-Qur’an edisi kritis. Maksud mereka ingin merubah kembali Qiro’ah Al-Qur’an, wallahu musta’an. Kita lihat bagaimana mereka dengan lancang mengutak-atik firman Allah. Hal ini tidak lain dikarenakan oleh metodologi kufur hermeneutika itu sendiri.
Hermeneutika memiliki banyak aliran, ada hermeneutika Emilio Betti, hermeneutika Friedrich Schleiermacber, hermeneutika Paul Ricouer. Yang paling gencar dikembangkan akhir-akhir ini adalah hermeneutika Paul Ricoeur.
Paul Ricoeur mempunyai gagasan yang disebut the hermeneutics of suspicion, yaitu teori kecurigaan. Ia berkata kalau ingin memahami suatu teks maka harus mencurigai teks itu sendiri, memeriksa motif dan maksud penulis, mengetahui latar belakang penulis, maka barulah dapat dipahami maksud sebenarnya dari teks tersebut. Jadi, ”ketika kita tidak tahu apa motif dan maksud dari penulis maka saat itu kita telah ’ditipu’ oleh teks tersebut”, demikian katanya.
Dapat kita bayangkan bagaimana bila metode hermeneutic of suspicion ini bila diterapkan untuk Al-Qur’an Al-Karim. Sebelum membaca Al-Qur’an kita mesti curiga terlebih dahulu. Padahal sebelum membacanya kita diajar membaca ta’awudz :’Audzubillahi minasysyaithoonirrojiim”, mohon perlindungan dari setan yang akan menyeret kepada kekeliruan ketika membaca dan memahami Al-Qur’an. Metode hermeneutika ini mengajar kita untuk menjadi setan sebelum membaca Al-Qur’an, karena belum apa-apa hati, pikiran, logika dikondisikan untuk curiga akan kebenaran teks, kebenaran makna dan kebenaran ke-wahyu-an Al-Quran. Betapa dahsyatnya kesesatan tafsir Hermeneutika ini.
Dalam metodologi tafsir tidak pernah ada yang mempermasalahkan teks, karena Rasulullah SAW sendiri yang menafsirkan Al-Qur’an. Jalur periwayatannya sudah jelas, mutawatir, para huffadz (penghafal Al-Qur’an) juga para Quro’ (ahli baca Al-Qur’an) pun selalu menjaganya dalam sanubari mereka.
Sepanjang sejarah manusia, tidak ada peradaban di dunia ini yang memiliki buku maupun kitab suci yang begitu hebat, yang dihafal dalam dada-dada jutaan pengikutnya. Sepakar-pakarnya atau seprofesor-profesornya ahli ekonomi tidak akan pernah menghafal bukunya Adam Smith ”The Wealth of Nation”, dan tidak akan tertarik menghafalkannya. Seahli-ahlinya seseorang dalam ilmu sosiologi ia tidak pernah berminat menghafal bukunya Max Weber. Semarxis-marxisnya seseorang dia tidak ingin menghafal bukunya Karl Marx. Bahkan orang kristen sendiri tidak ada yang menghafal kitab suci mereka, walau betapa dia adalah pendeta tertinggi.
Lihatlah umat Islam. Walau dia bukan orang Arab, selalu berupaya menjaga apa yang terkandung di antara dua lembar sampul kitab sucinya. Walau dia mungkin tidak mengerti setiap kosa kata Arab, tapi tahu dimana letak panjang pendeknya, tahu dimana harus berhenti, tahu dimana harus jelas dimana harus samar, tahu urutan-urutan ayat2nya tanpa tertukar. Bahkan kita lihat, orang yang buta bisa lebih hafal dibanding orang yang bisa melihat. Buku/kitab mana lagi di dunia ini yang bisa mendekati kemukjizatannya dalam hal ketertarikan pengikutnya untuk menghafal?
Al-Qur’an sudah dihafal secara massal dari sejak ayat demi ayatnya diturunkan. Jadi tidak mungkin terjadi kekeliruan dan penyimpangan. Keotentikan akan selalu terjaga. Bahkan satu huruf saja yang menyimpang dari Al-Qur’an itu akan ketahuan, karena ilmu tentang huruf-huruf Al-Qur’an pun ada dalam Islam.
Kita mengenal ilmu makhoorijul huruf yang membahas tentang cara pengucapan huruf, sifat-sifatnya, hukum pertemuan diantara dua huruf. Ini semua dalam khazanah keilmuan Islam yang begitu lengkap. Tidak ada peradaban yang sehebat ini sampai-sampai memperhatikan satu per satu hurufnya sekalipun. Ini dari segi pengucapan.
Kemudian dari segi tulisannya juga begitu. Huruf-huruf Al-Qur’an ditulis dengan sangat hati-hati, semua ada standarnya sehingga ada yang kita kenal sebagai Ahli Khot. Dengan demikian jelaslah bagi kita, tidak ada peradaban yang seperti itu dalam memperhatikan keotentikan kitab suci mereka.
Bukankah kita seharusnya bangga memiliki kitab suci yang demikian itu? Tapi karena kita tidak kenal Al-Qur’an, maka kita hanya menganggap Al-Qur’an sebagai barang keramat. Kita bungkus rapi bak keris pusaka kemudian kita letakkan di bagian lemari paling atas hingga berdebu tanpa mau mempelajari, enggan mengkaji dan tentunya tidak mengamalkan.
Ketika kita tidak mengenal Al-Qur’an sebagai jantung Islam maka musuh pun akan dengan sangat mudah masuk ke dalam umat Islam melalui jantung kita sendiri. Hermeneutika hanya akan memotong Islam dari akarnya, karena ketika Al-Qur’an sudah diobrak-abrik maka segala sesuatu dalam Islam pun akan habis terkikis. Inilah dampak dari penerapan hermeneutika.
Tidak perlu hermeneutika.
Kajian Al-Qur’an, terutamanya mengenai penafsirannya, tidak memerlukan hermeneutika. Kita khawatir, akhir-akhir ini kita begitu bergairah mengimpor istilah hermeneutika untuk kajian Al-Qur’an tanpa menyelidiki dahulu latar belakang istilah itu sendiri, yang mempunyai muatan pandangan hidup yang berlainan dengan pandangan hidup Islam.
Sebenarnya jika akan digunakan bahasa asing juga, maka istilah exegesis atau pun commentary atau penafsiran yang selama ini digunakan, itu sudah cukup memadai untuk Al-Qur’an. Kenapa kini exegesis atau commentary mesti ditukar dengan hermeneutics?
Kita akan menggarisbawahi pembahasan ini dengan satu peringatan dari Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi : ”Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kamu akan mengikutinya juga”. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam ditanya: ”Apakah mereka yang diikuti itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab ”Siapa lagi kalau bukan mereka” [HR Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad]
Baca selengkapnya ..
Label:
Tafsir
Jumat, 12 Maret 2010
Pemahaman tentang Taqlid
pak ustad yang dirahmati allah
haruskah kita bertaqlid?hal apa yang mengharuskan dan memperkuat kita bertaqlid,saya belum faham taqlid itu sendiri harus pemahaman mana yang mesti saya jalani dan yakini, apakah kita mesti bertaqlid kepada diantara 4mazhab, yang saya tahu cuma ada di indonesia saja, bukankah para imam yang lain diluar yg'4'ilmunya diakui bahkan pengetahuanya pun melebihi mereka
mohon maaf bila ada kata yang salah dan kurang jelas, saya masih jauh dari faham.
jazakalloh
dzikry
JAWABAN
Waaalikumussalam Wr Wb
Saudara Dzikriy yang dimuliakan Allah swt
Para ulama Ushul telah memberikan berbagai definisi untuk menjelaskan hakekat daripada taqlid, diantaranya perkataan sebagian mereka bahwa taqlid adalah menerima perkataan seseorang sementara dirinya tidak mengetahui darimana asal perkataan itu. Sebagian lainnya berpendapat bahwa taqlid adalah menerima pendapat seseorang tanpa hujjah (dalil). Sedangkan Abul Ma’ali al Juweiniy memilih definisi bahwa taqlid adalah mengikuti (seseorang) yang didalam mengikutinya itu tanpa disertai hujjah dan tidak bersandar kepada ilmu.
Adapun pembagian taqlid serta penjelasan hukum setiap bagian itu adalah sebagai berikut
1. Taqlid orang yang memiliki kemampuan berijtihad kepada seorang ulama setelah jelas baginya kebenaran berdasarkan dalil-dalil yang ada dari Nabi saw, maka dalam hal ini tidak diperbolehkan baginya untuk bertaqlid kepada orang yang bertentangan dengan apa yang telah didapatnya itu (berupa kebenaran) berdasarkan ijma’ ulama.
2. Taqlid orang yang telah memenuhi kemampuan berijtihad kepada seorang mujtahid lain sebelum dirinya mendapatkan hukum syar’i melalui ijtihadnya maka diperbolehkan baginya untuk bertaqlid dengan mujtahd lainnya, sebagaimana dikatakan Syafi’i, Ahmad dan sekelompok ulama dan ini pendapat yang paling tepat dikarenakan dirinya memiliki kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’i maka dirinya dibebankan untuk melakukan ijtihad untuk mengetahui hukum syar’i didalam permasalahan itu berdasarkan firman-Nya :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Artinya : “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At Taghabun : 16)
Serta hadits Rasulullah saw,”Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka lakukanlah sesuai kesanggupan kalian.”
3. Taqlid seorang yang tidak memiliki kemampuan untuk menelaah dalil-dalil dan mengeluarkan hukum-hukum darinya kepada seorang yang alim yang telah memenuhi kemampuan ijtihad terhadap dalil-dalil syar’i maka ini diperbolehkan, berdasarkan firman Allah swt :
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh : 286)
Artinya : “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui.” (QS. Al Anbiya : 7)
Serta dalil-dalil lainnya yang sejenis yang menujukkan bahwa telah diangkat kesulitan serta untuk melindungi seorang mukallaf dari jatuh kedalam hukum-hukum lalu mengatakan sesuatu tentang Allah yang tidak berdasarkan ilmu.
4. Taqlid kepada orang-orang yang menentang syariat islam, seperti nenek moyang, tuan-tuan, pemimpin-pemimpin ashobiyah atau mengikuti hawa nafsu maka taqlid yang seperti ini adalah diaharamkan menurut ijma’ ulama. Kecaman terhadap hal ini banyak terdapat didalam nash-nash Al Qur’an dan Sunnah. Firman Allah swt :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ
Artinya : “Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqoroh : 170)
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
Artinya : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa : 65)
Artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36)
Artinya : “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nuur : 63)
Artinya : “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (QS. Al Imran : 31)
إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا ﴿٦٤﴾
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لَّا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا ﴿٦٥﴾
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا ﴿٦٦﴾
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ﴿٦٧﴾
رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا ﴿٦٨﴾
Artinya : “Sesungguhnya Allah mela'nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka). Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, Andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami Telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar" (QS. Al Ahzab : 64 – 68) – (Al Lajnah ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta’ juz VI hal 475 – 477)
Kemudian apakah diwajibkan bagi seorang yang awam untuk bermadzhab dengan madzhab seorang mujtahid tertentu serta berpegang teguh dengan seluruh azimah dan rukhshahnya dan tidak diperbolekan keluar dari pendapatnya ?
Jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu tidaklah wajib, sebagai contoh : hendaklah dirinya mengamalkan pendapat Abu Hanifah didalam suatu permasalahan dan didalam permasalahan lainnya dia mengamalkan pendapat seorang mujtahid lainnya, hal ini dpertegas bahwa orang-orang yang meminta fatwa di setiap masa dari zaman sahabat hingga setelahnya sesekali mereka meminta fatwa kepada seseorang dan kali lainnya kepada selainnya dan mereka tidak mengharuskan dirinya kepada seseorang mufti saja.
Dengan demikian, seandainya seseorang berpegang teguh dengan suatu madzhab tertentu, seperti Abu Hanifah atau Syafi’i maka hal itu janganlah menjadikannya taqlid dengannya didalam setiap permasalahan, demikianlah pendapat al Amidi, Ibnul Hajib, al Kamal didalam penjelasannya dan ar Rofi’i serta yang lainnya karena berpegang teguh dengan suatu madzhab bukan suatu keharusan. Karena tidak ada kewajiban kecuali terhadap apa-apa yang telah diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya tidaklah mewajibkan seseorang untuk bermadzhab kepada madzhab imam tertentu dan bertaqlid dengannya didalam agamanya, mengambil setiap yang berasal darinya dan meninggalkan yang bukan darinya. .. (Fatawa al Azhar juz VII hal 173)
Imam Syaukani mengatakan bahwa para ulama yang membolehkan taqlid pun berbeda pendapat tentang apakah diwajibkan bagi seorang awam untuk berpegang teguh dengan madzhab tertentu. Sekelompok ulama mengatakan bahwa hal itu diharuskan baginya, demikian dikatakan Ilkiya al Harrosiy.
Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hal itu bukanlah suatu keharusan, ini pendapat yang diambil oleh Ibnu Burhan dan Nawawi dan ini juga pendapat para ulama Hambali. Mereka berdalil bahwa para sahabat tidaklah mengingkari orang-orang awam yang bertaqlid kepada sebagian mereka (para sahabat) didalam sebagian permasalahan sementara disebagian masalah lainnya mereka bertaqlid dengan sebagian sahabat lainnya. Para ulama salaf dahulu bertaqlid dengan para ulama yang mereka kehendaki sebelum munculnya madzhab-madzhab.
Orang-orang yang mengatakan bahwa diwajibkan taqlid bagi seorang awam berpegang teguh dengan madzhab tertentu maka baginya mengambil azhimah maupun rukhshahnya kecuali apabila telah jelas baginya bahwa pendapat lainnya lebih utama untuk dijadikan sebagai pegangan.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa apabila telah jelas baginya hukum Allah dan Rasul-Nya didalam suatu permasalahan maka tidaklah diperbolehkan baginya untuk berpaling darinya dan tidak pula mengikuti seseorang didalam menentang hukum Allah dan Rasul-Nya… (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 4682)
Wallahu A’lam
Baca selengkapnya ..
haruskah kita bertaqlid?hal apa yang mengharuskan dan memperkuat kita bertaqlid,saya belum faham taqlid itu sendiri harus pemahaman mana yang mesti saya jalani dan yakini, apakah kita mesti bertaqlid kepada diantara 4mazhab, yang saya tahu cuma ada di indonesia saja, bukankah para imam yang lain diluar yg'4'ilmunya diakui bahkan pengetahuanya pun melebihi mereka
mohon maaf bila ada kata yang salah dan kurang jelas, saya masih jauh dari faham.
jazakalloh
dzikry
JAWABAN
Waaalikumussalam Wr Wb
Saudara Dzikriy yang dimuliakan Allah swt
Para ulama Ushul telah memberikan berbagai definisi untuk menjelaskan hakekat daripada taqlid, diantaranya perkataan sebagian mereka bahwa taqlid adalah menerima perkataan seseorang sementara dirinya tidak mengetahui darimana asal perkataan itu. Sebagian lainnya berpendapat bahwa taqlid adalah menerima pendapat seseorang tanpa hujjah (dalil). Sedangkan Abul Ma’ali al Juweiniy memilih definisi bahwa taqlid adalah mengikuti (seseorang) yang didalam mengikutinya itu tanpa disertai hujjah dan tidak bersandar kepada ilmu.
