Allah menurunkan Al-Quran sebagai petunjuk kepada jalan kebenaran, cahaya yang menerangi kegelapan, pelita yang membimbing di tengah perjalanan menuju akherat, kurikulum kehidupan, nasehat yang penuh manfaat, semakin dikaji semakin bertambah keimanan, semakin mendalam keilmuan, maka semakin memperkuat motivasi untuk beramal. Di dalamnya terdapat makna-makna yang lebih segar dan lebih nikmat dari air dingin bagi orang yang kehausan, lebih lembut dari hembusan angin di taman bunga, lebih terang dari sinar mentari yang menyinari alam.
Begitulah diantara ungkapan para ulama tafsir yang mengkaji ayat-ayat Al-Quran, mereka semua ketemu kepada satu kesimpulan bahwa Al-Quran adalah kitab yang selalu baru ayat-ayatnya walau dibaca berulang-ulang, tidak akan pernah bosan mengkajinya, ia akan selalu menghadirkan suatu yang baru berupa iman, ilmu dan kefahaman, karena ia adalah mu’jizat dari sisi Alllah, kitab yang mengandung keberkahan, kemudian kita diperintahkan untuk mentadaburinya. Allah berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ ص : 29
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shaad: 29)
Imam As-Sa’di dalam tafsirnya Taisir Karimir Rohman beliau menjelaskan, “bahwa makna ‘Mubarokun’ ialah di dalam Al-Quran terdapat keberkahan yang banyak, ilmu yang melimpah, hikmah diturunkan Al-Quran ini adalah untuk mentadaburinya, karena dengan mentadaburi dan mentafakurinya secara berulang-ulang akan mendapatkan keberkahan dan kebaikan yang banyak.”
Imam Qusyairi dalam tafsirnya mengatakan: "Mubarokun adalah Al-Quran, yang berarti besar manfaatnya, selalu kekal dan tidak tergantikan dengan kitab yang lain, kemudian dijelaskan bahwa keberkahan itu ada dalam mentadaburi dan mentafakuri makna-maknanya.”
Lalu yang menjadi pertanyaan kita bersama adalah: mengapa keberkahan, ketenangan, kebahagiaan, keindahan akhlak, kemuliaan, kemenangan, itu belum dapat dirasakan oleh sebagian besar umat islam, padahal Al-Quran ada di tengah-tengah mereka, sedangkan Al-Quran yang ada saat ini seperti halnya juga Al-Quran yang diturunkan kepada Rosulullah ketika itu dan dipelajari oleh para sahabat. Kemudian mereka menjadi teladan dalam keimanan mereka, dalam ibadah mereka, dalam akhlak mereka, dalam kehidupan mereka secara nyata, walaupun saat itu dengan keterbatasan yang ada, zaman yang tidak memiliki kecanggihan seperti saat ini?.
Bukan Al-Qurannya yang salah, namun pengambilan Al-Quran itu yang berbeda, rasa kebutuhan yang kurang terhadap Al-Quran, keingianan untuk menjadikan Al-Quran sebagai satu-satunya pedoman yang membimbing kepada kehidupan yang benar itu masih belum banyak disadari, bahkan sebagian orang menganggap Al-Quran tidak penting dan tidak relevan dengan zaman sekarang bahkan berpaling darinya, lebih suka produk-produk pemikiran yang sangat tidak sejalan dengan Al-Quran.
Ketika Allah mengatakan pada ayat:
لَقَدْ أَنزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ الأنبياء: 10
Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (QS. Al-Anbiya: 10)
Imam Al-Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya Al-Jami’ li ahkamil Quran, “pendapat yang paling kuat dari ayat ini adalah seperti ayat: وَإِنَّهُ لَذِكْرٌ لَكَ وَلِقَوْمِكَ
“Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu.”. (Az-Zukhruf: 44)
“yaitu ia merupakan kemuliaan bagi siapa yang mengamalkannya baik dari orang quraisy ataupun buhkan orang quraisy. “
Tenyata di sinilah kuncinya, kemuliaan itu ada pada pengamalan isi Al-Quran.
Al-Quranul karim mempunyai pengaruh yang agung dalam proses perbaikan diri dan mensucikannya. Rosulullah memiliki perhatian yang besar dalam membina sahabat-sahabatnya. Sahabat Rosulullah, Jundub bin Abdullah ra mengatakan:
قاله جندب بن عبدالله -رضي الله عنه- قال: كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم ونحن فتيان حزاورة فتعلمنا الإيمان قبل أن نتعلم القرآن، ثم تعلمنا القرآن فازددنا به إيماناً
“Kami bersama Rosulullah saat kami masih belia, kami mempelajari keimanan sebelum mempelajari Al-Quran, kemudian kami mepelajari Al-Quran maka bertambahlah keimanan kami."
Begitulah Al-Quran, bahwa ia memang bersumber dari yang Maha Kuasa, berapa banyak kisah-kisah, novel-novel, yang mungkin membuat kita terpesona dengan kisah-kisahnya, bahkan berderai air mata, haru, tersenyum, puas, namun banyak yang tak berminat lagi untuk membacanya ulang dua sampai tiga kali bahkan sampai 10 kali. Adapun Al-Quran, semakin dibaca semakin nikmat, semakin diulangi semakin bertambah kelezatannya, bahkan tak pernah bosan walau dibaca lebih dari 17 kali sehari.
Imam Ibnul Qayyim mengatakan: “Kalau sekiranya orang-orang mengetahui apa-apa yang di dalam Al-Quran mereka akan sibuk dengannya dari pada urusan lainnya. Apabila engkau baca dengan tafakur, kemudian engkau temui ayat yang mengobati hatimu engkau akan ulang-ulangi ayat itu walaupun sampai seratus kali, walaupun sepanjang malam. Membaca ayat dengan tafakur lebih baik dari menghatamkannya tanpa tadabur dan pemahaman, dan lebih memberi manfaat bagi hati, menghantarkan kepada keimanan dan merasakan manisnya Al-Quran.” (Kitab Miftah Darus Sa’dah 1/553-554)
Begitulah para salafusholih dalam mentadaburi Al-Quran. Suatu malam Rosulullah saw sholat dan mengulangi-ulangi ayat yang sama إن تعذبهم فإنهم عبادك و إن تغفرلهم فإنك أنت العزيز الحكيم sampai shubuh menjelang.”