Adapun pembagian taqlid serta penjelasan hukum setiap bagian itu adalah sebagai berikut
1. Taqlid orang yang memiliki kemampuan berijtihad kepada seorang ulama setelah jelas baginya kebenaran berdasarkan dalil-dalil yang ada dari Nabi saw, maka dalam hal ini tidak diperbolehkan baginya untuk bertaqlid kepada orang yang bertentangan dengan apa yang telah didapatnya itu (berupa kebenaran) berdasarkan ijma’ ulama.
2. Taqlid orang yang telah memenuhi kemampuan berijtihad kepada seorang mujtahid lain sebelum dirinya mendapatkan hukum syar’i melalui ijtihadnya maka diperbolehkan baginya untuk bertaqlid dengan mujtahd lainnya, sebagaimana dikatakan Syafi’i, Ahmad dan sekelompok ulama dan ini pendapat yang paling tepat dikarenakan dirinya memiliki kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’i maka dirinya dibebankan untuk melakukan ijtihad untuk mengetahui hukum syar’i didalam permasalahan itu berdasarkan firman-Nya :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Artinya : “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At Taghabun : 16)
Serta hadits Rasulullah saw,”Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka lakukanlah sesuai kesanggupan kalian.”
3. Taqlid seorang yang tidak memiliki kemampuan untuk menelaah dalil-dalil dan mengeluarkan hukum-hukum darinya kepada seorang yang alim yang telah memenuhi kemampuan ijtihad terhadap dalil-dalil syar’i maka ini diperbolehkan, berdasarkan firman Allah swt :
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh : 286)
Artinya : “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui.” (QS. Al Anbiya : 7)
Serta dalil-dalil lainnya yang sejenis yang menujukkan bahwa telah diangkat kesulitan serta untuk melindungi seorang mukallaf dari jatuh kedalam hukum-hukum lalu mengatakan sesuatu tentang Allah yang tidak berdasarkan ilmu.
4. Taqlid kepada orang-orang yang menentang syariat islam, seperti nenek moyang, tuan-tuan, pemimpin-pemimpin ashobiyah atau mengikuti hawa nafsu maka taqlid yang seperti ini adalah diaharamkan menurut ijma’ ulama. Kecaman terhadap hal ini banyak terdapat didalam nash-nash Al Qur’an dan Sunnah. Firman Allah swt :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ
Artinya : “Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqoroh : 170)
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
Artinya : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa : 65)
Artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36)
Artinya : “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nuur : 63)
Artinya : “Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (QS. Al Imran : 31)
إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا ﴿٦٤﴾
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لَّا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا ﴿٦٥﴾
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا ﴿٦٦﴾
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ﴿٦٧﴾
رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا ﴿٦٨﴾
Artinya : “Sesungguhnya Allah mela'nati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka). Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, Andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami Telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar" (QS. Al Ahzab : 64 – 68) – (Al Lajnah ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta’ juz VI hal 475 – 477)
Kemudian apakah diwajibkan bagi seorang yang awam untuk bermadzhab dengan madzhab seorang mujtahid tertentu serta berpegang teguh dengan seluruh azimah dan rukhshahnya dan tidak diperbolekan keluar dari pendapatnya ?
Jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu tidaklah wajib, sebagai contoh : hendaklah dirinya mengamalkan pendapat Abu Hanifah didalam suatu permasalahan dan didalam permasalahan lainnya dia mengamalkan pendapat seorang mujtahid lainnya, hal ini dpertegas bahwa orang-orang yang meminta fatwa di setiap masa dari zaman sahabat hingga setelahnya sesekali mereka meminta fatwa kepada seseorang dan kali lainnya kepada selainnya dan mereka tidak mengharuskan dirinya kepada seseorang mufti saja.
Dengan demikian, seandainya seseorang berpegang teguh dengan suatu madzhab tertentu, seperti Abu Hanifah atau Syafi’i maka hal itu janganlah menjadikannya taqlid dengannya didalam setiap permasalahan, demikianlah pendapat al Amidi, Ibnul Hajib, al Kamal didalam penjelasannya dan ar Rofi’i serta yang lainnya karena berpegang teguh dengan suatu madzhab bukan suatu keharusan. Karena tidak ada kewajiban kecuali terhadap apa-apa yang telah diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya tidaklah mewajibkan seseorang untuk bermadzhab kepada madzhab imam tertentu dan bertaqlid dengannya didalam agamanya, mengambil setiap yang berasal darinya dan meninggalkan yang bukan darinya. .. (Fatawa al Azhar juz VII hal 173)
Imam Syaukani mengatakan bahwa para ulama yang membolehkan taqlid pun berbeda pendapat tentang apakah diwajibkan bagi seorang awam untuk berpegang teguh dengan madzhab tertentu. Sekelompok ulama mengatakan bahwa hal itu diharuskan baginya, demikian dikatakan Ilkiya al Harrosiy.
Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hal itu bukanlah suatu keharusan, ini pendapat yang diambil oleh Ibnu Burhan dan Nawawi dan ini juga pendapat para ulama Hambali. Mereka berdalil bahwa para sahabat tidaklah mengingkari orang-orang awam yang bertaqlid kepada sebagian mereka (para sahabat) didalam sebagian permasalahan sementara disebagian masalah lainnya mereka bertaqlid dengan sebagian sahabat lainnya. Para ulama salaf dahulu bertaqlid dengan para ulama yang mereka kehendaki sebelum munculnya madzhab-madzhab.
Orang-orang yang mengatakan bahwa diwajibkan taqlid bagi seorang awam berpegang teguh dengan madzhab tertentu maka baginya mengambil azhimah maupun rukhshahnya kecuali apabila telah jelas baginya bahwa pendapat lainnya lebih utama untuk dijadikan sebagai pegangan.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa apabila telah jelas baginya hukum Allah dan Rasul-Nya didalam suatu permasalahan maka tidaklah diperbolehkan baginya untuk berpaling darinya dan tidak pula mengikuti seseorang didalam menentang hukum Allah dan Rasul-Nya… (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 4682)
Wallahu A’lam
Baca selengkapnya ..
Label:
Wawasan
Permusuhan Yahudi Terhadap Islam Dalam Sejarah
Permusuhan Yahudi terhadap Islam sudah terkenal dan ada sejak dahulu kala. Dimulai sejak dakwah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan mungkin juga sebelumnya bahkan sebelum kelahiran beliau. Hal ini mereka lakukan karena khawatir dari pengaruh dakwah islam yang akan menghancurkan impian dan rencana mereka. Namun dewasa ini banyak usaha menciptakan opini bahwa permusuhan yahudi dan islam hanyalah sekedar perebutan tanah dan perbatasan Palestina dan wilayah sekitarnya, bukan permasalahan agama dan sejarah kelam permusuhan yang mengakar dalam diri mereka terhadap agama yang mulia ini.
Padahal pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan eksistensi, bukan persengkataan perbatasan. Musuh-musuh islam dan para pengikutnya yang bodoh terus berupaya membentuk opini bahwa hakekat pertarungan dengan Yahudi adalah sebatas pertarungan memperebutkan wilayah, persoalan pengungsi dan persoalan air. Dan bahwa persengketaan ini bisa berakhir dengan (diciptakannya suasana) hidup berdampingan secara damai, saling tukar pengungsi, perbaikan tingkat hidup masing-masing, penempatan wilayah tinggal mereka secara terpisah-pisah dan mendirikan sebuah Negara sekuler kecil yang lemah dibawah tekanan ujung-ujung tombak zionisme, yang kesemua itu (justeru) menjadi pagar-pagar pengaman bagi Negara zionis. Mereka semua tidak mengerti bahwa pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan lama semenjak berdirinya Negara islam diMadinah dibawah kepemimpinan utusan Allah bagi alam semesta yaitu Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam
Demikianlah permusuhan dan usaha mereka merusak Islam sejak berdirinya Negara islam bahkan sejak Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah sampai saat ini dan akan berlanjut terus. Walaupun tidak tertutup kemungkinan mereka punya usaha dan upaya memberantas islam sejak kelahiran beliau n . hal ini dapat dilihat dalam pernyataan pendeta Buhairoh terhadap Abu Thalib dalam perjalanan dagang bersama beliau diwaktu kecil. Allah Ta’ala telah jelas-jelas menerangkan permusuhan Yahudi dalam firmanNya:
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. (Qs. 5:82)
Melihat demikian panjangnya sejarah dan banyaknya bentuk permusuhan Yahudi terhadap Islam dan Negara Islam, maka kami ringkas dalam 3 marhalah;
Marhalah pertama:
Upaya Yahudi dalam menghalangi dakwah Islam di masa awal perkembangan dakwah islam dan cara mereka dalam hal ini.
Diantara upaya Yahudi dalam menghalangi dakwah Islam di masa-masa awal perkembangannya adalah:
1. Pemboikotan (embargo) Ekonomi: Kaum muslimin ketika awal perkembangan islam di Madinah sangat lemah perekonomiannya. Kaum muhajirin datang ke Madinah tidak membawa harta mereka dan kaum Anshor yang menolong mereka pun bukanlah pemegang perekonomian Madinah. Oleh karena itu Yahudi menggunakan kesempatan ini untuk menjauhkan kaum muslimin dari agama mereka dan melakukan embargo ekonomi. Para pemimpin Yahudi enggan membantu perekonomian kaum muslimin dan ini terjadi ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengutus Abu Bakar menemui para pemimpin Yahudi untuk meminjam dari mereka harta yang digunakan untuk membantu urusan beliau dan berwasiat untuk tidak berkata kasar dan tidak menyakiti mereka bila mereka tidak memberinya. Ketika Abu Bakar masuk Bait Al Midras (tempat ibadah mereka) mendapati mereka sedang berkumpul dipimpin oleh Fanhaash –tokoh besar bani Qainuqa’- yang merupakan salah satu ulama besar mereka didampingi seorang pendeta yahudi bernama Asy-ya’. Setelah Abu Bakar menyampaikan apa yang dibawanya dan memberikan surat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kepadanya. Maka ia membaca sampai habis dan berkata: Robb kalian butuh kami bantu! Tidak hanya sampai disini saja, bahkan merekapun enggan menunaikan kewajiban yang harus mereka bayar, seperti hutang, jual beli dan amanah kepada kaum muslimin. Berdalih bahwa hutang, jual beli dan amanah tersebut adanya sebelum islam dan masuknya mereka dalam islam menghapus itu semua. Oleh karena itu Allah berfirman:Di antara Ahli Kitab ada orang yang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaranmereka mengatakan:”Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (Qs. 3:75)
2. Membangkitkan fitnah dan kebencian: Yahudi dalam upaya menghalangi dakwah islam menggunakan upaya menciptakan fitnah dan kebencian antar sesama kaum muslimin yang pernah ada di hati penduduk Madinah dari Aus dan Khodzraj pada masa jahiliyah. Sebagian orang yang baru masuk islam menerima ajakan Yahudi, namun dapat dipadamkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam . diantaranya adalah kisah yang dibawakan Ibnu Hisyam dalam Siroh Ibnu Hisyam (2/588) ringkas kisahnya: Seorang Yahudi bernama Syaas bin Qais mengutus seorang pemuda Yahudi untuk duduk dan bermajlis bareng dengan kaum Anshor, kemudian mengingatkan mereka tentang kejadian perang Bu’ats hingga terjadi pertengkaran dan mereka keluar membawa senjata-senjata masing-masing. Lalu hal ini sampai pada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. maka beliau shallallahu ’alaihi wa sallam segera berangkat bersama para sahabat muhajirin menemui mereka dan bersabda:يَا مَعْشَر المُسْلِمِيْنَ اللهَ اللهَ أَبِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ وَ أَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ بَعْدَ أَنْ هَدَاكُمُ اللهُ لِلإِسْلاَمِ وَ أَكْرَمَكُمْ بِهِ وَ قَطَعَ بِهِ أَمْرَ الْجَاهِلِيَّةِ وَاسْتَنْقَذَكُمْ بِهِ مِنَ الْكُفْرِ وَ أَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ “Wahai kaum muslimin alangkah keterlaluannya kalian, apakah (kalian mengangkat) dakwah jahiliyah padahal aku ada diantara kalian setelah Allah tunjuki kalian kepada Islam dan muliakan kalian, memutus perkara Jahiliyah dan menyelamatkan kalian dari kekufuran dengan Islam serta menyatukan hati-hati kalian.” Lalu mereka sadar ini adalah godaan syetan dan tipu daya musuh mereka, sehingga mereka mengangis dan saling rangkul antara Aus dan Khodzroj. Lalu mereka pergi bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dengan patuh dan taat yang penuh. Lalu Allah turunkan firmanNya: Katakanlah: ”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan. Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan.” Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (Qs. 3:99)
3. Menyebarkan keraguan pada diri kaum muslimin: Orang Yahudi berusaha memasukkan keraguan di hati kaum muslimin yang masih lemah imannya dengan melontarkan syubhat-syubhat yang dapat menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap islam. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmanNya: Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): “Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mu’min) kembali (kepada kekafiran). (Qs. 3:72). Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini dengan pernyataan: Ini adalah tipu daya yang mereka inginkan untuk merancukan perkara agama islam kepada orang-orang yang lemah imannya. Mereka sepakat menampakkan keimanan di pagi hari (permulaan siang) dan sholat subuh bersama kaum muslimin. Lalu ketika diakhir siang hari (sore hari) mereka murtad dari agama Islam agar orang-orang bodoh menyatakan bahwa mereka keluat tidak lain karena adanya kekurangan dan aib dalam agama kaum muslimin.
4. Memata-matai kaum Muslimin: Ibnu Hisyam menjelaskan adanya sejumlah orang Yahudi yang memeluk Islam untuk memata-matai kaum muslimin dan menukilkan berita Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan yang ingin beliau lakukan kepada orang Yahudi dan kaum musyrikin, diantaranya: Sa’ad bin Hanief, Zaid bin Al Lishthi, Nu’maan bin Aufa bin Amru dan Utsmaan bin Aufa serta Rafi’ bin Huraimila’. Untuk menghancurkan tipu daya ini Allah berfirman:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata:”Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka):”Marilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. (Qs. 3:118-119)
5. Usaha memfitnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: Orang Yahudi tidak pernah henti berusaha memfitnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, diantaranya adalah kisah yang disampaikan Ibnu Ishaaq bahwa beliau berkata: Ka’ab bin Asad, Ibnu Shaluba, Abdullah bin Shurie dan Syaas bin Qais saling berembuk dan menghasilkan keputusan berangkat menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam untuk memfitnah agama beliau. Lalu mereka menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata: Wahai Muhammad engkau telah tahu kami adalah ulama dan tokoh terhormat serta pemimpin besar Yahudi, Apabila kami mengikutimu maka seluruh Yahudi akan ikut dan tidak akan menyelisihi kami. Sungguh antara kami dan sebagian kaum kami terjadi persengketaan. Apakah boleh kami berhukum kepadamu lalu engkau adili dengan memenangkan kami atas mereka? Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam enggan menerimanya. Lalu turunlah firman Allah: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (Qs. 5:49)
Semua usaha mereka ini gagal total dihadapan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan Allah membalas makar mereka ini dengan menimpakan kepada mereka kerendahan dan kehinaan.
Marhalah kedua:
Masa perang senjata antara Yahudi dan Muslimin di zaman Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
Orang Yahudi tidak cukup hanya membuat keonaran dan fitnah kepada kaum muslimin semata bahkan merekapun menampakkan diri bergabung dengan kaum musyrikin dengan menyatakan permusuhan yang terang-terangan terhadap islam dan kaum muslimin. Namun Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tetap menunggu sampai mereka melanggar dan membatalkan perjanjian yang pernah dibuat diMadinah. Ketika mereka melanggar perjanjian tersebut barulah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan tindakan militer untuk menghadapi mereka dan mengambil beberapa keputusan untuk memberikan pelajaran kepada mereka. Diantara keputusan penting tersebut adalah:
1. Pengusiran Bani Qainuqa’
2. Pengusiran bani Al Nadhir
3. Perang Bani Quraidzoh
4. Penaklukan kota Khaibar
Setelah terjadinya hal tersebut maka orang Yahudi terusir dari jazirah Arab.
Marhalah ketiga:
Tipu daya dan makar mereka terhadap islam setelah wafat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
Orang Yahudi memandang tidak mungkin melawan Islam dan kaum muslimin selama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam masih hidup. Ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam wafat, orang Yahudi melihat adanya kesempatan untuk membuat makar kembali terhadap Islam dan muslimin. Mereka mulai merencanakan dan menjalankan tipu daya mereka untuk memalingkan kaum muslimin dari agamanya. Namun tentunya mereka lakukan dengan lebih baik dan teliti dibanding sebelumnya. Sebagian target mereka telah terwujud dengan beberapa sebab diantaranya:
a. Kaum muslimin kehilangan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
b. Orang Yahudi dapat mengambil pelajaran dan pengalaman dari usaha-usaha mereka terdahulu sehingga dapat menambah hebat makar dan tipu daya mereka.
c. Masuknya sebagian orang Yahudi ke dalam Islam dengan tujuan memata-matai kaum muslimin dan merusak mereka dari dalam tubuh kaum muslimin.
Memang berbicara tentang tipu daya dan makar Yahudi kepada kaum Muslimin sejak wafat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hingga kini membutuhkan pembahasan yang panjang sekali. Namun rasanya cukup memberikan 3 contoh kejadian besar dalam sejarah Islam untuk mengungkapkan permasalahan ini. Yaitu:
1. Fitnah pembunuhan khalifah UtsmanIni adalah awal keberhasilan Yahudi dalam menyusup dan merusak Islam dan kaum muslimin. Tokoh yahudi yang bertanggung jawab terjadinya peristiwa ini adalah Abdullah bin Saba’ yang dikenal dengan Ibnu Sauda’. Kisahnya cukup masyhur dan ditulis dalam kitab-kitab sejarah Islam.
2. Fitnah Maimun Al Qadaah dan perkembangan sekte Bathiniyah. Keberhasilan Abdullah bin Saba’ membuat fitnah di kalangan kaum Muslimin dan mengajarkan saba’isme membuat orang Yahudi semakin berani. Sehingga belum habis fitnah Sabaiyah mereka sudah memunculkan tipu daya baru yang dipimpin seorang Yahudi bernama Maimun bin Dieshaan Al Qadaah dengan membuat sekte Batiniyah di Kufah tahun 276 H. Imam Al Baghdadi menceritakan: Diatara orang yang membangun sekte Bathiniyah adalah Maimun bin Dieshaan yang dikenal dengan Al Qadaah seorang maula bagi Ja’far bin Muhammad Al Shodiq yang berasal dari daerah Al Ahwaaz dan Muhammad bin Al Husein yang dikenal dengan Dandaan. Mereka berkumpul bersama Maimun Al Qadah di penjara Iraaq lalu membangun sekte Bathiniyah.Tipu daya Yahudi ini terus berjalan dalam bentuk yang beraneka ragam sehingga sekte ini berkembang menjadi banyak sekali sektenya dalam kaum muslimin, sampai-sampai menghalalkan pernikahan sesama mahrom dan hilangnya kewajiban syariat pada seseorang.
3. Penghancuran kekhilafahan Turki Utsmani ditangan gerakan Masoniyah dan akibat yang ditimbulkan berupa perpecahan kaum muslimin.Orang Yahudi mengetahui sumber kekuatan kaum muslimin adaalh bersatunya mereka dibawah satu kepemimpinan dalam naungan kekhilafahan Islamiyah. Oleh karena mereka segera berusaha keras meruntuhkan kekhilafahan yang ada sejak zaman Khulafa’ Rasyidin sampai berhasil menghapus dan meruntuhkan negara Turki Utsmaniyah. Orang Yahudi memulai konspirasinya dalam meruntuhkan Negara Turki Utsmaniyah pada masa sultan Murad kedua (tahun 834-855H) dan setelah beliau pada masa sultan Muhammad Al Faatih (tahun 855-886H) yang meningal diracun oleh Thobib beliau seorang Yahudi bernama Ya’qub Basya. Demikian juga berhasil membunuh Sultan Sulaiman Al Qanuni (tahun 926-974H) dan para cucunya yang diatur oleh seorang Yahudi bernama Nurbaanu. Konspirasi Yahudi ini terus berlangsung di masa kekhilafahan Utsmaniyah lebih dari 400 tahunan hingga runtuhnya di tangan Mushthofa Ataturk.
Orang Yahudi dalam menjalankan rencana tipu daya mereka menggunakan kekuatan berikut ini:
1. Yahudi Al Dunamah. Diantara tokohnya adalah Madhaat Basya dan Mushthofa Kamal Ataturk yang memiliki peran besar dan penting dalam penghancuran kekhilafahan Utsmaniyah.
2. Salibis Eropa yang sangat membenci islam dan kaum muslimin dengan melakukan perjanjian kerjasama dengan beberapa Negara eropa yaitu Bulgaria, Rumania, Namsa, Prancis, Rusia, Yunani dan Italia.
3. Organisasi bawah tanah/rahasia, khususnya Masoniyah yang terus berusaha merealisasikan tujuan dan target Zionis.
Usaha-usaha Musthofa Kamal Basya Ataturk dalam menghancurkan kekhilafahan setelah berhasil menyingkirkan sultan Abdulhamid kedua adalah:
a. Pada awal November 1922 M ia menghapus kesultanan dan membiarkan kekhilafahan
b. Pada tanggal 18 November 1922M ia mencopot Wahieduddin Muhammad keenam dari kekhilafahan.
c. Pada Agustus 1923 M ia mendirikan Hizb Al Sya’b Al Jumhuriah (Partai Rakyat Republik) dengan tokoh-tokoh pentingnya kebanyakan dari Yahudi Al Dunamah dan Masoniyah.
d. Pada tanggal 20 oktober 1923 M Republik Turki diresmikan dan Al Jum’iyah Al Wathoniyah (Organisasi nasional) memilih Musthofa Kamal sebagai presiden Turki.
e. Pada tanggal 2 Maret 1924 M Kekhilafahan dihapus total.
Demikianlah sempurna sudah keinginan orang-orang Yahudi untuk menjadikan kekhilafahan sebagai Negara sekuler yang dipimpin seorang Yahudi yang berkedok muslim.
Mudah-mudahan ringkas sejarah permusuhan Yahudi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi pelajaran bagi kaum muslimin.
***
Baca selengkapnya ..
Padahal pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan eksistensi, bukan persengkataan perbatasan. Musuh-musuh islam dan para pengikutnya yang bodoh terus berupaya membentuk opini bahwa hakekat pertarungan dengan Yahudi adalah sebatas pertarungan memperebutkan wilayah, persoalan pengungsi dan persoalan air. Dan bahwa persengketaan ini bisa berakhir dengan (diciptakannya suasana) hidup berdampingan secara damai, saling tukar pengungsi, perbaikan tingkat hidup masing-masing, penempatan wilayah tinggal mereka secara terpisah-pisah dan mendirikan sebuah Negara sekuler kecil yang lemah dibawah tekanan ujung-ujung tombak zionisme, yang kesemua itu (justeru) menjadi pagar-pagar pengaman bagi Negara zionis. Mereka semua tidak mengerti bahwa pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan lama semenjak berdirinya Negara islam diMadinah dibawah kepemimpinan utusan Allah bagi alam semesta yaitu Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam
Demikianlah permusuhan dan usaha mereka merusak Islam sejak berdirinya Negara islam bahkan sejak Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah sampai saat ini dan akan berlanjut terus. Walaupun tidak tertutup kemungkinan mereka punya usaha dan upaya memberantas islam sejak kelahiran beliau n . hal ini dapat dilihat dalam pernyataan pendeta Buhairoh terhadap Abu Thalib dalam perjalanan dagang bersama beliau diwaktu kecil. Allah Ta’ala telah jelas-jelas menerangkan permusuhan Yahudi dalam firmanNya:
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. (Qs. 5:82)
Melihat demikian panjangnya sejarah dan banyaknya bentuk permusuhan Yahudi terhadap Islam dan Negara Islam, maka kami ringkas dalam 3 marhalah;
Marhalah pertama:
Upaya Yahudi dalam menghalangi dakwah Islam di masa awal perkembangan dakwah islam dan cara mereka dalam hal ini.
Diantara upaya Yahudi dalam menghalangi dakwah Islam di masa-masa awal perkembangannya adalah:
1. Pemboikotan (embargo) Ekonomi: Kaum muslimin ketika awal perkembangan islam di Madinah sangat lemah perekonomiannya. Kaum muhajirin datang ke Madinah tidak membawa harta mereka dan kaum Anshor yang menolong mereka pun bukanlah pemegang perekonomian Madinah. Oleh karena itu Yahudi menggunakan kesempatan ini untuk menjauhkan kaum muslimin dari agama mereka dan melakukan embargo ekonomi. Para pemimpin Yahudi enggan membantu perekonomian kaum muslimin dan ini terjadi ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengutus Abu Bakar menemui para pemimpin Yahudi untuk meminjam dari mereka harta yang digunakan untuk membantu urusan beliau dan berwasiat untuk tidak berkata kasar dan tidak menyakiti mereka bila mereka tidak memberinya. Ketika Abu Bakar masuk Bait Al Midras (tempat ibadah mereka) mendapati mereka sedang berkumpul dipimpin oleh Fanhaash –tokoh besar bani Qainuqa’- yang merupakan salah satu ulama besar mereka didampingi seorang pendeta yahudi bernama Asy-ya’. Setelah Abu Bakar menyampaikan apa yang dibawanya dan memberikan surat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kepadanya. Maka ia membaca sampai habis dan berkata: Robb kalian butuh kami bantu! Tidak hanya sampai disini saja, bahkan merekapun enggan menunaikan kewajiban yang harus mereka bayar, seperti hutang, jual beli dan amanah kepada kaum muslimin. Berdalih bahwa hutang, jual beli dan amanah tersebut adanya sebelum islam dan masuknya mereka dalam islam menghapus itu semua. Oleh karena itu Allah berfirman:Di antara Ahli Kitab ada orang yang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaranmereka mengatakan:”Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (Qs. 3:75)
2. Membangkitkan fitnah dan kebencian: Yahudi dalam upaya menghalangi dakwah islam menggunakan upaya menciptakan fitnah dan kebencian antar sesama kaum muslimin yang pernah ada di hati penduduk Madinah dari Aus dan Khodzraj pada masa jahiliyah. Sebagian orang yang baru masuk islam menerima ajakan Yahudi, namun dapat dipadamkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam . diantaranya adalah kisah yang dibawakan Ibnu Hisyam dalam Siroh Ibnu Hisyam (2/588) ringkas kisahnya: Seorang Yahudi bernama Syaas bin Qais mengutus seorang pemuda Yahudi untuk duduk dan bermajlis bareng dengan kaum Anshor, kemudian mengingatkan mereka tentang kejadian perang Bu’ats hingga terjadi pertengkaran dan mereka keluar membawa senjata-senjata masing-masing. Lalu hal ini sampai pada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. maka beliau shallallahu ’alaihi wa sallam segera berangkat bersama para sahabat muhajirin menemui mereka dan bersabda:يَا مَعْشَر المُسْلِمِيْنَ اللهَ اللهَ أَبِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ وَ أَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ بَعْدَ أَنْ هَدَاكُمُ اللهُ لِلإِسْلاَمِ وَ أَكْرَمَكُمْ بِهِ وَ قَطَعَ بِهِ أَمْرَ الْجَاهِلِيَّةِ وَاسْتَنْقَذَكُمْ بِهِ مِنَ الْكُفْرِ وَ أَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ “Wahai kaum muslimin alangkah keterlaluannya kalian, apakah (kalian mengangkat) dakwah jahiliyah padahal aku ada diantara kalian setelah Allah tunjuki kalian kepada Islam dan muliakan kalian, memutus perkara Jahiliyah dan menyelamatkan kalian dari kekufuran dengan Islam serta menyatukan hati-hati kalian.” Lalu mereka sadar ini adalah godaan syetan dan tipu daya musuh mereka, sehingga mereka mengangis dan saling rangkul antara Aus dan Khodzroj. Lalu mereka pergi bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dengan patuh dan taat yang penuh. Lalu Allah turunkan firmanNya: Katakanlah: ”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan. Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan.” Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (Qs. 3:99)
3. Menyebarkan keraguan pada diri kaum muslimin: Orang Yahudi berusaha memasukkan keraguan di hati kaum muslimin yang masih lemah imannya dengan melontarkan syubhat-syubhat yang dapat menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap islam. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmanNya: Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): “Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mu’min) kembali (kepada kekafiran). (Qs. 3:72). Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini dengan pernyataan: Ini adalah tipu daya yang mereka inginkan untuk merancukan perkara agama islam kepada orang-orang yang lemah imannya. Mereka sepakat menampakkan keimanan di pagi hari (permulaan siang) dan sholat subuh bersama kaum muslimin. Lalu ketika diakhir siang hari (sore hari) mereka murtad dari agama Islam agar orang-orang bodoh menyatakan bahwa mereka keluat tidak lain karena adanya kekurangan dan aib dalam agama kaum muslimin.
4. Memata-matai kaum Muslimin: Ibnu Hisyam menjelaskan adanya sejumlah orang Yahudi yang memeluk Islam untuk memata-matai kaum muslimin dan menukilkan berita Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan yang ingin beliau lakukan kepada orang Yahudi dan kaum musyrikin, diantaranya: Sa’ad bin Hanief, Zaid bin Al Lishthi, Nu’maan bin Aufa bin Amru dan Utsmaan bin Aufa serta Rafi’ bin Huraimila’. Untuk menghancurkan tipu daya ini Allah berfirman:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata:”Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka):”Marilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. (Qs. 3:118-119)
5. Usaha memfitnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: Orang Yahudi tidak pernah henti berusaha memfitnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, diantaranya adalah kisah yang disampaikan Ibnu Ishaaq bahwa beliau berkata: Ka’ab bin Asad, Ibnu Shaluba, Abdullah bin Shurie dan Syaas bin Qais saling berembuk dan menghasilkan keputusan berangkat menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam untuk memfitnah agama beliau. Lalu mereka menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata: Wahai Muhammad engkau telah tahu kami adalah ulama dan tokoh terhormat serta pemimpin besar Yahudi, Apabila kami mengikutimu maka seluruh Yahudi akan ikut dan tidak akan menyelisihi kami. Sungguh antara kami dan sebagian kaum kami terjadi persengketaan. Apakah boleh kami berhukum kepadamu lalu engkau adili dengan memenangkan kami atas mereka? Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam enggan menerimanya. Lalu turunlah firman Allah: Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (Qs. 5:49)
Semua usaha mereka ini gagal total dihadapan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan Allah membalas makar mereka ini dengan menimpakan kepada mereka kerendahan dan kehinaan.