Begitulah juga kisah Imam Abu Hanifah yang diceritakan oleh Yazid bin Al-Kimyat, ia berkata: “Abu Hanifah adalah seorang yang sangat takut kepada Allah SWT, suatu malam Ali bin Al-Husain membaca Surat Al-Zilzalah (Idza Dzul zilatil ardhu zil zalaha) ketika sholat isya, dan Abu Hanifah berada di belakangnya. Ketika selesai sholat, orang-orang keluar dari masjid dan aku melihat kepada Abu Hanifah sedang duduk, berdzikir kemudian ia sholat dan mengulangi membaca surat Al-Zilzalah. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkannya sehingga beliau tidak terganggu dengan keberadaanku. Lalu aku keluar dari masjid. Ketika aku keluar, aku tinggalkan sebuah lampu yang minyaknya tinggal sedikit. Ketika aku tiba kembali saat fajar, lalu aku mengumandangkan azan dan menyalakan lampu. Ketika itu aku melihat Abu Hanifah masih berdiri sambil membaca surat Al-Zilzalah berulang-ulang. Ketika melihatku ia bertanya, “Apakah engkau akan mengambil lampu?” lalu ku jawab: “Aku telah mengumandangkan azan shubuh.” Kemudian ia berkata: “Sembunyikan apa yang engkau lihat dariku”. Lalu ia sholat dua rakaat, kemudian duduk menunggu iqomat, dan sholat shubuh bersama kami masih dengan wudhu tatkala ia sholat isya malam sebelumnya.
Maka ‘tidak mengkaji dan mentadaburi Al-Quran’ merupakan salah satu tanda bahwa ada pintu yang terkunci rapat sehingga menutupi hati ini. Tutup itu harus dibuka, dan kuncinya adalah mentadaburi Al-Quran, agar cahaya iman masuk ke dalamnya. Allah berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا 24
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)
Syeikh Muhammad Sayyid Thotowi dalam tafsir Al-Wasith mengomentari ayat ini dengan mengatakan: “ayat ini adalah pengingkaran kepada orang-orang munafik yang mereka berpaling dari Al-Quran, bahkah mereka tidak mau mentadaburinya, walaupun di dalamnya penuh dengan pelajaran, perintah dan larangan, karena di hati mereka ada tutup yang menghalangi antara mereka dan tadabur. ‘Al-Aqfalun’ bentuk jama’ dari Quflun, yaitu berupa alat untuk mengunci pintu atau sejenisnya, maksud ayat ini adalah penjelasan bahwa hati mereka tertutup dan terkunci rapat, tidak masuk keimanan ke dalamnya dan tidak keluar darinya kemunafikan dan kekufuran.”
Begitu juga penjelasan ayat diatas dalam tafsir Al-Kasyaf, “bahwa maksud hati di sini ada dua, pertama hati yang keras, dan kedua hati sebagian orang munafik, adapun kunci di sini adalah kekufuran yang mengunci rapat hati mereka.”
Imam Sayyid Thontowi melanjutkan, “bahwa para ulama mengatakan ayat di atas menunjukkan wajib hukumnya mentadaburi dan mentafakuri ayat-ayat Al-Quran, kemudian mengamalkan apa yang di dalamnya, dari petunjuk, perintah dan larangan, adab dan hukum-hukumnya, karena tidak mentadaburinya akan menyebabkan kepada kekerasan hati serta kesesatan jiwa, sebagimana keadaan orang-orang munafik.”
Hal senada diungkapkan oleh Ustadz Sayyid Qutb dalam tafsirnya, ketika mengomentari ayat ini beliau mengatakan: “Tadabur Al-Quran menghilangkan penutup hati, membuka jendelanya, memperoleh cahaya, menggerakan perasaan (indera), menguatkan hati, mengikhlaskan nurani (batin), menumbuhkan kehidupan di dalam jiwa, berkilau dengannya, kemudian terbit dan menyinari.”
Bahkan Syeikh Syinqithi dalam tafsir beliau Adhwa’ul Bayan, ketika menjelas ayat di atas beliau dengan agak keras mengatakan bahwa, “Allah mencela orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Allah sebagaimana dijelaskan dalam firmannya:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهَا وَنَسِيَ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ إِنَّا جَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِنْ تَدْعُهُمْ إِلَى الْهُدَى فَلَنْ يَهْتَدُوا إِذًا أَبَدًا الكهف : 57
“Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya lalu dia berpaling dari padanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.” (Al-Kahfi: 57)
Maka kata beliau melanjutkan, “ayat di atas menunjukkan bahwa mentadaburi Al-Quran, memahaminya dan mempelajarinya adalah suatu keharusan bagi kaum muslimin. Siapa saja yang tidak disibukkan dengan mentadaburi ayat-ayat Allah, atau memahaminya, mempelajari makna-maknanya kemudian mengamalkannya, maka ia termasuk ‘mu’ridh’ atau orang yang berpaling, dan termasuk orang yang dicela dalam ayat di atas jika Allah telah memberinya kefahaman untuk dapat mentadaburinya.”
Rosulullah pernah mengadu kepada Allah bahwa kaumnya telah meninggalkan Al-Quran, sebagaimana firman-Nya:
وَقَالَ الرسول يارب إِنَّ قَوْمِي اتخذوا هذا القرآن مَهْجُوراً
Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan." (QS. Al-Furqan : 30)
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan ayat ini dalam kitab Al-Fawaid: “Tidak mengacuhkan Al-Quran memiliki beberapa macam pengertian: Pertama, tidak mendengarkan dan mengimaninya. Kedua, tidak mengamalkannya, tidak peduli dengan halal dan haramnya, walaupun ia membaca dan mengimaninya. Ketiga, meninggalkannya ialah tidak menjalankan hukum-hukumnya. Keempat, meninggalkannya dengan tidak mentadaburi, memahaminya dan mengetahui maksud dari apa yang disampaikan Allah dalam ayat-ayat-Nya. Kelima, meninggalkan al-Quran dalam arti tidak menjadikan Al-Quran sebagai obat dari penyakit-penyakit hati.”
Apa buah dari mentadaburi Al-Quran? Diantara hasil yang didapat dari mentadaburi Al-Quran antara lain:
Pertama, menghasilkan keyakinan yang semakin mantap di dalam hati, rasa takut dan harap serta merasakan keagungan Allah.
Al-Quran adalah laksana air yang hati sebagai mana air hujan menyirami tumbuhan. Pohon tidak dapat hidup, bahkan ia akan kering dan mati jika tidak disirami oleh air. Begitu juga hati akan mati dan dan keras jika jika tidak pernah disirami Al-Quran, hilang rasa sensitifnya, halal dan haram sama saja, bahkan menjadi remang, dosa atau tidak dosa sudah tidak dapat lagi dibedakan, bahkan memandang kemaksiatan adalah satu hal yang biasa. Hati yang selalu disirami Al-Quran akan selalu hidup, mempunyai pengaruh, sehingga bergetarlah jiwanya ketika mendengar ayat-ayat Allah. Begitulah ungkapan tadabur yang indah di dalam ayat 21-23 surat Az-Zumar, sebagaimana artinya:
Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang yang dapat memberi petunjuk.” (QS. Az-Zumar 21-23).