Marhalah kedua:
Masa perang senjata antara Yahudi dan Muslimin di zaman Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
Orang Yahudi tidak cukup hanya membuat keonaran dan fitnah kepada kaum muslimin semata bahkan merekapun menampakkan diri bergabung dengan kaum musyrikin dengan menyatakan permusuhan yang terang-terangan terhadap islam dan kaum muslimin. Namun Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tetap menunggu sampai mereka melanggar dan membatalkan perjanjian yang pernah dibuat diMadinah. Ketika mereka melanggar perjanjian tersebut barulah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan tindakan militer untuk menghadapi mereka dan mengambil beberapa keputusan untuk memberikan pelajaran kepada mereka. Diantara keputusan penting tersebut adalah:
1. Pengusiran Bani Qainuqa’
2. Pengusiran bani Al Nadhir
3. Perang Bani Quraidzoh
4. Penaklukan kota Khaibar
Setelah terjadinya hal tersebut maka orang Yahudi terusir dari jazirah Arab.
Marhalah ketiga:
Tipu daya dan makar mereka terhadap islam setelah wafat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
Orang Yahudi memandang tidak mungkin melawan Islam dan kaum muslimin selama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam masih hidup. Ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam wafat, orang Yahudi melihat adanya kesempatan untuk membuat makar kembali terhadap Islam dan muslimin. Mereka mulai merencanakan dan menjalankan tipu daya mereka untuk memalingkan kaum muslimin dari agamanya. Namun tentunya mereka lakukan dengan lebih baik dan teliti dibanding sebelumnya. Sebagian target mereka telah terwujud dengan beberapa sebab diantaranya:
a. Kaum muslimin kehilangan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
b. Orang Yahudi dapat mengambil pelajaran dan pengalaman dari usaha-usaha mereka terdahulu sehingga dapat menambah hebat makar dan tipu daya mereka.
c. Masuknya sebagian orang Yahudi ke dalam Islam dengan tujuan memata-matai kaum muslimin dan merusak mereka dari dalam tubuh kaum muslimin.
Memang berbicara tentang tipu daya dan makar Yahudi kepada kaum Muslimin sejak wafat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hingga kini membutuhkan pembahasan yang panjang sekali. Namun rasanya cukup memberikan 3 contoh kejadian besar dalam sejarah Islam untuk mengungkapkan permasalahan ini. Yaitu:
1. Fitnah pembunuhan khalifah UtsmanIni adalah awal keberhasilan Yahudi dalam menyusup dan merusak Islam dan kaum muslimin. Tokoh yahudi yang bertanggung jawab terjadinya peristiwa ini adalah Abdullah bin Saba’ yang dikenal dengan Ibnu Sauda’. Kisahnya cukup masyhur dan ditulis dalam kitab-kitab sejarah Islam.
2. Fitnah Maimun Al Qadaah dan perkembangan sekte Bathiniyah. Keberhasilan Abdullah bin Saba’ membuat fitnah di kalangan kaum Muslimin dan mengajarkan saba’isme membuat orang Yahudi semakin berani. Sehingga belum habis fitnah Sabaiyah mereka sudah memunculkan tipu daya baru yang dipimpin seorang Yahudi bernama Maimun bin Dieshaan Al Qadaah dengan membuat sekte Batiniyah di Kufah tahun 276 H. Imam Al Baghdadi menceritakan: Diatara orang yang membangun sekte Bathiniyah adalah Maimun bin Dieshaan yang dikenal dengan Al Qadaah seorang maula bagi Ja’far bin Muhammad Al Shodiq yang berasal dari daerah Al Ahwaaz dan Muhammad bin Al Husein yang dikenal dengan Dandaan. Mereka berkumpul bersama Maimun Al Qadah di penjara Iraaq lalu membangun sekte Bathiniyah.Tipu daya Yahudi ini terus berjalan dalam bentuk yang beraneka ragam sehingga sekte ini berkembang menjadi banyak sekali sektenya dalam kaum muslimin, sampai-sampai menghalalkan pernikahan sesama mahrom dan hilangnya kewajiban syariat pada seseorang.
3. Penghancuran kekhilafahan Turki Utsmani ditangan gerakan Masoniyah dan akibat yang ditimbulkan berupa perpecahan kaum muslimin.Orang Yahudi mengetahui sumber kekuatan kaum muslimin adaalh bersatunya mereka dibawah satu kepemimpinan dalam naungan kekhilafahan Islamiyah. Oleh karena mereka segera berusaha keras meruntuhkan kekhilafahan yang ada sejak zaman Khulafa’ Rasyidin sampai berhasil menghapus dan meruntuhkan negara Turki Utsmaniyah. Orang Yahudi memulai konspirasinya dalam meruntuhkan Negara Turki Utsmaniyah pada masa sultan Murad kedua (tahun 834-855H) dan setelah beliau pada masa sultan Muhammad Al Faatih (tahun 855-886H) yang meningal diracun oleh Thobib beliau seorang Yahudi bernama Ya’qub Basya. Demikian juga berhasil membunuh Sultan Sulaiman Al Qanuni (tahun 926-974H) dan para cucunya yang diatur oleh seorang Yahudi bernama Nurbaanu. Konspirasi Yahudi ini terus berlangsung di masa kekhilafahan Utsmaniyah lebih dari 400 tahunan hingga runtuhnya di tangan Mushthofa Ataturk.
Orang Yahudi dalam menjalankan rencana tipu daya mereka menggunakan kekuatan berikut ini:
1. Yahudi Al Dunamah. Diantara tokohnya adalah Madhaat Basya dan Mushthofa Kamal Ataturk yang memiliki peran besar dan penting dalam penghancuran kekhilafahan Utsmaniyah.
2. Salibis Eropa yang sangat membenci islam dan kaum muslimin dengan melakukan perjanjian kerjasama dengan beberapa Negara eropa yaitu Bulgaria, Rumania, Namsa, Prancis, Rusia, Yunani dan Italia.
3. Organisasi bawah tanah/rahasia, khususnya Masoniyah yang terus berusaha merealisasikan tujuan dan target Zionis.
Usaha-usaha Musthofa Kamal Basya Ataturk dalam menghancurkan kekhilafahan setelah berhasil menyingkirkan sultan Abdulhamid kedua adalah:
a. Pada awal November 1922 M ia menghapus kesultanan dan membiarkan kekhilafahan
b. Pada tanggal 18 November 1922M ia mencopot Wahieduddin Muhammad keenam dari kekhilafahan.
c. Pada Agustus 1923 M ia mendirikan Hizb Al Sya’b Al Jumhuriah (Partai Rakyat Republik) dengan tokoh-tokoh pentingnya kebanyakan dari Yahudi Al Dunamah dan Masoniyah.
d. Pada tanggal 20 oktober 1923 M Republik Turki diresmikan dan Al Jum’iyah Al Wathoniyah (Organisasi nasional) memilih Musthofa Kamal sebagai presiden Turki.
e. Pada tanggal 2 Maret 1924 M Kekhilafahan dihapus total.
Demikianlah sempurna sudah keinginan orang-orang Yahudi untuk menjadikan kekhilafahan sebagai Negara sekuler yang dipimpin seorang Yahudi yang berkedok muslim.
Mudah-mudahan ringkas sejarah permusuhan Yahudi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi pelajaran bagi kaum muslimin.
***
Baca selengkapnya ..
Label:
Islam
Awas, Musuh Dalam Selimut!
Pembaca yang budiman, di masa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam masih hidup ada dua golongan musuh Islam yaitu orang kafir dan orang munafiq. Di antara kedua golongan ini orang-orang munafiq adalah yang paling berbahaya bagi ummat Islam, karena mereka mengaku Islam namun pada hakekatnya menghancurkan Islam dari dalam. Dan hal ini senantiasa terjadi di sepanjang jaman, begitu pula di jaman kita sekarang ini bahkan di negeri yang kita tinggali ini.
Alloh Ta’ala memerintahkan kepada Nabi dan orang-orang yang beriman supaya berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq. Alloh berfirman, “Wahai Nabi berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafiq dan bersikap keraslah pada mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (At Taubah: 73)
JIL Mengganyang Islam
Salah satu musuh yang kini tengah dihadapi ummat Islam adalah ajaran sesat yang dibawa oleh Jaringan Islam Liberal/JIL. Sehingga kerancuan yang mereka tebarkan perlu dibantah, apalagi orang-orang yang membawa pemikiran sesat ini adalah tokoh-tokoh yang digelari cendekiawan, kyai dan intelektual. Sebenarnya pernyataan mereka terlalu menyakitkan untuk ditulis dan disebarluaskan, namun demi tegaknya kebenaran maka dalam kesempatan ini akan kami bawakan beberapa contoh kesesatan pemikiran mereka yang dengannya pembaca akan mengetahui betapa rusaknya akidah Islam Liberal ini.
Orang JIL Tidak Paham Tauhid
Nurcholis Majid menafsirkan Laa ilaaha illalloh dengan arti “Tiada tuhan (t kecil) kecuali Tuhan (T besar)”. Padahal Rosululloh, para sahabat dan para ulama dari jaman ke zaman meyakini bahwa makna Laa ilaaha ilalloh adalah “Tiada sesembahan yang benar kecuali Alloh”. Dalilnya adalah firman Alloh, “Demikian itulah kuasa Alloh Dialah sesembahan yang haq adapun sesembahan-sesembahan yang mereka seru selain Alloh adalah (sesembahan) yang batil…” (Al Hajj: 62). Nah, satu contoh ini sebenarnya sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa ajaran JIL adalah sesat karena menyimpang dari petunjuk Rosululloh dan para sahabat. Walaupun dalam mempromosikan kesesatannya mereka menggunakan label Islam, tapi sesungguhnya Islam cuci tangan dari apa yang mereka katakan.
Orang JIL Tidak Paham Kebenaran
Ulil Abshar (seorang tokoh JIL -ed) mengatakan bahwa semua agama sama, semuanya menuju jalan kebenaran, jadi Islam bukan yang paling benar katanya. Padahal Al Qur’an dan As Sunnah menegaskan bahwa Islamlah satu-satunya agama yang benar, yaitu Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Alloh Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Alloh hanyalah Islam.” (Ali Imron: 19). Nabi juga bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah ada seorang pun yang mendengar kenabianku, baik Yahudi maupun Nasrani kemudian mati dalam keadaan tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa kecuali pastilah dia termasuk di antara para penghuni neraka.” (HR. Muslim). Kalau Alloh dan Rosul-Nya sudah menyatakan demikian, maka anda pun bisa menjawab apakah yang dikatakan Ulil ini kebenaran ataukah bukan?
Orang JIL Tidak Paham Islam
Para tokoh JIL menafsirkan Islam hanya sebagai sikap pasrah kepada Tuhan. Maksud mereka siapapun dia apapun agamanya selama dia pasrah kepada Tuhan maka dia adalah orang Islam. Allohu Akbar! Ini adalah Jahil Murokkab (bodoh kuadrat), sudah salah, merasa sok tahu lagi. Cobalah kita simak jawaban Nabi ketika Jibril bertanya tentang Islam. Beliau menjawab, “Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau menegakkan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Romadhon dan berhaji ke baitulloh jika engkau sanggup mengadakan perjalanan ke sana.” (HR. Muslim). Siapakah yang lebih tahu tentang Islam; Nabi ataukah orang-orang JIL?
Orang JIL Menghina Syari’at Islam
Ulil Abshor mengatakan bahwa larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam sudah tidak relevan lagi. Padahal Alloh Ta’ala telah berfirman, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah: 3). Kalau Alloh yang maha tahu sudah menyatakan bahwa Islam sudah sempurna sedangkan Ulil mengatakan bahwa ada aturan Islam yang tidak relevan -tidak cocok dengan perkembangan jaman- maka kita justeru bertanya kepadanya: Siapakah yang lebih tahu, JIL ataukah Alloh?!
Orang Bodoh Kok Diikuti?
Demikianlah beberapa contoh kesesatan pemikiran JIL. Kita telah melihat bersama betapa bodohnya pemikiran semacam ini. Kalaulah makna tauhid, makna Islam adalah sebagaimana yang dikatakan oleh mereka (JIL) niscaya Abu Jahal, Abu Lahab dan orang-orang kafir Quraisy yang dimusuhi Nabi menjadi orang yang pertama-tama masuk Islam. Karena mereka meyakini bahwasanya Alloh-lah pencipta, pengatur, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, yang mampu menyelamatkan mereka ketika tertimpa bencana, sehingga ketika mereka diombang-ambingkan oleh ombak lautan mereka mengikhlashkan do’a hanya kepada Alloh, memasrahkan urusan mereka kepada-Nya.
Namun dengan keyakinan semacam ini mereka tetap saja menolak ajakan Nabi untuk mengucapkan Laa ilaaha illalloh. Bahkan mereka memerangi Rosululloh, menyiksa para sahabat dan membunuh sebagian di antara mereka dengan cara yang amat keji. Inilah bukti bahwa orang-orang JIL benar-benar tidak paham Al Qur’an, tidak paham As Sunnah, bahkan tidak paham sejarah!!
Himbauan
Melalui tulisan ini kami menghimbau kepada segenap kaum muslimin agar menjauhi buletin, majalah, website, siaran TV atau radio yang digunakan oleh JIL dalam menyebarkan kesesatan mereka dan bagi yang memiliki kewenangan hendaklah memusnahkannya. Karena Alloh Ta’ala telah memerintahkan, “Wahai Nabi berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafiq dan bersikap keraslah pada mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (At Taubah: 73). Dan ketahuilah bahwasanya tidak ada yang bisa membentengi kaum muslimin dari kebinasaan kecuali dengan kembali berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah serta pemahaman para salafush sholih (sahabat dan murid-murid mereka). Dan Rosululloh telah menegaskan bahwasanya ilmu itu hanya bisa diraih dengan cara belajar (lihat Fathul Bari). Semoga tulisan yang singkat ini bisa meruntuhkan kerancuan-kerancuan yang ditebarkan oleh musuh-musuh Alloh dan Rosul-Nya.
Imam Al Auza’i berpesan, “Wajib atas kalian mengikuti jejak salaf (para sahabat) walaupun banyak manusia yang menentangmu. Dan waspadalah dari pemikiran-pemikiran manusia meskipun mereka menghiasinya dengan perkataan-perkataan yang indah di hadapanmu”. Hanya kepada Alloh-lah kita memohon perlindungan. Wallohu a’lam.
***
Baca selengkapnya ..
Alloh Ta’ala memerintahkan kepada Nabi dan orang-orang yang beriman supaya berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq. Alloh berfirman, “Wahai Nabi berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafiq dan bersikap keraslah pada mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (At Taubah: 73)
JIL Mengganyang Islam
Salah satu musuh yang kini tengah dihadapi ummat Islam adalah ajaran sesat yang dibawa oleh Jaringan Islam Liberal/JIL. Sehingga kerancuan yang mereka tebarkan perlu dibantah, apalagi orang-orang yang membawa pemikiran sesat ini adalah tokoh-tokoh yang digelari cendekiawan, kyai dan intelektual. Sebenarnya pernyataan mereka terlalu menyakitkan untuk ditulis dan disebarluaskan, namun demi tegaknya kebenaran maka dalam kesempatan ini akan kami bawakan beberapa contoh kesesatan pemikiran mereka yang dengannya pembaca akan mengetahui betapa rusaknya akidah Islam Liberal ini.