Kedua, bertambahnya keimanan dan merasakan kelapangan hati.
وإِذَا مَا أُنزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَاناً فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُواْ فَزَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ سورة التوبة 9/124
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.” (QS. At-Taubah: 124)
Orang-orang yang beriman selalu merasa gembira dan lapang hatinya ketika ayat-ayat Allah disampaikan.
Ketiga, kemenangan umat muslimin dengan Al-Quran.
Sebagaimana telah dibuktikan oleh kemenangan umat islam pada masa-masa keemasannya, yang menjadikan Al-Quran sebagai satu-satunya sumber inspirasi yang mereka mempelajarinya tidak lebih dari 10 ayat dan tidak pindah kepada ayat selanjutnya sebelum mereka mengamalkannya.
Seorang pemimpin Prancis mengatakan dalam peringatan 100 tahun penjajahan Al-Jazair: “Sesungguhnya kita tidak akan menang terhadap orang-orang Al-Jazair, selagi mereka membaca Al-Quran dan berbahasa arab, maka wajib bagi kita untuk menghilangkan Al-Quran yang berbahasa arab dari keberadaannya dan mencabut ucapan bahasa arab dari lisan mereka.”
Hal itupun telah mereka perbuat terhadap Turki dan Negara islam lainnya.
Bagaimana mentadaburi Al-Quran? Diantara cara mentadaburi Al-Quran sebagai berikut:
Pertama, menghadirkan hati dan fikiran. Kemudian bacalah Al-Quran dengan tartil, dengan bacaan terbaik yang kita mampu, karena kekhusyu’an dalam membaca Al-Quran sangat membantu dalam mentadaburi dan memahaminya.
Kedua, merasakan keagungan Allah seakan-akan Allah sedang berbicara dengan kita melalui Al-Quran. Imam Ali berkata; “Jika aku ingin Allah berkata-kata denganku maka aku membaca Al-Quran, jika aku ingin berbicara dengan Allah maka aku lakukan sholat.”
Ketiga, berusaha memahami arti dan maksudnya, sambil menggunakan kitab tafsir dan Al-Quran terjemah, kitab tafsir yang dapat membantu seperti Tafsir Ibnu Katsir, tafsir Fi Zhilalil Quran, dan tafsir Syeikh Sa’di.
Keempat, menghubungkan Al-Quran dengan realitas kehidupan yang sedang kita rasakan, kemudian berusaha untuk mengamalkan apa yang dapat difahami dari ayat-ayat tersebut. Sebagaimana para sahabat yang mempelajari Al-Quran dengan satu tujuan, yaitu untuk mengamalkan isinya, bukan untuk menambah wawasan ataupun sekedar menikmati cerita, kisah dan bacaannya. Mereka mempelajari sepuluh ayat, setelah mereka mengamalkannya mereka melanjutkanya pada ayat-ayat selanjutnya.
Wallahu a’lam bishowab.
Baca selengkapnya ..
Sabtu, 03 April 2010
Membongkar kesesatan Hermeneutika
Hermeneutika, suatu istilah baru yang bersifat akademik, untuk menafsirkan maksud, pengertian dan tujuan suatu teks-teks kuno. Metode tafsir Hermeneutika yang akhir-akhir ini marak digunakan di perguruan tinggi Islam mengandung bahaya yang sangat besar kepada Al-Quran khususnya dan pemahaman umat Islam pada umumnya. Mengapa demikian? Berikut ini pembahasan lebih dalam tentang asal muasal tujuan diterapkan hermeneutika sampai akhirnya dipaksa diterapkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Dari segi bahasa hermeneutika yang meminjam perkataan Inggris hermeneutics berasal dari perkataan Greek (Yunani) hermeneutikos. Aristotle ahli filsafat Greek dahulu pernah menulis tajuk yaitu Peri Hermenias yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin sebagai De interpretatione yang lantas dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai On the Interpretation.
Namun, jauh sebelum terjemahan dalam bahasa latin, al-Farabi (w.339/950), seorang ahli filsafat Muslim terkemuka, telah menerjemahkan dan memberi komentar karya Aristotle itu terlebih dahulu ke dalam bahasa Arab dengan judul Fi al-‘Ibarah. Jadi dari segi bahasa sebenarnya hermeneutics itu artinya adalah pemahaman (to understand), yaitu bagaimana kita memahami sesuatu, khususnya pemahaman tentang teks tertentu.
Kemudian hermeneutika ini dikembangkan menjadi suatu metodologi yang khusus untuk menafsirkan bible yaitu kitab suci orang-orang kristen. Nah, kenapa mereka membangun metodologi demikian? Karena didalam bible mereka menghadapi masalah dengan teks-teks bible itu sendiri.
Mereka tahu bahwa bible ini bukan ditulis oleh Nabi ‘Isa ‘alaihissalam (yang dipercaya orang-orang nasrani sebagai Yesus) dan bukan pula ditulis oleh murid-murid Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, tetapi ditulis oleh orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi ‘Isa. Jadi kalau kita lihat bible new testament atau perjanjian baru, disana ada Injil Johanes, Injil Markus, Injil Mathius, Injil Lukas dan sebagainya. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, tetapi mereka menulis tentang bible dan menceritakan tentang kisah hidup Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.
Dalam ilmu hadits, kalau seseorang meriwayatkan hadits tapi dia tidak pernah bertemu dengan Rasulullah maka hadits itu dikatakan mursal. Seharusnya yang bisa menceritakan kisah hidup Rasulullah itu hanya sahabat. Jika ada tabi’in mengatakan sami’tu Rasulullah (saya mendengar Rasulullah) maka haditsnya mursal, dan mursal itu dhoif, yaitu tidak bisa diterima dari segi periwayatan.
Kalau kita menilai bible dengan menggunakan ilmu hadits maka seluruh isi bible itu mursal semua, semua riwayatnya tertolak. Jangankan membandingkan bible dengan Al-Qur’an, bahkan membandingkan bible dengan hadits saja tidak seimbang.
Al-Qur’an memiliki riwayat yang mutawatir, seluruh Al-Qur’an memiliki jalur periwayatan yang amat banyak. Sedangkan bible, selain riwayatnya ahad (tunggal, dibawa oleh seorang saja – Johanes, Markus, Lukas dan Mathius hanya meriwayatkan seorang diri) juga riwayatnya mursal, sanad atau mata rantai periwayatannya terputus, karena mereka tidak pernah bertemu dengan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam. Demikian fakta pertama tentang bibel.