Orang JIL Tidak Paham Tauhid
Nurcholis Majid menafsirkan Laa ilaaha illalloh dengan arti “Tiada tuhan (t kecil) kecuali Tuhan (T besar)”. Padahal Rosululloh, para sahabat dan para ulama dari jaman ke zaman meyakini bahwa makna Laa ilaaha ilalloh adalah “Tiada sesembahan yang benar kecuali Alloh”. Dalilnya adalah firman Alloh, “Demikian itulah kuasa Alloh Dialah sesembahan yang haq adapun sesembahan-sesembahan yang mereka seru selain Alloh adalah (sesembahan) yang batil…” (Al Hajj: 62). Nah, satu contoh ini sebenarnya sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa ajaran JIL adalah sesat karena menyimpang dari petunjuk Rosululloh dan para sahabat. Walaupun dalam mempromosikan kesesatannya mereka menggunakan label Islam, tapi sesungguhnya Islam cuci tangan dari apa yang mereka katakan.
Orang JIL Tidak Paham Kebenaran
Ulil Abshar (seorang tokoh JIL -ed) mengatakan bahwa semua agama sama, semuanya menuju jalan kebenaran, jadi Islam bukan yang paling benar katanya. Padahal Al Qur’an dan As Sunnah menegaskan bahwa Islamlah satu-satunya agama yang benar, yaitu Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Alloh Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Alloh hanyalah Islam.” (Ali Imron: 19). Nabi juga bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah ada seorang pun yang mendengar kenabianku, baik Yahudi maupun Nasrani kemudian mati dalam keadaan tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa kecuali pastilah dia termasuk di antara para penghuni neraka.” (HR. Muslim). Kalau Alloh dan Rosul-Nya sudah menyatakan demikian, maka anda pun bisa menjawab apakah yang dikatakan Ulil ini kebenaran ataukah bukan?
Orang JIL Tidak Paham Islam
Para tokoh JIL menafsirkan Islam hanya sebagai sikap pasrah kepada Tuhan. Maksud mereka siapapun dia apapun agamanya selama dia pasrah kepada Tuhan maka dia adalah orang Islam. Allohu Akbar! Ini adalah Jahil Murokkab (bodoh kuadrat), sudah salah, merasa sok tahu lagi. Cobalah kita simak jawaban Nabi ketika Jibril bertanya tentang Islam. Beliau menjawab, “Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau menegakkan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Romadhon dan berhaji ke baitulloh jika engkau sanggup mengadakan perjalanan ke sana.” (HR. Muslim). Siapakah yang lebih tahu tentang Islam; Nabi ataukah orang-orang JIL?
Orang JIL Menghina Syari’at Islam
Ulil Abshor mengatakan bahwa larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam sudah tidak relevan lagi. Padahal Alloh Ta’ala telah berfirman, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah: 3). Kalau Alloh yang maha tahu sudah menyatakan bahwa Islam sudah sempurna sedangkan Ulil mengatakan bahwa ada aturan Islam yang tidak relevan -tidak cocok dengan perkembangan jaman- maka kita justeru bertanya kepadanya: Siapakah yang lebih tahu, JIL ataukah Alloh?!
Orang Bodoh Kok Diikuti?
Demikianlah beberapa contoh kesesatan pemikiran JIL. Kita telah melihat bersama betapa bodohnya pemikiran semacam ini. Kalaulah makna tauhid, makna Islam adalah sebagaimana yang dikatakan oleh mereka (JIL) niscaya Abu Jahal, Abu Lahab dan orang-orang kafir Quraisy yang dimusuhi Nabi menjadi orang yang pertama-tama masuk Islam. Karena mereka meyakini bahwasanya Alloh-lah pencipta, pengatur, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, yang mampu menyelamatkan mereka ketika tertimpa bencana, sehingga ketika mereka diombang-ambingkan oleh ombak lautan mereka mengikhlashkan do’a hanya kepada Alloh, memasrahkan urusan mereka kepada-Nya.
Namun dengan keyakinan semacam ini mereka tetap saja menolak ajakan Nabi untuk mengucapkan Laa ilaaha illalloh. Bahkan mereka memerangi Rosululloh, menyiksa para sahabat dan membunuh sebagian di antara mereka dengan cara yang amat keji. Inilah bukti bahwa orang-orang JIL benar-benar tidak paham Al Qur’an, tidak paham As Sunnah, bahkan tidak paham sejarah!!
Himbauan
Melalui tulisan ini kami menghimbau kepada segenap kaum muslimin agar menjauhi buletin, majalah, website, siaran TV atau radio yang digunakan oleh JIL dalam menyebarkan kesesatan mereka dan bagi yang memiliki kewenangan hendaklah memusnahkannya. Karena Alloh Ta’ala telah memerintahkan, “Wahai Nabi berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafiq dan bersikap keraslah pada mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (At Taubah: 73). Dan ketahuilah bahwasanya tidak ada yang bisa membentengi kaum muslimin dari kebinasaan kecuali dengan kembali berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah serta pemahaman para salafush sholih (sahabat dan murid-murid mereka). Dan Rosululloh telah menegaskan bahwasanya ilmu itu hanya bisa diraih dengan cara belajar (lihat Fathul Bari). Semoga tulisan yang singkat ini bisa meruntuhkan kerancuan-kerancuan yang ditebarkan oleh musuh-musuh Alloh dan Rosul-Nya.
Imam Al Auza’i berpesan, “Wajib atas kalian mengikuti jejak salaf (para sahabat) walaupun banyak manusia yang menentangmu. Dan waspadalah dari pemikiran-pemikiran manusia meskipun mereka menghiasinya dengan perkataan-perkataan yang indah di hadapanmu”. Hanya kepada Alloh-lah kita memohon perlindungan. Wallohu a’lam.
***
Baca selengkapnya ..
Label:
Islam
Apa dan Bagaimana Studi Islam di Barat
Tatkala terjadi perubahan Menteri Agama dari Munawir Sjadzali kepada Tarmidzi Taher, maka salah satu persoalan penting yang dinanti-nanti banyak orang jawabannya, paling tidak oleh TEMPO, ialah soal pengiriman sarjana dan dosen IAIN untuk belajar Islam ke Barat. Soalnya, program ini boleh dikata adalah program Munawir yang sampai saat itu telah mengirimkan sekitar 200 sarjana IAIN ke berbagai universitas di Barat. Katanya, diharapkan pada akhir pelita itu, Indonesia punya 34 doktor dan 88 master di bidang keagamaan. (TEMPO 3/4). Dalam laporan itu, banyak sekali diungkap kehebatan-kehebatan belajar di Barat. Tetapi, ada semacam sikap yang kurang fair, yang seakan-akan memperalat Pak Rasjidi untuk melegitimasi “kebijakan” itu. Seolah-olah Pak Rasjidi sepenuhnya setuju dengan program belajar Islam ke Barat. Hal itu didasarkan hanya karena ia pernah memberikan semacam rekomendasi kepada harun Nasution untuk belajar di Mc. Gill. Jelas kesimpulan seperti ini keliru.
Apa yang diharapkan oleh Pak Rasjidi pada awalnya, waktu memberi rekomendasi dan apa yang terjadi setelah di Mc. Gill, dapat dibaca dalam mukadimah bukunya yang berjudul Koreksi terhadap Harun Nasution.
Waktu itu Rasjidi diilhami guru-gurunya di Mesir, seperti Syaikh Musthafa ‘Abdur Raziq, pakar filsafat Islam dan lain-lain. Mereka itu pernah mengecap pendidikan di Perancis, tetapi gencar pula “menguliti” pemikiran-pemikiran orientalis. Rasjidi sendiri menempuh cara itu. Setelah menamatkan pendidikannya di Darul Ulum dan Fakultas Adab Universitas Kairo, ia “nyantri” di Sorbonne. Dengan bekal keilmuan yang cukup, yang telah dipersiapkan di Mesir, Rasjidi berhadapan dengan orientalis. Rasjidi akhirnya tampil sebagai sosok ilmuwan yang mengecap pendidikan Barat tetapi tidak terpengaruh dengan pola pikir orientalis.
Rasjidi berharap agar teman yang dikirimnya itu dapat mengikuti jejaknya, bersikap kritis, tidak membeo kepada orientalis itu. Tetapi, ternyata harapan itu berlainan dengan kenyataan.
Spesialisasi Keilmuan
Belajar Islam ke Barat memang sudah lama jadi masalah kontroversial. Sebab, dengan logika sederhana saja, orang dapat berpikir bahwa setiap disiplin ilmu haruslah dipelajari dari ahlinya (atau dari bangsa yang dikenal maju dalam bidang itu). Orang yang belajar pesawat terbang ke Jerman, belajar komputer ke Amerika, belajar kimia ke Perancis, dan sebagainya tentu itu sangat relevan. Janganlah terbalik: belajar ekonomi di negara yang kelaparan, belajar kedokteran di negara yang rawan penyakit, belajar elektro di negara yang minim listrik, apalagi belajar “agama” tertentu kepada orang yang antiagama tersebut, tentu saja dirasakan kurang tepat, kalau tidak dikatakan “ngaco”.
Sementara beberapa kalangan mengganggap metodologi Barat lebih unggul, tetapi sebenarnya di situlah letak kerancuannya. Karena kerancuan metodologi, maka ilmu apa pun yang dipelajari dari Barat akan menghasilkan tashawwur ‘gambaran’ yang serupa. Tidak hanya belajar tentang Islam, belajar yang lainnya, seperti politik, sosiologi, filsafat, dan ilmu-ilmu humanitas lainnya yang dikaitkan dengan Islam, akan sampai pada kesimpulan yang sama. Yaitu, menempatkan Islam pada posisi sebagai “tertuduh” yang harus dihukum. Jadi, bagi yang belajar politik Islam hanya bisa melihat gambaran-gambaran negatif dalam sejarah percaturan politik Islam. Mereka yang belajar sosiologi dan filsafat juga akan mendapatkan kesan-kesan negatif tentang masyarakat Islam dan sejarah pemikirannya.
Namun, bukan berarti bahwa penulis secara total menolak belajar ke Barat. Mungkin saja dibolehkan untuk kondisi tertentu dan dalam batas-batas tertentu pula. Tetapi, dalam kondisi yang minus ulama, tingkat pemahaman agama Islam yang amat sederhana, tentu belajar ke Barat memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih matang dan terencana. Bila kita membuat perbandingan dengan Mesir, misalnya, yang telah “banjir” ulama, “doktor”, dan sarang para pemikir, kualitas pendidikan yang relatif mapan, toh belajar Islam ke Barat tidak pernah menjadi program mereka. Bahkan, tidak pernah didorong atau digalakkan, kecuali sekadar usaha-usaha individual yang sangat terbatas.
Lemah Materi dan Metodologi
Ada sementara orang berasumsi bahwa studi Islam di dunia Arab kaya dengan materi tetapi lemah di bidang metodologi. Sementara di sisi lain, studi Islam di Barat miskin materi tetapi kaya dalam metodologi. Benarkah Barat lebih baik dari segi metodologi? Kalau secara materi, itu sudah dapat diduga, di dunia Arab lebih baik ketimbang di Barat.
Secara materi, Barat sampai saat ini tidak mampu mengeluarkan sarjana-sarjana yang menguasai bidang-bidang tertentu dari ilmu Islam, seperti ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli bahasa, ahli sejarah, dan sebagainya. Selain itu, karya ilmiah yang dihasilkan oleh orientalis dalam bidang keislaman belum terlihat berarti dibanding karya-karya yang ditinggalkan ulama.
Adapun yang dilakukan oleh kaum orientalis pada umumnya ialah mengumpulkan manuskrip, memberi komentar buku-buku klasik dan menerjemahkannya ke bahasa-bahasa Eropa. Yang agak bernilai dari karya mereka adalah ensiklopedi hadits (Al-Mu’tazilah’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits) dan sejarah sastra Arab (Tarikh al-Adab al-’Arabi) karya Karl Brockelmann. Karya yang pertama memang bermanfaat bagi orang-orang yang baru mengenal hadits. Tetapi, dia bukanlah segala-galanya dalam dunia hadits. Kitab-kitab ensiklopedi hadits yang lebih lengkap telah lebih dahulu diwariskan oleh ulama-ulama hadits. Hanya saja metodenya berbeda. Bahkan, kekeliruan dan kelemahan-kelemahan karya orientalis itu cukup banyak dan dihimpun dalam buku Adhwa ‘ala Akhtha’ al-Mustasyriqin oleh Dr. Sa’ad al-Murshafi.
Sebagian besar karya-karya orientalis diwarnai oleh sikap-sikap seperti memutarbalikkan fakta, memalsukan sejarah, menyalahpahami teks, serta menyusupkan kebohongan dan fitnah. Tetapi, secara umum karya-karya sebagian orientalis yang jujur itu kita hargai dan bermanfaat bagi sebagian peneliti, khususnya pemula. Tetapi, porsinya harus dilihat secara objektif, tanpa dilebih-lebihkan. Sebab, Semua itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan karya ulama-ulama kita yang klasik ataupun yang modern, yang tidak tertampung oleh perpustakaan mana pun di dunia ini, karena banyaknya.
Berbicara tentang sikap “objektif” dan “bebas” (tidak memihak) yang merupakan karakteristik ilmiah, maka para peneliti Barat dalam tulisan dan kajian mereka tentang Islam sulit sekali ditemukan sikap netral dan objektif ini. Mereka hanya mau bebas (dalam artian tidak memihak) ketika berhadapan dengan materi yang tidak ada hubungannya dengan kajian keislaman. Adapun terhadap kajian-kajian Islam, mereka tidak mampu melepaskan subjektivitasnya sebagai nonmuslim.
Barat hingga saat ini masih menyimpan gambaran suram dan jelek tentang Islam dan umatnya. Sebuah warisan “hitam” yang meracuni pemikiran mereka, yang mereka warisi sejak “Perang Salib” dan belum membuangnya hingga saat ini. Ini diakui sendiri oleh pemikir mereka, seperti Gustav Lobon, filsuf Perancis dan “moyangnya” kaum sosiolog dan sejarawan Barat di abad kesembilan belas. Ia menerangkan dalam bukunya, Peradaban Islam, bahwa peneliti-peneliti Barat dalam menerangkan masalah-masalah yang berhubungan dengan Islam akan menanggalkan sikap netral dan objektif . Peneliti Barat, tanpa disadarinya, pasti akan memihak dan intoleran. Buku inilah, kalau boleh dibilang “moderat”, yang paling moderat yang ditulis oleh ilmuwan Barat tentang Islam dan peradabannya. Oleh karena itu pula, Gustav Lobon tidak dihargai, bahkan dibenci oleh orientalis Barat. Sikap penulis Barat yang tidak jujur pernah juga dibeberkan belakangan oleh Motegomery Watt, orientalis Inggris, dalam buku Apakah Islam?
Kelemahan Fundamental Orientalis
Para pengamat studi orientalis yang jujur mengemukakan beberapa kelemahan orientalis yang sulit dipungkiri siapa pun. Di antaranya sebagai berikut.
1. Tidak menguasai bahasa Arab secara baik, sense bahasa yang lemah, dan pemahaman yang terbatas atas konteks pemakaian bahasa Arab yang variatif. Kelemahan ini tentu mempengaruhi pemahaman mereka atas referensi-referensi Islam yang inti, seperti Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu, pemahaman mereka tentang Islam dan risalahnya rancu dan kabur. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Musthafa as-Siba’i setelah ia meninjau langsung pusat orientalisme di sekitar Eropa dan berdialog langsung dengan para orientalis. Para orientalis itu pada akhirnya banyak yang mengakui bahwa keterbatasan mereka dalam memahami materi-materi keislaman lebih menonjol ketimbang kelebihan metodologi yang mereka miliki. Bahkan, ada di antara mereka yang berterus terang bahwa Arablah (muslimlah) yang seharusnya memegang pekerjaan ini. Keterbatasan dalam menguasai bahasa Arab sangat mempengaruhi pemahaman mereka tentang Islam.
2. Perasaan “superioritas” sebagai orang Barat. Ilmuwan Barat, khususnya orientalis, senantiasa merasa bahwa “Barat” adalah “guru” dalam segala hal, khususnya dalam logika dan peradaban. Mereka cenderung tidak mau digurui oleh orang Timur.
3. Orientalis Barat sangat memegang teguh doktrin-doktrin mereka yang tidak boleh dikritik, bahkan sampai ke tingkat fanatik buta. Di antaranya dua doktrin inti, yaitu bahwa Al-Qur’an dalam pandangan insan Barat bukan kalam Allah dan Muhammad bukan rasul Allah. Doktrin ini sudah lebih dulu tertanam dalam pikiran mereka sebelum meneliti, sebab ini merupakan doktrin agama mereka yang ditanamkan sejak kecil. Sehingga, penelitian yang dilakukannya diarahkan hanya untuk mendukung asumsinya saja, bukan ingin mencari kebenaran secara objektif dan bebas. Karena itulah, peneliti-peneliti Barat menelan mentah-mentah riwayat-riwayat palsu, membesar-besarkan masalah kecil, menggunakan tuduhan palsu sebagai argumentasi, dan beralasan dengan sesuatu yang tidak diakui sebagi dalil. Mereka menolak semua pendapat yang berbeda dengan pikirannya, sekalipun itu benar dan argumentatif. Apa yang bisa diperoleh dari manusia-manusia seperti ini?
Dari segi metodologi, dia telah memiliki prakonsepsi dan tidak mau dikritik, bahkan fanatis. Oleh karena itu, hati-hati dengan hasil karya mereka. Sebab, dari mereka ada yang bersikap halus. Dalam tulisan-tulisannya, mereka sengaja menyajikan Islam secara benar dan kejayaannya di masa silam. Tetapi, ada satu atau dua poin konsep yang sangat membahayakan mereka selipkan dalam tulisan itu. Pujian dan sanjungan mereka terhadap Islam di permulaan bertujuan untuk menggiring pembaca untuk membenarkan seluruh isi buku dan tidak merasakan hal-hal yang ganjil, sehingga berkesimpulan bahwa penulis tersebut jujur dan objektif.
Misalnya, kasus Noel J. Coulson, orientalis Inggris, guru besar “hukum Islam” di Universitas London. Sepintas lalu dengan membaca karya-karyanya, orang akan mengira bahwa Coulson adalah orientalis yang jujur. Karena, ia mengakui bahwa sistem hukum Islam adalah sistem yang dinamis, bisa digunakan, dan telah mengakar dalam sanubari umatnya. Berbeda sekali dengan pandangan gurunya, Joseph Schacht yang terang-terangan anti-hukum Islam, dan menuduhnya dengan sederetan tuduhan keji yang tidak masuk akal.
Di sela-sela sanjungannya dalam buku A History of Islamic Law, Coulson punya sejumlah pendapat yang aneh-aneh tentang kekuatan As-Sunnah sebagai sumber hukum dan tentang ushul fiqih. Coulson mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah “founder” ‘penemu’ ushul fiqih. Sebuah pendapat yang tidak pernah dibenarkan oleh ahli-ahli ushul fiqih sendiri. Ia juga berpendapat bahwa kedudukan As-Sunnah sebagai pelengkap Al-Qur’an untuk menyelami kehendak Ilahi pertama kali dikemukakan oleh Imam Syafi’i. Sepintas lalu Coulson terkesan mengagumi kehebatan Imam Syafi’i (yang memang hebat, walapun tidak perlu dikagumi Coulson), tetapi ada suatu kesan terselubung dari ungkapan itu. Yakni, bahwa sebelum Imam Syafi’i ilmu ushul fiqih belum ada. Padahal, rentang waktu dua abad sebelumnya justru merupakan pondasi berdirinya “building” ushul fiqih pada fase-fase berikutnya. Pandangan Coulson itu mengesankan bahwa sebelum datangnya Imam Syafi’i, para fuqaha tidak memiliki kerangka berijtihad yang disepakati bersama. Jelas ini merupakan sebuah pemutarbalikkan fakta. Lalu, bagaimana dahulu para fuqaha selama dua ratus tahun menetapkan hukum bagi kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat Islam, kalau mereka tidak punya standar yang disepakati bersama? Apakah mereka harus menunggu selama dua abad tidak berijtihad, hingga Imam Syafi’i datang?
4. Banyak dari kajian-kajian orientalisme yang terkait erat dengan kepentingan negara-negara tertentu yang mendanai kajian itu. Percuma saja negara-negara Barat menghamburkan uangnya jutaan bahkan miliaran dollar hanya untuk kepentingan ilmiah semata, kalau bukan karena ada target-target tertentu yang sangat berharga bagi kepentingan mereka. Target itu bisa bersifat politis, bisnis, strategis, dan misi.
Hal ini seperti pernah diungkap oleh Prof. Ismail al-Faruqi dalam sebuah artikelnya di majalah The Contemporary Muslim bahwa studi Islam di Barat, khususnya di Amerika Serikat, tidak pernah luput dari misi zionis dan salibis. Orientalis yang mengajar di jurusan itu, katanya, sebagian besar orang Yahudi atau Kristen fanatis. Di beberapa universitas Amerika, studi Islam ditempatkan di Fakultas Lahut (teologi), jurusan “misionarisme” dan materinya dikenal dengan “perbandingan agama”. Dosen-dosen yang ada di sana kerjanya mencari “titik-titik lemah” Islam untuk diserang. Oleh karena itu, kajian-kajian mereka banyak menyangkut aliran-aliran yang menyimpang. Misalnya, Syi’ah, Isma’iliyah, Tasawuf (mistisisme), Ahmadiyah, dan Baha’iyyah. Jika mereka belajar Al-Qur’an, hadits, dan fiqih, motivasinya adalah untuk mengkritik kebenaran materi-materi itu. Dan ultimate-goal-nya untuk mencari “titik-titik lemah”. Sebagai misal, tulis Faruqi, “Pusat Studi Perbandingan Agama” di Harvard berada di bawah Fakultas Teologi. Demikian juga di Universitas Chicago.
Tentang staf pengajar, semuanya nonmuslim. Kalaupun ada yang muslim, biasanya orang-orang yang tidak “laku” di negerinya, karena punya pikiran yang aneh-aneh. Mereka ini sengaja disambut hangat oleh Amerika Serikat karena pikiran mereka sejalan dengan misi Zionis. “Umpamanya seorang Prof. asal Pakistan,” kata mantan guru besar Islamic Study di Temple Universitas itu memberi sontoh. Intelektual Pakistan ini sempat diusir oleh pemerintahnya karena dihukum murtad oleh seluruh ulama di negeri itu.
Ungkapan Faruqi ini tentu bukan sekadar asumsi yang apriori. Sebab, ia terlibat langsung dalam “pergulanan” orientalisme di Amerika Serikat. Pengalamannya adalah sebagai ketua jurusan IS di Temple dan sebagai guru besar selama bertahun-tahun di AS dan berbagai universitas Barat lainnya. Sehingga, akhirnya ia mengakhiri hayatnya sebagai “syahid” karena dibunuh oleh agen-agen Zionis. Semua ini agaknya merupakan “pelajaran berharga bagi setiap orang yang hendak belajar Islam kepada orientalis. Itulah inti nasihat Al-Faruqi.
Jadi, sebagai seorang muslim yang baik tentu kita harus memikirkan secara jernih risiko dan dampaknya di kemudian hari. Jika hasil dari belajar Islam ke Barat ternyata seperti apa yang kita lihat hari ini, yaitu betapa banyaknya pikiran-pikiran yang menyimpang dari para alumni Barat, ini jelas memperkuat kebenaran analisis Faruqi. Ternyata bantuan luar negeri dalam bentuk beasiswa studi Islam di Barat sebenarnya adalah sebuah upaya merusak pemikiran. Sepintas lalu gejala ini sama dengan tawaran “supermi dan beras” kepada warga muslim yang miskin di beberapa tempat. Inilah yang telah diperingatkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an (yang artinya), “Maka sekali-kali janganlah kamu tertipu oleh gemerlapnya kehidupan dunia dan sekali-kali janganlah syaithan yang pintar menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” (Faathir: 5).
Sumber: Diadaptasi dari Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Daud Rasyid (Jakarta: Akbar, Media Eka Sarana, 2002),
Baca selengkapnya ..
Apa yang diharapkan oleh Pak Rasjidi pada awalnya, waktu memberi rekomendasi dan apa yang terjadi setelah di Mc. Gill, dapat dibaca dalam mukadimah bukunya yang berjudul Koreksi terhadap Harun Nasution.
Waktu itu Rasjidi diilhami guru-gurunya di Mesir, seperti Syaikh Musthafa ‘Abdur Raziq, pakar filsafat Islam dan lain-lain. Mereka itu pernah mengecap pendidikan di Perancis, tetapi gencar pula “menguliti” pemikiran-pemikiran orientalis. Rasjidi sendiri menempuh cara itu. Setelah menamatkan pendidikannya di Darul Ulum dan Fakultas Adab Universitas Kairo, ia “nyantri” di Sorbonne. Dengan bekal keilmuan yang cukup, yang telah dipersiapkan di Mesir, Rasjidi berhadapan dengan orientalis. Rasjidi akhirnya tampil sebagai sosok ilmuwan yang mengecap pendidikan Barat tetapi tidak terpengaruh dengan pola pikir orientalis.
Rasjidi berharap agar teman yang dikirimnya itu dapat mengikuti jejaknya, bersikap kritis, tidak membeo kepada orientalis itu. Tetapi, ternyata harapan itu berlainan dengan kenyataan.
Spesialisasi Keilmuan
Belajar Islam ke Barat memang sudah lama jadi masalah kontroversial. Sebab, dengan logika sederhana saja, orang dapat berpikir bahwa setiap disiplin ilmu haruslah dipelajari dari ahlinya (atau dari bangsa yang dikenal maju dalam bidang itu). Orang yang belajar pesawat terbang ke Jerman, belajar komputer ke Amerika, belajar kimia ke Perancis, dan sebagainya tentu itu sangat relevan. Janganlah terbalik: belajar ekonomi di negara yang kelaparan, belajar kedokteran di negara yang rawan penyakit, belajar elektro di negara yang minim listrik, apalagi belajar “agama” tertentu kepada orang yang antiagama tersebut, tentu saja dirasakan kurang tepat, kalau tidak dikatakan “ngaco”.
Sementara beberapa kalangan mengganggap metodologi Barat lebih unggul, tetapi sebenarnya di situlah letak kerancuannya. Karena kerancuan metodologi, maka ilmu apa pun yang dipelajari dari Barat akan menghasilkan tashawwur ‘gambaran’ yang serupa. Tidak hanya belajar tentang Islam, belajar yang lainnya, seperti politik, sosiologi, filsafat, dan ilmu-ilmu humanitas lainnya yang dikaitkan dengan Islam, akan sampai pada kesimpulan yang sama. Yaitu, menempatkan Islam pada posisi sebagai “tertuduh” yang harus dihukum. Jadi, bagi yang belajar politik Islam hanya bisa melihat gambaran-gambaran negatif dalam sejarah percaturan politik Islam. Mereka yang belajar sosiologi dan filsafat juga akan mendapatkan kesan-kesan negatif tentang masyarakat Islam dan sejarah pemikirannya.
Namun, bukan berarti bahwa penulis secara total menolak belajar ke Barat. Mungkin saja dibolehkan untuk kondisi tertentu dan dalam batas-batas tertentu pula. Tetapi, dalam kondisi yang minus ulama, tingkat pemahaman agama Islam yang amat sederhana, tentu belajar ke Barat memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang lebih matang dan terencana. Bila kita membuat perbandingan dengan Mesir, misalnya, yang telah “banjir” ulama, “doktor”, dan sarang para pemikir, kualitas pendidikan yang relatif mapan, toh belajar Islam ke Barat tidak pernah menjadi program mereka. Bahkan, tidak pernah didorong atau digalakkan, kecuali sekadar usaha-usaha individual yang sangat terbatas.
Lemah Materi dan Metodologi
Ada sementara orang berasumsi bahwa studi Islam di dunia Arab kaya dengan materi tetapi lemah di bidang metodologi. Sementara di sisi lain, studi Islam di Barat miskin materi tetapi kaya dalam metodologi. Benarkah Barat lebih baik dari segi metodologi? Kalau secara materi, itu sudah dapat diduga, di dunia Arab lebih baik ketimbang di Barat.
Secara materi, Barat sampai saat ini tidak mampu mengeluarkan sarjana-sarjana yang menguasai bidang-bidang tertentu dari ilmu Islam, seperti ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli bahasa, ahli sejarah, dan sebagainya. Selain itu, karya ilmiah yang dihasilkan oleh orientalis dalam bidang keislaman belum terlihat berarti dibanding karya-karya yang ditinggalkan ulama.
Adapun yang dilakukan oleh kaum orientalis pada umumnya ialah mengumpulkan manuskrip, memberi komentar buku-buku klasik dan menerjemahkannya ke bahasa-bahasa Eropa. Yang agak bernilai dari karya mereka adalah ensiklopedi hadits (Al-Mu’tazilah’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits) dan sejarah sastra Arab (Tarikh al-Adab al-’Arabi) karya Karl Brockelmann. Karya yang pertama memang bermanfaat bagi orang-orang yang baru mengenal hadits. Tetapi, dia bukanlah segala-galanya dalam dunia hadits. Kitab-kitab ensiklopedi hadits yang lebih lengkap telah lebih dahulu diwariskan oleh ulama-ulama hadits. Hanya saja metodenya berbeda. Bahkan, kekeliruan dan kelemahan-kelemahan karya orientalis itu cukup banyak dan dihimpun dalam buku Adhwa ‘ala Akhtha’ al-Mustasyriqin oleh Dr. Sa’ad al-Murshafi.
Sebagian besar karya-karya orientalis diwarnai oleh sikap-sikap seperti memutarbalikkan fakta, memalsukan sejarah, menyalahpahami teks, serta menyusupkan kebohongan dan fitnah. Tetapi, secara umum karya-karya sebagian orientalis yang jujur itu kita hargai dan bermanfaat bagi sebagian peneliti, khususnya pemula. Tetapi, porsinya harus dilihat secara objektif, tanpa dilebih-lebihkan. Sebab, Semua itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan karya ulama-ulama kita yang klasik ataupun yang modern, yang tidak tertampung oleh perpustakaan mana pun di dunia ini, karena banyaknya.
Berbicara tentang sikap “objektif” dan “bebas” (tidak memihak) yang merupakan karakteristik ilmiah, maka para peneliti Barat dalam tulisan dan kajian mereka tentang Islam sulit sekali ditemukan sikap netral dan objektif ini. Mereka hanya mau bebas (dalam artian tidak memihak) ketika berhadapan dengan materi yang tidak ada hubungannya dengan kajian keislaman. Adapun terhadap kajian-kajian Islam, mereka tidak mampu melepaskan subjektivitasnya sebagai nonmuslim.