Fakta kedua adalah, bahwasanya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam itu berbicara dalam bahasa Aramaic sedangkan bible ditulis berdasarkan kepada manuskrip yang berbahasa Yunani atau bahasa Greek. Padahal Nabi ‘Isa ‘alaihissalam tidak berbicara dengan bahasa Greek.
Kemudian bible-bible yang berkembang sekarang ini bukanlah lagi menggunakan bahasa Greek. Ada bahasa Inggris, bahasa Jeman, bahasa Perancis. Sedangkan bible yang berbahasa Indonesia diambil dari bahasa Inggris. Mereka mengatakan semuanya itu adalah bible. Sedangkan bagi Al-Qur’an, terjemahan Al-Qur’an itu bukanlah Al-Qur’an itu sendiri. Itu hanya terjemahan saja, sedangkan Al-Qur’an yang asli itu dalam bahasa Arab.
Karena orang-orang kristen menghadapi masalah yang seperti ini, mereka menganggap di dalam bible ada gap, ada suatu jarak antara bible dan Nabi ‘Isa yang menerima wahyu. Oleh karena itu mereka mencurigai atau tidak meyakini bahwasanya bible yang sekarang ini mewakili wahyu yang diterima oleh Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.
Maka pada gilirannya, mereka membangun satu metodologi yang disebut hermeneutics, tujuannya untuk menjembatani antara wahyu yang diterima Nabi ‘Isa dengan empat orang periwayat bible tadi, disebabkan ada jarak atau rentang waktu yang cukup jauh bahkan sampai seratusan tahun. Jadi mereka ingin mencari suatu pendekatan supaya ketika mereka membaca bible, mereka bisa mendapat wahyu yang diperoleh oleh Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.
Tegasnya, hermeneutika yang dibawa oleh kaum nasrani itu bermula dari kecurigaan mereka akan keraguan tentang keaslian teks-teks di dalam bible (Injil Johanes, Injil Lukas, Injil Markus dan Injil Mathius) karena penulisan teks-teks dalam bible tersebut dilakukan setelah seratusan tahun lebih dari semenjak Nabi ‘Isa ‘alahissalam. Artinya penulis bible itu tidak pernah hidup sejaman dengan Nabi ‘Isa ‘alaihisaalam. Maka metodologi hermeneutika itu digunakan untuk menjembatani “rentang yang hilang” sehingga diharapkan akan mendekatkan mereka dengan wahyu sebenarnya yang diterima oleh Nabi ‘Isa ‘alahissalam. Demikianlah asal dari hermeneutka bible itu.
Metoda “MENAMBAL” rentang yang hilang pada bible (hermeneutika) itu dianggap sebagai metode ilmiah yang sahih, dan sekarang di-coba-paksa-terap-kan dalam kitab suci orang Islam, Al-Qur’an. Sementara itu hasil “uji coba” hermeneutika pada bible sampai sekarang tidak menghasilkan rekonstruksi bible baru yang kemudian mereka sahihkan sebagai wahyu Allah yang dahulu diturunkan kepada Nabi ‘Isa ‘alaihissalam (dan saya yakin hal itu mustahil akan berhasil)
Anehnya, saat ini orang-orang muslim banyak yang terpesona, - (astaghfirullah al’adziim, kembali kita menyaksikan kebodohan karena terpesona dengan metodologi non muslim – Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)? [Al-Munafiqun 63:4]). Sekarang apabila seseorang ingin menerapkan hal ini kepada Al-Qur’an, asumsi yang harus ia buat pertama kali adalah kita memiliki masalah terhadap teks-teks Al-Qur’anul Karim. Orang seperti ini akan mengatakan bahwa teks Al-Qur’an ini bermasalah. Sebab jika seorang menggunakan hermeneutika berarti ia menganggap Al-Qur’an ini ada yang menulis atau mengarangnya.
Menurut hermeneutikawan, didalam setiap buku kuno maupun buku baru disana ada 3 unsur : yang pertama adalah teks. Buku itu terdiri dari huruf, kata-kata, kalimat, paragraf dan seterusnya. Kemudian yang kedua, sebuah buku tidak mungkin jadi begitu saja. Mesti ada yang mengarangnya. Yang ketiga, ada pembacanya.
Ketiga hal tersebut sangat tepat diterapkan kepada bible karena ada teks, ada penulis/pengarangnya dan ada pembacanya. Karena bible tidak mewakili seluruh wahyu Tuhan yang diterima oleh Nabi ’Isa ’alaihissalam, maka pembacanya tidal dapat menyerap seluruh wahyu tersebut. Dengan alasan inilah dibangun suatu metode hermeneutika, sehingga salah satu tujuan hermeneutika bible adalah supaya kita bisa membaca teks sebaik atau lebih baik dari pengarangnya.
Hal ini sah-sah saja karena tujuan orang kristen untuk membaca bible dengan metode hermeneutika adalah supaya mereka mampu membaca bible sebaik Johanes, Lukas, Markus dan Mathius. Atau bahkan agar bisa lebih baik dari mereka karena ada jarak tadi. Maka wajar bila metode ini diterapkan dalam studi bible.
Tetapi apabila hal ini diterapkan kepada Al-Qur’an maka apakah terpikir di dalam benak umat Islam bahwa kita akan membaca Al-Qur’an sebaik atau lebih baik daripada yang menurunkannya yaitu Allah SWT. Mustahil hal ini terjadi, tidak terpikir sama sekali oleh umat Islam karena ketika kita membaca Al-Qur’an itu kita berada di belakang Al-Qur’an. Kita tidak bisa macam-macam dengan Al-Qur’an.
Kalau kita membaca buku biasa, sebenarnya kita melakukan reproductive reading, membaca kembali apa yang telah ditulis pengarang. Jadi kita berada di belakang pengarang, kita ikut alur pengarang.
Dalam metode hermeneutika, kita tidak lagi melakukan reproductive reading tapi kita memproduksi makna baru dari teks itu sendiri. Maka ia disebut sebagai productive reading, yaitu membaca secara produktif. Jadi karena pengarangnya sudah mati, maka kita bisa membaca dan bisa memahaminya semampu dan semau kita dengan makna baru yang kita produksi sendiri. Mau diapakan saja teks itu terserah kepada pembaca. Dalam hal ini pembaca berada dalam posisi sangat bebas untuk mengartikan dan memahami teks. Inilah yang disebut dengan productive reading yang dalam bahasa Arab disebut dengan qiro’ah muntijah. Hal ini tentu tidak bisa diterapkan untuk Al-Qur’an Al-Karim, khususnya tentang apa-apa yang sudah qoth’i atau pasti. Kita harus selalu di belakang Al-Qur’an, kita di belakang Allah subhanahu wata’ala.