Barat hingga saat ini masih menyimpan gambaran suram dan jelek tentang Islam dan umatnya. Sebuah warisan “hitam” yang meracuni pemikiran mereka, yang mereka warisi sejak “Perang Salib” dan belum membuangnya hingga saat ini. Ini diakui sendiri oleh pemikir mereka, seperti Gustav Lobon, filsuf Perancis dan “moyangnya” kaum sosiolog dan sejarawan Barat di abad kesembilan belas. Ia menerangkan dalam bukunya, Peradaban Islam, bahwa peneliti-peneliti Barat dalam menerangkan masalah-masalah yang berhubungan dengan Islam akan menanggalkan sikap netral dan objektif . Peneliti Barat, tanpa disadarinya, pasti akan memihak dan intoleran. Buku inilah, kalau boleh dibilang “moderat”, yang paling moderat yang ditulis oleh ilmuwan Barat tentang Islam dan peradabannya. Oleh karena itu pula, Gustav Lobon tidak dihargai, bahkan dibenci oleh orientalis Barat. Sikap penulis Barat yang tidak jujur pernah juga dibeberkan belakangan oleh Motegomery Watt, orientalis Inggris, dalam buku Apakah Islam?
Kelemahan Fundamental Orientalis
Para pengamat studi orientalis yang jujur mengemukakan beberapa kelemahan orientalis yang sulit dipungkiri siapa pun. Di antaranya sebagai berikut.
1. Tidak menguasai bahasa Arab secara baik, sense bahasa yang lemah, dan pemahaman yang terbatas atas konteks pemakaian bahasa Arab yang variatif. Kelemahan ini tentu mempengaruhi pemahaman mereka atas referensi-referensi Islam yang inti, seperti Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu, pemahaman mereka tentang Islam dan risalahnya rancu dan kabur. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Musthafa as-Siba’i setelah ia meninjau langsung pusat orientalisme di sekitar Eropa dan berdialog langsung dengan para orientalis. Para orientalis itu pada akhirnya banyak yang mengakui bahwa keterbatasan mereka dalam memahami materi-materi keislaman lebih menonjol ketimbang kelebihan metodologi yang mereka miliki. Bahkan, ada di antara mereka yang berterus terang bahwa Arablah (muslimlah) yang seharusnya memegang pekerjaan ini. Keterbatasan dalam menguasai bahasa Arab sangat mempengaruhi pemahaman mereka tentang Islam.
2. Perasaan “superioritas” sebagai orang Barat. Ilmuwan Barat, khususnya orientalis, senantiasa merasa bahwa “Barat” adalah “guru” dalam segala hal, khususnya dalam logika dan peradaban. Mereka cenderung tidak mau digurui oleh orang Timur.
3. Orientalis Barat sangat memegang teguh doktrin-doktrin mereka yang tidak boleh dikritik, bahkan sampai ke tingkat fanatik buta. Di antaranya dua doktrin inti, yaitu bahwa Al-Qur’an dalam pandangan insan Barat bukan kalam Allah dan Muhammad bukan rasul Allah. Doktrin ini sudah lebih dulu tertanam dalam pikiran mereka sebelum meneliti, sebab ini merupakan doktrin agama mereka yang ditanamkan sejak kecil. Sehingga, penelitian yang dilakukannya diarahkan hanya untuk mendukung asumsinya saja, bukan ingin mencari kebenaran secara objektif dan bebas. Karena itulah, peneliti-peneliti Barat menelan mentah-mentah riwayat-riwayat palsu, membesar-besarkan masalah kecil, menggunakan tuduhan palsu sebagai argumentasi, dan beralasan dengan sesuatu yang tidak diakui sebagi dalil. Mereka menolak semua pendapat yang berbeda dengan pikirannya, sekalipun itu benar dan argumentatif. Apa yang bisa diperoleh dari manusia-manusia seperti ini?
Dari segi metodologi, dia telah memiliki prakonsepsi dan tidak mau dikritik, bahkan fanatis. Oleh karena itu, hati-hati dengan hasil karya mereka. Sebab, dari mereka ada yang bersikap halus. Dalam tulisan-tulisannya, mereka sengaja menyajikan Islam secara benar dan kejayaannya di masa silam. Tetapi, ada satu atau dua poin konsep yang sangat membahayakan mereka selipkan dalam tulisan itu. Pujian dan sanjungan mereka terhadap Islam di permulaan bertujuan untuk menggiring pembaca untuk membenarkan seluruh isi buku dan tidak merasakan hal-hal yang ganjil, sehingga berkesimpulan bahwa penulis tersebut jujur dan objektif.
Misalnya, kasus Noel J. Coulson, orientalis Inggris, guru besar “hukum Islam” di Universitas London. Sepintas lalu dengan membaca karya-karyanya, orang akan mengira bahwa Coulson adalah orientalis yang jujur. Karena, ia mengakui bahwa sistem hukum Islam adalah sistem yang dinamis, bisa digunakan, dan telah mengakar dalam sanubari umatnya. Berbeda sekali dengan pandangan gurunya, Joseph Schacht yang terang-terangan anti-hukum Islam, dan menuduhnya dengan sederetan tuduhan keji yang tidak masuk akal.
Di sela-sela sanjungannya dalam buku A History of Islamic Law, Coulson punya sejumlah pendapat yang aneh-aneh tentang kekuatan As-Sunnah sebagai sumber hukum dan tentang ushul fiqih. Coulson mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah “founder” ‘penemu’ ushul fiqih. Sebuah pendapat yang tidak pernah dibenarkan oleh ahli-ahli ushul fiqih sendiri. Ia juga berpendapat bahwa kedudukan As-Sunnah sebagai pelengkap Al-Qur’an untuk menyelami kehendak Ilahi pertama kali dikemukakan oleh Imam Syafi’i. Sepintas lalu Coulson terkesan mengagumi kehebatan Imam Syafi’i (yang memang hebat, walapun tidak perlu dikagumi Coulson), tetapi ada suatu kesan terselubung dari ungkapan itu. Yakni, bahwa sebelum Imam Syafi’i ilmu ushul fiqih belum ada. Padahal, rentang waktu dua abad sebelumnya justru merupakan pondasi berdirinya “building” ushul fiqih pada fase-fase berikutnya. Pandangan Coulson itu mengesankan bahwa sebelum datangnya Imam Syafi’i, para fuqaha tidak memiliki kerangka berijtihad yang disepakati bersama. Jelas ini merupakan sebuah pemutarbalikkan fakta. Lalu, bagaimana dahulu para fuqaha selama dua ratus tahun menetapkan hukum bagi kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat Islam, kalau mereka tidak punya standar yang disepakati bersama? Apakah mereka harus menunggu selama dua abad tidak berijtihad, hingga Imam Syafi’i datang?
4. Banyak dari kajian-kajian orientalisme yang terkait erat dengan kepentingan negara-negara tertentu yang mendanai kajian itu. Percuma saja negara-negara Barat menghamburkan uangnya jutaan bahkan miliaran dollar hanya untuk kepentingan ilmiah semata, kalau bukan karena ada target-target tertentu yang sangat berharga bagi kepentingan mereka. Target itu bisa bersifat politis, bisnis, strategis, dan misi.
Hal ini seperti pernah diungkap oleh Prof. Ismail al-Faruqi dalam sebuah artikelnya di majalah The Contemporary Muslim bahwa studi Islam di Barat, khususnya di Amerika Serikat, tidak pernah luput dari misi zionis dan salibis. Orientalis yang mengajar di jurusan itu, katanya, sebagian besar orang Yahudi atau Kristen fanatis. Di beberapa universitas Amerika, studi Islam ditempatkan di Fakultas Lahut (teologi), jurusan “misionarisme” dan materinya dikenal dengan “perbandingan agama”. Dosen-dosen yang ada di sana kerjanya mencari “titik-titik lemah” Islam untuk diserang. Oleh karena itu, kajian-kajian mereka banyak menyangkut aliran-aliran yang menyimpang. Misalnya, Syi’ah, Isma’iliyah, Tasawuf (mistisisme), Ahmadiyah, dan Baha’iyyah. Jika mereka belajar Al-Qur’an, hadits, dan fiqih, motivasinya adalah untuk mengkritik kebenaran materi-materi itu. Dan ultimate-goal-nya untuk mencari “titik-titik lemah”. Sebagai misal, tulis Faruqi, “Pusat Studi Perbandingan Agama” di Harvard berada di bawah Fakultas Teologi. Demikian juga di Universitas Chicago.
Tentang staf pengajar, semuanya nonmuslim. Kalaupun ada yang muslim, biasanya orang-orang yang tidak “laku” di negerinya, karena punya pikiran yang aneh-aneh. Mereka ini sengaja disambut hangat oleh Amerika Serikat karena pikiran mereka sejalan dengan misi Zionis. “Umpamanya seorang Prof. asal Pakistan,” kata mantan guru besar Islamic Study di Temple Universitas itu memberi sontoh. Intelektual Pakistan ini sempat diusir oleh pemerintahnya karena dihukum murtad oleh seluruh ulama di negeri itu.
Ungkapan Faruqi ini tentu bukan sekadar asumsi yang apriori. Sebab, ia terlibat langsung dalam “pergulanan” orientalisme di Amerika Serikat. Pengalamannya adalah sebagai ketua jurusan IS di Temple dan sebagai guru besar selama bertahun-tahun di AS dan berbagai universitas Barat lainnya. Sehingga, akhirnya ia mengakhiri hayatnya sebagai “syahid” karena dibunuh oleh agen-agen Zionis. Semua ini agaknya merupakan “pelajaran berharga bagi setiap orang yang hendak belajar Islam kepada orientalis. Itulah inti nasihat Al-Faruqi.
Jadi, sebagai seorang muslim yang baik tentu kita harus memikirkan secara jernih risiko dan dampaknya di kemudian hari. Jika hasil dari belajar Islam ke Barat ternyata seperti apa yang kita lihat hari ini, yaitu betapa banyaknya pikiran-pikiran yang menyimpang dari para alumni Barat, ini jelas memperkuat kebenaran analisis Faruqi. Ternyata bantuan luar negeri dalam bentuk beasiswa studi Islam di Barat sebenarnya adalah sebuah upaya merusak pemikiran. Sepintas lalu gejala ini sama dengan tawaran “supermi dan beras” kepada warga muslim yang miskin di beberapa tempat. Inilah yang telah diperingatkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an (yang artinya), “Maka sekali-kali janganlah kamu tertipu oleh gemerlapnya kehidupan dunia dan sekali-kali janganlah syaithan yang pintar menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” (Faathir: 5).
Sumber: Diadaptasi dari Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Daud Rasyid (Jakarta: Akbar, Media Eka Sarana, 2002),
Baca selengkapnya ..
Label:
Wawasan
MEMBONGKAR KESESATAN DAN KEDUSTAAN AHMADIYAH
Ahmadiyah adalah suatu aliran yang meyakini ada nabi setelah Nabi Muhammad saw, mereka meyakini Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi mereka. Selain itu mereka mempunyai kitab suci yang dikenal dengan nama Tadzkirah sebagaimana umat Islam mempunyai Al-Qur`an. Semoga artikel ini dapat sebagai peringatan akan bahaya aliran sesat ini. Artikel ini dikutip dari Buletin LPPI
1.Aliran Ahmadiyah-Qadiyani itu berkeyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi dan Rasul, kemudian barangsiapa yang tidak mempercayainya adalah kafir murtad
2.Ahmadiyah-Qadiyani memang mempunyai Nabi dan Rasul sendiri yaitu Mirza Ghulam Ahmad dari India
3.Ahmadiyah-Qadiyan mempunyai kitab suci sendiri yaitu kitab suci Tadzkirah
4.Kitab suci”Tadzkirah” tersebut adalah kumpulan wahyu yang diturunkan “tuhan” kepada Mirza Ghulam Ahmad yang kesuciannya sama dengan kitab suci Al-Qur’an, karena sama-sama wahyu dari Tuhan, tebalnya lebih tebal dari Al-Qur’an, dan kitab suci Ahmadiyah tersebut ada di kantor LPPI
5.Kalangan Ahmadiyah mempunyai tempat suci tersendiri untuk melakukan ibadah haji yaitu Rabwah dan Qadiyan di India. Mereka mengatakan: “Alangkah celakanya orang yang telah melarang dirinya bersenang-senang dalam haji akbar ke Qadiyan. Haji ke Makkah tanpa haji ke Qadiyan adalah haji yang kering lagi kasar”. Dan selama hidupnya “nabi” Mirza tidak pernah haji ke Makkah
6.Kalau dalam keyakinan umat Islam para nabi dan rasul yang wajib dipercayai hanya 25 orang, dalam ajaran Ahmadiyah Nabi dan Rasul yang wajib dipercayai harus 26 orang, dan Nabi dan Rasul yang ke-26 tersebut adalah “Nabi Mirza Ghulam Ahmad”
7.Dalam ajaran Islam, kitab samawi yang dipercayai ada 4 buah yaitu: Zabur, Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Tetapi bagi ajaran Ahmadiyah Qadiyan bahwa kitab suci yang wajib dipercayai harus 5 buah dan kitab suci yang ke-5 adalah kitab suci “Tadzkirah” yang diturunkan kepada “Nabi Mirza Ghulam Ahmad”
8.Orang Ahmadiyah mempunyai perhitungan tanggal, bulan dan tahun sendiri. Nama bulan Ahmadiyah adalah: 1. Suluh 2. Tabligh 3. Aman 4. Syahadah 5. Hijrah 6. Ihsan 7. Wafa 8. Zuhur 9. Tabuk 10. Ikha’ 11. Nubuwah 12. Fatah. Sedang tahunnya adalah Hijri Syamsi yang biasa mereka singkat dengan H.S. Dan tahun Ahmadiyah saat ini adalah tahun 1373 H.S (1994 M atau 1414 H). Kewajiban menggunakan tanggal, bulan dan tahun Ahmadiyah tersendiri tersebut di atas perintah khalifah Ahmadiyah yang kedua yaitu Basyiruddin Mahmud Ahmad
9.Berdasarkan firman “tuhan” yang diterima oleh “nabi” dan “rasul” Ahmadiyah yang terdapat dalam kitab suci “Tadzkirah” yang artinya: “Dialah tuhan yang mengutus rasulnya “Mirza Ghulam Ahmad” dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya atas segala agama-agama semuanya.(“kitab suci Tadzkirah” hal. 621)
Berdasarkan keterangan yang ada dalam kitab suci Ahmadiyah di atas BAHWA AHMADIYAH BUKAN SUATU ALIRAN DALAM ISLAM, TETAPI MERUPAKAN SUATU AGAMA YANG HARUS DIMENANGKAN TERHADAP SEMUA AGAMA-AGAMA LAINNYA TERMASUK AGAMA ISLAM
10.Ahmadiyah mempunyai nabi dan rasul sendiri, kitab suci sendiri, tanggal, bulan dan tahun sendiri, tempat untuk haji sendiri serta khalifah sendiri yang sekarang khalifah yang ke-4 yang bermarkas di Inggris bernama: Thahir Ahmad. Semua anggota Ahmafiyah di seluruh dunia wajib tunduk dan taat tanpa reserve pada perintah dia.