Hermeneutika dalam bible ini kemudian dikembangkan dalam dunia filsafat, sehingga dia menjadi metodologi umum dalam memahami teks apa saja. Perkembangan pemakaian metode hermeneutika ini dibawa oleh seorang protestan bernama Friedrich Schleiermacber. Dialah yang sebenarnya bertanggungjawab dalam membawa hermeneutika ini dari ruang lingkup biblical studies ke dalam lingkungan filsafat. Sehingga setiap karya yang berupa teks dapat menjadi objek dari hermeneutika.
Sebuah thesis Ph.D milik Dr. Arief Nayed (ISTAC) mengenai hermeneutika juga menyatakan hal demikian. Originally, the term ’Hermeneutics’ was employed in reference to the field of study concerned with developing rules and methods that can guide biblical exegesis. During the early years of the nineteenth century, ‘Hermeneutics’ became ‘General Hermeneutics’ at the hands of philosopher and protecstant theologian Friedrich Schleiermacber. Schleiermacber transformed Hermeneutics into a philosophical field af study by elevating it from the confines of narrow specialization as a theological field to the higher ground of general philosophical concerns about language and its understanding.
Dekonstruksi Al-Quran
Hermeneutika yang kini telah menjadi metodologi umum, apakah mungkin hermeneutika ini diterapkan kepada Al-Quran. Mereka berkata bahwa “Al-Quran adalah buku, adalah teks, adalah kitab kuno atau kitab klasik. Jadi ada jarak antara kita dengan Rasulullah”.
Tentang keaslian teks-teks Al-Quran itu pun mereka pertanyakan, mereka keluarkan riwayat-riwayat maka timbullah kajian tentang dekonstruksi (baca : pembongkaran kembali) Al-Qur’an. Al-Qur’an ingin mereka konstruksi ulang, mereka edit sampai-sampai ingin mengeluarkan Al-Qur’an edisi kritis. Maksud mereka ingin merubah kembali Qiro’ah Al-Qur’an, wallahu musta’an. Kita lihat bagaimana mereka dengan lancang mengutak-atik firman Allah. Hal ini tidak lain dikarenakan oleh metodologi kufur hermeneutika itu sendiri.
Hermeneutika memiliki banyak aliran, ada hermeneutika Emilio Betti, hermeneutika Friedrich Schleiermacber, hermeneutika Paul Ricouer. Yang paling gencar dikembangkan akhir-akhir ini adalah hermeneutika Paul Ricoeur.
Paul Ricoeur mempunyai gagasan yang disebut the hermeneutics of suspicion, yaitu teori kecurigaan. Ia berkata kalau ingin memahami suatu teks maka harus mencurigai teks itu sendiri, memeriksa motif dan maksud penulis, mengetahui latar belakang penulis, maka barulah dapat dipahami maksud sebenarnya dari teks tersebut. Jadi, ”ketika kita tidak tahu apa motif dan maksud dari penulis maka saat itu kita telah ’ditipu’ oleh teks tersebut”, demikian katanya.
Dapat kita bayangkan bagaimana bila metode hermeneutic of suspicion ini bila diterapkan untuk Al-Qur’an Al-Karim. Sebelum membaca Al-Qur’an kita mesti curiga terlebih dahulu. Padahal sebelum membacanya kita diajar membaca ta’awudz :’Audzubillahi minasysyaithoonirrojiim”, mohon perlindungan dari setan yang akan menyeret kepada kekeliruan ketika membaca dan memahami Al-Qur’an. Metode hermeneutika ini mengajar kita untuk menjadi setan sebelum membaca Al-Qur’an, karena belum apa-apa hati, pikiran, logika dikondisikan untuk curiga akan kebenaran teks, kebenaran makna dan kebenaran ke-wahyu-an Al-Quran. Betapa dahsyatnya kesesatan tafsir Hermeneutika ini.
Dalam metodologi tafsir tidak pernah ada yang mempermasalahkan teks, karena Rasulullah SAW sendiri yang menafsirkan Al-Qur’an. Jalur periwayatannya sudah jelas, mutawatir, para huffadz (penghafal Al-Qur’an) juga para Quro’ (ahli baca Al-Qur’an) pun selalu menjaganya dalam sanubari mereka.
Sepanjang sejarah manusia, tidak ada peradaban di dunia ini yang memiliki buku maupun kitab suci yang begitu hebat, yang dihafal dalam dada-dada jutaan pengikutnya. Sepakar-pakarnya atau seprofesor-profesornya ahli ekonomi tidak akan pernah menghafal bukunya Adam Smith ”The Wealth of Nation”, dan tidak akan tertarik menghafalkannya. Seahli-ahlinya seseorang dalam ilmu sosiologi ia tidak pernah berminat menghafal bukunya Max Weber. Semarxis-marxisnya seseorang dia tidak ingin menghafal bukunya Karl Marx. Bahkan orang kristen sendiri tidak ada yang menghafal kitab suci mereka, walau betapa dia adalah pendeta tertinggi.
Lihatlah umat Islam. Walau dia bukan orang Arab, selalu berupaya menjaga apa yang terkandung di antara dua lembar sampul kitab sucinya. Walau dia mungkin tidak mengerti setiap kosa kata Arab, tapi tahu dimana letak panjang pendeknya, tahu dimana harus berhenti, tahu dimana harus jelas dimana harus samar, tahu urutan-urutan ayat2nya tanpa tertukar. Bahkan kita lihat, orang yang buta bisa lebih hafal dibanding orang yang bisa melihat. Buku/kitab mana lagi di dunia ini yang bisa mendekati kemukjizatannya dalam hal ketertarikan pengikutnya untuk menghafal?
Al-Qur’an sudah dihafal secara massal dari sejak ayat demi ayatnya diturunkan. Jadi tidak mungkin terjadi kekeliruan dan penyimpangan. Keotentikan akan selalu terjaga. Bahkan satu huruf saja yang menyimpang dari Al-Qur’an itu akan ketahuan, karena ilmu tentang huruf-huruf Al-Qur’an pun ada dalam Islam.
Kita mengenal ilmu makhoorijul huruf yang membahas tentang cara pengucapan huruf, sifat-sifatnya, hukum pertemuan diantara dua huruf. Ini semua dalam khazanah keilmuan Islam yang begitu lengkap. Tidak ada peradaban yang sehebat ini sampai-sampai memperhatikan satu per satu hurufnya sekalipun. Ini dari segi pengucapan.
Kemudian dari segi tulisannya juga begitu. Huruf-huruf Al-Qur’an ditulis dengan sangat hati-hati, semua ada standarnya sehingga ada yang kita kenal sebagai Ahli Khot. Dengan demikian jelaslah bagi kita, tidak ada peradaban yang seperti itu dalam memperhatikan keotentikan kitab suci mereka.
Bukankah kita seharusnya bangga memiliki kitab suci yang demikian itu? Tapi karena kita tidak kenal Al-Qur’an, maka kita hanya menganggap Al-Qur’an sebagai barang keramat. Kita bungkus rapi bak keris pusaka kemudian kita letakkan di bagian lemari paling atas hingga berdebu tanpa mau mempelajari, enggan mengkaji dan tentunya tidak mengamalkan.
Ketika kita tidak mengenal Al-Qur’an sebagai jantung Islam maka musuh pun akan dengan sangat mudah masuk ke dalam umat Islam melalui jantung kita sendiri. Hermeneutika hanya akan memotong Islam dari akarnya, karena ketika Al-Qur’an sudah diobrak-abrik maka segala sesuatu dalam Islam pun akan habis terkikis. Inilah dampak dari penerapan hermeneutika.
Tidak perlu hermeneutika.
Kajian Al-Qur’an, terutamanya mengenai penafsirannya, tidak memerlukan hermeneutika. Kita khawatir, akhir-akhir ini kita begitu bergairah mengimpor istilah hermeneutika untuk kajian Al-Qur’an tanpa menyelidiki dahulu latar belakang istilah itu sendiri, yang mempunyai muatan pandangan hidup yang berlainan dengan pandangan hidup Islam.
Sebenarnya jika akan digunakan bahasa asing juga, maka istilah exegesis atau pun commentary atau penafsiran yang selama ini digunakan, itu sudah cukup memadai untuk Al-Qur’an. Kenapa kini exegesis atau commentary mesti ditukar dengan hermeneutics?
Kita akan menggarisbawahi pembahasan ini dengan satu peringatan dari Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi : ”Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kamu akan mengikutinya juga”. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam ditanya: ”Apakah mereka yang diikuti itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab ”Siapa lagi kalau bukan mereka” [HR Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad]
Baca selengkapnya ..
Dari segi bahasa hermeneutika yang meminjam perkataan Inggris hermeneutics berasal dari perkataan Greek (Yunani) hermeneutikos. Aristotle ahli filsafat Greek dahulu pernah menulis tajuk yaitu Peri Hermenias yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin sebagai De interpretatione yang lantas dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai On the Interpretation.
Namun, jauh sebelum terjemahan dalam bahasa latin, al-Farabi (w.339/950), seorang ahli filsafat Muslim terkemuka, telah menerjemahkan dan memberi komentar karya Aristotle itu terlebih dahulu ke dalam bahasa Arab dengan judul Fi al-‘Ibarah. Jadi dari segi bahasa sebenarnya hermeneutics itu artinya adalah pemahaman (to understand), yaitu bagaimana kita memahami sesuatu, khususnya pemahaman tentang teks tertentu.
Kemudian hermeneutika ini dikembangkan menjadi suatu metodologi yang khusus untuk menafsirkan bible yaitu kitab suci orang-orang kristen. Nah, kenapa mereka membangun metodologi demikian? Karena didalam bible mereka menghadapi masalah dengan teks-teks bible itu sendiri.
Mereka tahu bahwa bible ini bukan ditulis oleh Nabi ‘Isa ‘alaihissalam (yang dipercaya orang-orang nasrani sebagai Yesus) dan bukan pula ditulis oleh murid-murid Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, tetapi ditulis oleh orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi ‘Isa. Jadi kalau kita lihat bible new testament atau perjanjian baru, disana ada Injil Johanes, Injil Markus, Injil Mathius, Injil Lukas dan sebagainya. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, tetapi mereka menulis tentang bible dan menceritakan tentang kisah hidup Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.
Dalam ilmu hadits, kalau seseorang meriwayatkan hadits tapi dia tidak pernah bertemu dengan Rasulullah maka hadits itu dikatakan mursal. Seharusnya yang bisa menceritakan kisah hidup Rasulullah itu hanya sahabat. Jika ada tabi’in mengatakan sami’tu Rasulullah (saya mendengar Rasulullah) maka haditsnya mursal, dan mursal itu dhoif, yaitu tidak bisa diterima dari segi periwayatan.
Kalau kita menilai bible dengan menggunakan ilmu hadits maka seluruh isi bible itu mursal semua, semua riwayatnya tertolak. Jangankan membandingkan bible dengan Al-Qur’an, bahkan membandingkan bible dengan hadits saja tidak seimbang.
Al-Qur’an memiliki riwayat yang mutawatir, seluruh Al-Qur’an memiliki jalur periwayatan yang amat banyak. Sedangkan bible, selain riwayatnya ahad (tunggal, dibawa oleh seorang saja – Johanes, Markus, Lukas dan Mathius hanya meriwayatkan seorang diri) juga riwayatnya mursal, sanad atau mata rantai periwayatannya terputus, karena mereka tidak pernah bertemu dengan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam. Demikian fakta pertama tentang bibel.
Fakta kedua adalah, bahwasanya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam itu berbicara dalam bahasa Aramaic sedangkan bible ditulis berdasarkan kepada manuskrip yang berbahasa Yunani atau bahasa Greek. Padahal Nabi ‘Isa ‘alaihissalam tidak berbicara dengan bahasa Greek.
Kemudian bible-bible yang berkembang sekarang ini bukanlah lagi menggunakan bahasa Greek. Ada bahasa Inggris, bahasa Jeman, bahasa Perancis. Sedangkan bible yang berbahasa Indonesia diambil dari bahasa Inggris. Mereka mengatakan semuanya itu adalah bible. Sedangkan bagi Al-Qur’an, terjemahan Al-Qur’an itu bukanlah Al-Qur’an itu sendiri. Itu hanya terjemahan saja, sedangkan Al-Qur’an yang asli itu dalam bahasa Arab.
Karena orang-orang kristen menghadapi masalah yang seperti ini, mereka menganggap di dalam bible ada gap, ada suatu jarak antara bible dan Nabi ‘Isa yang menerima wahyu. Oleh karena itu mereka mencurigai atau tidak meyakini bahwasanya bible yang sekarang ini mewakili wahyu yang diterima oleh Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.
Maka pada gilirannya, mereka membangun satu metodologi yang disebut hermeneutics, tujuannya untuk menjembatani antara wahyu yang diterima Nabi ‘Isa dengan empat orang periwayat bible tadi, disebabkan ada jarak atau rentang waktu yang cukup jauh bahkan sampai seratusan tahun. Jadi mereka ingin mencari suatu pendekatan supaya ketika mereka membaca bible, mereka bisa mendapat wahyu yang diperoleh oleh Nabi ‘Isa ‘alaihissalam.