2
Orang di luar Ahmadiyah adalah kafir dan wanita Ahmadiyah haram kawin dengan laki-laki di luar Ahmadiyah. Jika tidak mau menerima Ahmadiyah tentu mengalami kehancuran
11.Berdasarkan “ayat” kitab suci Ahmadiyah “Tadzkirah” bahwa tugas dan fungsi Nabi Muhammad saw sebagai nabi dan rasul yang dijelaskan oleh kitab suci umat Islam Al-Qur’an, dibatalkan dan diganti oleh “nabi” orang Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad 11.1. Firman “tuhan” dalam “kitab suci” Tadzkirah:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab suci’Tadzkirah” ini dekat dengan Qadiyan-India. Dan dengan kebenaran Kami menurunkannya dan dengan kebenaran dia turun.” (“kitab suci” Tadzkirah hal.637)
11.2. Firman “tuhan” dalam “kitab suci” Tadzkirah:
Artinya: ”Katakanlah-wahai Mirza Ghulam Ahmad-jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku” (“kitab suci” Tadzkirah hal. 630)
11.3.Firman “tuhan” dalam “kitab suci” Tadzkirah
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus engkau-wahai Mirza Ghulam Ahmad-kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”. (kitab suci “Tadzkirah” hal. 634)
11.4. Firman “tuhan” dalam kitab suci “Tadzkirah”:
Artinya: “Katakan wahai Mirza Ghulam Ahmad-sesungguhnya aku ini manusia biasa seperi kamu, hanya diberi wahyu kepadaku”.(“kitab suci Tadzkirah hal. 633)
11.5. Firman “tuhan” dalam “kitab suci” Tadzkirah:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu - wahai Mirza Ghulam Ahmad - kebaikan yang banyak” (“kitab suci” Tadzkirah hal.652)
11.6. Firman “tuhan” dalam “kitab suci” Tadzkirah:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan engkau - wahai Mirza Ghulam Ahmad - imam bagi seluruh manusia” (“kitab suci” Tadzkirah hal. 630)
11.7. Firman “tuhan” dalam “kitab suci” “Tadzkirah”:
Artinya: “Oh, pemimpin sempurna, engkau - wahai Mirza Ghulam Ahmad - seorang dari rasul, yang menempuh jalan betul, diutus oleh Yang Maha Kuasa, Yang Rahim” (“kitab suci” Tadzkirah hal. 658-659)
11.8. Firman “tuhan” dalam “kitab suci” Tadzkirah:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam lailatul qadr” (kitab suci Tadzkirah hal. 519)
11.9. Firman “tuhan” dalam “kitab suci” Tadzkirah:
Artinya: “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar tetapi Allah-lah yang melempar. (Tuhan) Yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Al-Qur’an” (“kitab suci” Tadzkirah hal.620)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat kitab suci Al-Qur’an yang dibajaknya. Ayat-ayat “kitab suci” Ahmadiyah Tadzkirah yang dikutip di atas, adalah penodaan dan bajakan-bajakan dari kitab suci Umat Islam Al-Qur’an. Dan Mirza Ghulam Ahmad mengaku pada umatnya -orang Ahmadiyah-bahwa ayat-ayat tersebut adalah wahyu yang dia terima dari “tuhannya” di I N D I A.
12. PENODAAN AGAMA DAN HUKUMNYA
12.1 Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sbb: PASAL 56 a: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan. Penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama di Indonesia.
12.2 Surat edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/BA.01/3099/84 tanggal 20 September 1984, a.l.: 2. Pengkajian terhadap aliran Ahmadiyah
3
menghasilkan bahwa Ahmadiyah-Qadiyan dianggap menyimpang dari Islam karena mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, sehingga mereka percaya bahwa Nabi Muhammad saw bukan nabi terakhir.
13.1.Malaysia telah melarang ajaran Ahmadiyah di seluruh Malaysia sejak tanggal 18 Juni 1975.
13.2.Brunei Darussalam juga telah melarang ajaran Ahmadiyah di seluruh Brunei Darussalam.
13.3.Rabithah `Alam Islami yang berkedudukan di Makkah telah mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah KAFIR dan KELUAR DARI ISLAM.
13.4.Pemerintah Kerajaan Arab Saudi telah mengeluarkan keputusan bahwa Ahmadiyah adalah KAFIR dan TIDAK BOLEH pergi haji ke Makkah.
13.5.Pemerintah Pakistan telah mengeluarkan keputusan bahwa Ahmadiyah adalah golongan MINORITAS NON MUSLIM.
K E S I M P U L A N :
a. Ahmadiyah sebagai perkumpulan atau jemaat didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di Qadiyan - I N D I A (sekarang Pakistan) tahun 1889, yang karena perbedaan pandangan tentang penerus kepemimpinan dalam Ahmadiyah dan ketokohan pendirinya berkembang dua aliran, yaitu Anjuman Ahmadiyah (Ahmadiyah Qadiyan) dan Anjuman Ishaat Islam Lahore (Ahmadiyah Lahore).Kedua aliran tersebut mengakui kepemimpinan dan mengikuti ajaran serta paham yang bersumber pada ajaran Mirza Ghulam Ahmad.
b. Jemaat Ahmadiyah masuk dan berkembang di Indonesia sejak tahun 1920-an dengan menamakan diri Anjuman Ahmadiyah Qadiyan Departemen Indonesia dan kemudian dinamakan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang dikenal dengan Ahmadiyah Qadiyan, dan Gerakan Ahmadiyah Lahore Indonesia (GIA) yang dikenal dengan Ahmadiyah Lahore.
c. Mirza Ghulam Ahmad mengaku telah menerima wahyu, dan dengan wahyu itu dia diangkat sebagai nabi, rasul, al-Masih Mau`ud dan Imam Mahdi. Ajaran dan faham yang dikembangkan oleh pengikut Jemaat Ahmadiyah Indonesia khususnya terdapat penyimpangan dari ajaran Islam berdasarkan Al-Qur`an dan Al-Hadits yang menjadi keyakinan umat Islam umumnya, antara lain tentang kenabian dan kerasulan Mirza Ghulam Ahmad sesudah Rasulullah saw.(BALITBANG DEPAG RI, Jakarta, 1995 hal. 19, 20,21)
P E N U T U P
Sebagai penutup brosur ini, kami kutip sebuah ayat Al-Qur`an yang mengancam orang yang mengaku menerima wahyu serta menulis kitab dengan tangannya sendiri, kemudian dikatakannya dari Allah swt dengan dusta yang amat keji seperti yang dilakukan oleh nabi Mirza di atas.
Allah swt berfirman:
Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri lalu dikataknnya: Ini dari Allah, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaanlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka akibat dari apa yang mereka kerjakan. (Q.S. Al-Baqarah 79)
Cat: Apabila PB Ahmadiyah berkeberatan dengan isi brosur ini, alangkah baiknya diselesaikan melalui debat terbuka yang disaksikan oleh umat.
Sumber: Buletin LPPI. Masjid Al-Ihsan Lt.III Proyek Pasar Rumput Jakarta 12970 Telp/Fax. (021)8281606
4
SIAPAKAH MIRZA GHULAM AHMAD
Mirza Ghulam Ahmad, demikianlah nama pendiri jamaah Ahmadiyah yang terkenal akan kesesatannya itu. Namun sayang, tak banyak orang mengenali sosok Mirza Ghulam Ahmad dengan keanehan dan kesesatannya sehingga tak sedikit yang terjerumus mengikutinya dan meninggalkan Agama yang Haq ini (Islam).
Mirza Ghulam Ahmad yang lahir pada tahun 1839M menceritakan bahwa ayahnya bernama Atha Murtadha berkebangsaan mongol. (Kitab Al-Bariyyah, hal. 134, kary. Mirza Ghulam Ahmad). Namun anehnya, ia juga mengatakan “Kelurga dari Mongol, tetapi berdasarkan firman Allah, tampaknya keluargaku berasal dari Persia, dan aku yakin ini. Sebab tidak ada yang mengetahui seluk-beluk keluargaku seperti berita yang datang dari Allah Ta’ala.” (Hasyiah Al-Arba’in, no.2 hal.17, karya Mirza Ghulam Ahmad). Dia juga pernah berkata, “Aku pernah membaca beberapa tulisan ayahku dan kakekku, kalau mereka berasal dari suku mongol, tetapi Allah mewahyukan kepadaku bahwa aku dari bangsa Persia.” (Dhamimah Haqiqatil Wahyi, hal.77, kary. Mirza Ghulam Ahmad). Yang anehnya lagi, ia juga pernah mengaku sebagai keturunan Fathimah bin Muhammad. (Tuhfah Kolart, hal. 29).
Aneh memang jika kita menelusuri asal usul Mirza Ghulam Ahmad. Dari asal-usul yang gak jelas inilah yang kemudian lahir juga pemahaman-pemahaman yang aneh dan menyesatkan.
Keadaan Keluarga Mirza Ghulam Ahmad
Mirza Ghulam Ahmad, pendiri jamaah ahmadiyah ini menceritakan keadaan keluarganya yang ditulisnya dalam kitab Tuhfah Qaishariyah, hal 16 karangannya, ia berkata, “Ayahku memiliki kedudukan dikantor pemerintahan. Dia termasuk orang yang dipercaya pemerintah Inggris. Dia juga pernah membantu pemerintah untuk memberontak penjajah Inggris dengan memberikan bantuan kuda dan pasukan. Namun sesudah itu, keluargaku mengalami krisis dan kemunduran, sehingga menjadi petani yang melarat.”
Kebodohan-kebodohan Mirza Ghulam Ahmad
Ia berkata, “Sesungguhnya saat Rasulullah dilahirkan, beberapa hari kemudian ayahnya meninggal.” (Lihat Baigham Shulh, hal.19 karyanya).
Kata apa yang pantas kita juluki untuk orang yang satu ini, kalau bukan “bodoh” ? Padahal yang benar adalah bahwa ayah Rasulullah meninggal ketika beliau berada dalam kandungan ibunya.
Kebodohan lainnya nampak jelas dalam kitabnya Ainul Ma’rifah hal.286, ia berkata, “Rasulullah memiliki sebelas anak dan semuanya meninggal.”
Padahal, yang benar adalah bahwa beliau (Rasulullah) hanya memiliki 6 orang anak.
Bagaimana mungkin orang seperti Mirza Ghulam Ahmad ini mengaku Al-Masih ?
Kebejatan Mirza Ghulam Ahmad
Orang yang diagung-agungkan oleh pengikutnya ini memiliki banyak kebejatan yang tak layak dimiliki oleh orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasulullah. Ia tidak hanya menghina para ulama, bahkan ia juga menghina Para Rasul-rasul Allah.
Banyak dari kalangan ulama pada masanya yang menentang ajaran-ajaran “nyeleh” dedongkot Ahmadiyah ini. Bukannya membantah dengan bukti-bukti, Mirza Ghulam Ahmad malah menghina dengan mengatakan, “Orang-orang yang menentangku, mereka lebih najis dari Babi.” (Najam Atsim, hal.21 karyanya)
Ia juga pernah mengatakan, “Sesungguhnya Muhammad hanya memiliki tiga ribu mukjizat saja, sedangkan aku memiliki lebih dari satu juta jenis.” (Tadzkirah Syahadatain, hal.72, karyanya)
Tidak puas menghina Rasulullah Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, Mirza Ghulam Ahmad juga menghina Nabi Isa dengan mengatakan, “Sesungguhnya Isa tidak mampu mengatakan
5
dirinya sebagai orang sholih, sebab orang-orang mengetahui kalau dia suka minum-minuman keras dan perilakunya tidak baik.” (Hasyiyah Sitt Bahin, hal.172, karyanya).
Masih tidak puas dengan hal tersebut, Mirza Ghulam Ahmad juga mengatakan, “Isa cenderung menyukai para pelacur, karena nenek-neneknya adalah termasuk pelacur.” (Dhamimah Atsim, Hasyiyah, hal. 7, karyanya)
Dan yang sangat mengherankan adalah, pada kesempatan lain ia juga “bersabda” dalam hadits palsunya, “Sesungguhnya celaan, makian bukanlah perangai orang-orang shiddiq (benar). Dan orang-orang yang beriman, bukanlah orang yang suka melaknat.” (Izalatul Auham, hal.66)
Lelucon apa ini ?
Masih dalam rangkaian kebejatan Mirza Ghulam Ahmad
Rupanya orang yang diagung-agungkan dan merupakan dedengkot Ahmadiyah ini, tidak hanya menghina Rasulullah, tetapi ditambahkan lagi dengan menghina para Sahabat Rasulullah seperti Abu Hurairah.
Mirza Ghulam Ahmad mengatakan, “Abu Hurairah adalah orang yang dungu, dia tidak memiliki pemahaman yang lurus.” (I’jaz Ahmadiy, hal.140, karyanya)
Sementara itu, ditempat lain ia mengatakan, “Sesungguhnya ingatanku sangat buruk, aku lupa siapa saja yang sering menemui aku.” (Maktubat Ahmadiyah, hal.21 karyanya)
Kematian Mirza Ghulam Ahmad
Tidak sedikit para ulama yang menentang dan berusaha menasehati Mirza Ghulam Ahmad agar ia bertaubat dan menghentikan dakwah sesatnya itu. Namun, usaha itu tidak juga membuat dedengkot Ahmadiyah ini surut dalam menyebarkan kesesatannya.
Syeikh Tsanaullah, satu diantara sekian banyak ulama yang berusaha keras menentangnya dan menasehatinya. Merasa terganggu dengan usaha Syeikh Tsanaullah tersebut, Mirza Ghulam Ahmad mengirimkan sebuah surat kepada Syeikh Tsanaullah yang berisi tentang keyakinan hatinya bahwa ia adalah seorang nabi, bukan pendusta, bukan pula dajjal sebagaimana julukan yang diarahkan kepadanya oleh para ulama. Ia juga mengatakan bahwa sesungguhnya yang mendustakan kenabiannya itulah pendusta yang sesungguhnya.
Diakhir suratnya itu, ia berdo’a dengan mengatakan, “Wahai Allah yang maha mengetahui rahasia-rahasia yang tersimpan dalam hati. Jika aku seorang pendusta, pelaku kerusakan dalam pandangan-Mu, suka membuat kedustaan atas Nama-Mu pada siang dan malam hari, maka binasakanlah aku saat Tsanaullah masih hidup, dan berilah kegembiraan kepada para pengikutnya dengan sebab kematianku.
Wahai Allah, jika aku benar sedangkan Tsanaullah berada diatas kebathilan, pendusta pada tuduhan yang diarahkan kepadaku, maka binasakanlah dia dengan penyakit ganas, seperti tho’un, kolera atau penyakit lainnya, saat aku masih hidup. Amin”
Sebuah do’a mubahalah yang dipinta Mirza Ghulam Ahmad. Dan ternyata Allah mendengar doa tersebut, setelah 13 bulan lebih sepuluh hari setelah do’a itu, yakni pada tanggal 26 Mei 1908, Mirza Ghulam Ahmad dibinasakan oleh Allah dengan penyakit Kolera yang diharapkan menimpa Syeikh Tsanaullah.
Sementara itu Syeikh Tsanaullah masih hidup sekitar 40 tahun setelah kematian Mirza Ghulam Ahmad.
(Sumber : AlQadiyaniyah dirasat wa tahlil, Syeikh Ihsan Ilahi Zhahir, Pakistan)
Baca selengkapnya ..
Label:
Akidah
Langganan:
Postingan (Atom)