Tegasnya, hermeneutika yang dibawa oleh kaum nasrani itu bermula dari kecurigaan mereka akan keraguan tentang keaslian teks-teks di dalam bible (Injil Johanes, Injil Lukas, Injil Markus dan Injil Mathius) karena penulisan teks-teks dalam bible tersebut dilakukan setelah seratusan tahun lebih dari semenjak Nabi ‘Isa ‘alahissalam. Artinya penulis bible itu tidak pernah hidup sejaman dengan Nabi ‘Isa ‘alaihisaalam. Maka metodologi hermeneutika itu digunakan untuk menjembatani “rentang yang hilang” sehingga diharapkan akan mendekatkan mereka dengan wahyu sebenarnya yang diterima oleh Nabi ‘Isa ‘alahissalam. Demikianlah asal dari hermeneutka bible itu.
Metoda “MENAMBAL” rentang yang hilang pada bible (hermeneutika) itu dianggap sebagai metode ilmiah yang sahih, dan sekarang di-coba-paksa-terap-kan dalam kitab suci orang Islam, Al-Qur’an. Sementara itu hasil “uji coba” hermeneutika pada bible sampai sekarang tidak menghasilkan rekonstruksi bible baru yang kemudian mereka sahihkan sebagai wahyu Allah yang dahulu diturunkan kepada Nabi ‘Isa ‘alaihissalam (dan saya yakin hal itu mustahil akan berhasil)
Anehnya, saat ini orang-orang muslim banyak yang terpesona, - (astaghfirullah al’adziim, kembali kita menyaksikan kebodohan karena terpesona dengan metodologi non muslim – Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)? [Al-Munafiqun 63:4]). Sekarang apabila seseorang ingin menerapkan hal ini kepada Al-Qur’an, asumsi yang harus ia buat pertama kali adalah kita memiliki masalah terhadap teks-teks Al-Qur’anul Karim. Orang seperti ini akan mengatakan bahwa teks Al-Qur’an ini bermasalah. Sebab jika seorang menggunakan hermeneutika berarti ia menganggap Al-Qur’an ini ada yang menulis atau mengarangnya.
Menurut hermeneutikawan, didalam setiap buku kuno maupun buku baru disana ada 3 unsur : yang pertama adalah teks. Buku itu terdiri dari huruf, kata-kata, kalimat, paragraf dan seterusnya. Kemudian yang kedua, sebuah buku tidak mungkin jadi begitu saja. Mesti ada yang mengarangnya. Yang ketiga, ada pembacanya.
Ketiga hal tersebut sangat tepat diterapkan kepada bible karena ada teks, ada penulis/pengarangnya dan ada pembacanya. Karena bible tidak mewakili seluruh wahyu Tuhan yang diterima oleh Nabi ’Isa ’alaihissalam, maka pembacanya tidal dapat menyerap seluruh wahyu tersebut. Dengan alasan inilah dibangun suatu metode hermeneutika, sehingga salah satu tujuan hermeneutika bible adalah supaya kita bisa membaca teks sebaik atau lebih baik dari pengarangnya.
Hal ini sah-sah saja karena tujuan orang kristen untuk membaca bible dengan metode hermeneutika adalah supaya mereka mampu membaca bible sebaik Johanes, Lukas, Markus dan Mathius. Atau bahkan agar bisa lebih baik dari mereka karena ada jarak tadi. Maka wajar bila metode ini diterapkan dalam studi bible.
Tetapi apabila hal ini diterapkan kepada Al-Qur’an maka apakah terpikir di dalam benak umat Islam bahwa kita akan membaca Al-Qur’an sebaik atau lebih baik daripada yang menurunkannya yaitu Allah SWT. Mustahil hal ini terjadi, tidak terpikir sama sekali oleh umat Islam karena ketika kita membaca Al-Qur’an itu kita berada di belakang Al-Qur’an. Kita tidak bisa macam-macam dengan Al-Qur’an.
Kalau kita membaca buku biasa, sebenarnya kita melakukan reproductive reading, membaca kembali apa yang telah ditulis pengarang. Jadi kita berada di belakang pengarang, kita ikut alur pengarang.
Dalam metode hermeneutika, kita tidak lagi melakukan reproductive reading tapi kita memproduksi makna baru dari teks itu sendiri. Maka ia disebut sebagai productive reading, yaitu membaca secara produktif. Jadi karena pengarangnya sudah mati, maka kita bisa membaca dan bisa memahaminya semampu dan semau kita dengan makna baru yang kita produksi sendiri. Mau diapakan saja teks itu terserah kepada pembaca. Dalam hal ini pembaca berada dalam posisi sangat bebas untuk mengartikan dan memahami teks. Inilah yang disebut dengan productive reading yang dalam bahasa Arab disebut dengan qiro’ah muntijah. Hal ini tentu tidak bisa diterapkan untuk Al-Qur’an Al-Karim, khususnya tentang apa-apa yang sudah qoth’i atau pasti. Kita harus selalu di belakang Al-Qur’an, kita di belakang Allah subhanahu wata’ala.
Hermeneutika dalam bible ini kemudian dikembangkan dalam dunia filsafat, sehingga dia menjadi metodologi umum dalam memahami teks apa saja. Perkembangan pemakaian metode hermeneutika ini dibawa oleh seorang protestan bernama Friedrich Schleiermacber. Dialah yang sebenarnya bertanggungjawab dalam membawa hermeneutika ini dari ruang lingkup biblical studies ke dalam lingkungan filsafat. Sehingga setiap karya yang berupa teks dapat menjadi objek dari hermeneutika.
Sebuah thesis Ph.D milik Dr. Arief Nayed (ISTAC) mengenai hermeneutika juga menyatakan hal demikian. Originally, the term ’Hermeneutics’ was employed in reference to the field of study concerned with developing rules and methods that can guide biblical exegesis. During the early years of the nineteenth century, ‘Hermeneutics’ became ‘General Hermeneutics’ at the hands of philosopher and protecstant theologian Friedrich Schleiermacber. Schleiermacber transformed Hermeneutics into a philosophical field af study by elevating it from the confines of narrow specialization as a theological field to the higher ground of general philosophical concerns about language and its understanding.
Dekonstruksi Al-Quran
Hermeneutika yang kini telah menjadi metodologi umum, apakah mungkin hermeneutika ini diterapkan kepada Al-Quran. Mereka berkata bahwa “Al-Quran adalah buku, adalah teks, adalah kitab kuno atau kitab klasik. Jadi ada jarak antara kita dengan Rasulullah”.
Tentang keaslian teks-teks Al-Quran itu pun mereka pertanyakan, mereka keluarkan riwayat-riwayat maka timbullah kajian tentang dekonstruksi (baca : pembongkaran kembali) Al-Qur’an. Al-Qur’an ingin mereka konstruksi ulang, mereka edit sampai-sampai ingin mengeluarkan Al-Qur’an edisi kritis. Maksud mereka ingin merubah kembali Qiro’ah Al-Qur’an, wallahu musta’an. Kita lihat bagaimana mereka dengan lancang mengutak-atik firman Allah. Hal ini tidak lain dikarenakan oleh metodologi kufur hermeneutika itu sendiri.
Hermeneutika memiliki banyak aliran, ada hermeneutika Emilio Betti, hermeneutika Friedrich Schleiermacber, hermeneutika Paul Ricouer. Yang paling gencar dikembangkan akhir-akhir ini adalah hermeneutika Paul Ricoeur.
Paul Ricoeur mempunyai gagasan yang disebut the hermeneutics of suspicion, yaitu teori kecurigaan. Ia berkata kalau ingin memahami suatu teks maka harus mencurigai teks itu sendiri, memeriksa motif dan maksud penulis, mengetahui latar belakang penulis, maka barulah dapat dipahami maksud sebenarnya dari teks tersebut. Jadi, ”ketika kita tidak tahu apa motif dan maksud dari penulis maka saat itu kita telah ’ditipu’ oleh teks tersebut”, demikian katanya.
Dapat kita bayangkan bagaimana bila metode hermeneutic of suspicion ini bila diterapkan untuk Al-Qur’an Al-Karim. Sebelum membaca Al-Qur’an kita mesti curiga terlebih dahulu. Padahal sebelum membacanya kita diajar membaca ta’awudz :’Audzubillahi minasysyaithoonirrojiim”, mohon perlindungan dari setan yang akan menyeret kepada kekeliruan ketika membaca dan memahami Al-Qur’an. Metode hermeneutika ini mengajar kita untuk menjadi setan sebelum membaca Al-Qur’an, karena belum apa-apa hati, pikiran, logika dikondisikan untuk curiga akan kebenaran teks, kebenaran makna dan kebenaran ke-wahyu-an Al-Quran. Betapa dahsyatnya kesesatan tafsir Hermeneutika ini.
Dalam metodologi tafsir tidak pernah ada yang mempermasalahkan teks, karena Rasulullah SAW sendiri yang menafsirkan Al-Qur’an. Jalur periwayatannya sudah jelas, mutawatir, para huffadz (penghafal Al-Qur’an) juga para Quro’ (ahli baca Al-Qur’an) pun selalu menjaganya dalam sanubari mereka.
Sepanjang sejarah manusia, tidak ada peradaban di dunia ini yang memiliki buku maupun kitab suci yang begitu hebat, yang dihafal dalam dada-dada jutaan pengikutnya. Sepakar-pakarnya atau seprofesor-profesornya ahli ekonomi tidak akan pernah menghafal bukunya Adam Smith ”The Wealth of Nation”, dan tidak akan tertarik menghafalkannya. Seahli-ahlinya seseorang dalam ilmu sosiologi ia tidak pernah berminat menghafal bukunya Max Weber. Semarxis-marxisnya seseorang dia tidak ingin menghafal bukunya Karl Marx. Bahkan orang kristen sendiri tidak ada yang menghafal kitab suci mereka, walau betapa dia adalah pendeta tertinggi.
Lihatlah umat Islam. Walau dia bukan orang Arab, selalu berupaya menjaga apa yang terkandung di antara dua lembar sampul kitab sucinya. Walau dia mungkin tidak mengerti setiap kosa kata Arab, tapi tahu dimana letak panjang pendeknya, tahu dimana harus berhenti, tahu dimana harus jelas dimana harus samar, tahu urutan-urutan ayat2nya tanpa tertukar. Bahkan kita lihat, orang yang buta bisa lebih hafal dibanding orang yang bisa melihat. Buku/kitab mana lagi di dunia ini yang bisa mendekati kemukjizatannya dalam hal ketertarikan pengikutnya untuk menghafal?
Al-Qur’an sudah dihafal secara massal dari sejak ayat demi ayatnya diturunkan. Jadi tidak mungkin terjadi kekeliruan dan penyimpangan. Keotentikan akan selalu terjaga. Bahkan satu huruf saja yang menyimpang dari Al-Qur’an itu akan ketahuan, karena ilmu tentang huruf-huruf Al-Qur’an pun ada dalam Islam.
Kita mengenal ilmu makhoorijul huruf yang membahas tentang cara pengucapan huruf, sifat-sifatnya, hukum pertemuan diantara dua huruf. Ini semua dalam khazanah keilmuan Islam yang begitu lengkap. Tidak ada peradaban yang sehebat ini sampai-sampai memperhatikan satu per satu hurufnya sekalipun. Ini dari segi pengucapan.
Kemudian dari segi tulisannya juga begitu. Huruf-huruf Al-Qur’an ditulis dengan sangat hati-hati, semua ada standarnya sehingga ada yang kita kenal sebagai Ahli Khot. Dengan demikian jelaslah bagi kita, tidak ada peradaban yang seperti itu dalam memperhatikan keotentikan kitab suci mereka.
Bukankah kita seharusnya bangga memiliki kitab suci yang demikian itu? Tapi karena kita tidak kenal Al-Qur’an, maka kita hanya menganggap Al-Qur’an sebagai barang keramat. Kita bungkus rapi bak keris pusaka kemudian kita letakkan di bagian lemari paling atas hingga berdebu tanpa mau mempelajari, enggan mengkaji dan tentunya tidak mengamalkan.
Ketika kita tidak mengenal Al-Qur’an sebagai jantung Islam maka musuh pun akan dengan sangat mudah masuk ke dalam umat Islam melalui jantung kita sendiri. Hermeneutika hanya akan memotong Islam dari akarnya, karena ketika Al-Qur’an sudah diobrak-abrik maka segala sesuatu dalam Islam pun akan habis terkikis. Inilah dampak dari penerapan hermeneutika.
Tidak perlu hermeneutika.
Kajian Al-Qur’an, terutamanya mengenai penafsirannya, tidak memerlukan hermeneutika. Kita khawatir, akhir-akhir ini kita begitu bergairah mengimpor istilah hermeneutika untuk kajian Al-Qur’an tanpa menyelidiki dahulu latar belakang istilah itu sendiri, yang mempunyai muatan pandangan hidup yang berlainan dengan pandangan hidup Islam.
Sebenarnya jika akan digunakan bahasa asing juga, maka istilah exegesis atau pun commentary atau penafsiran yang selama ini digunakan, itu sudah cukup memadai untuk Al-Qur’an. Kenapa kini exegesis atau commentary mesti ditukar dengan hermeneutics?
Kita akan menggarisbawahi pembahasan ini dengan satu peringatan dari Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi : ”Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kamu akan mengikutinya juga”. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam ditanya: ”Apakah mereka yang diikuti itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab ”Siapa lagi kalau bukan mereka” [HR Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad]
Baca selengkapnya ..
Label:
Tafsir
Langganan:
Postingan (Atom)